Lintang Kemukus Dinihari (Buku Kedua Dari Trilogi) Oleh Ahmad Tohari Edit & Convert : zheraf.net http://www.zheraf.net Ahmad Tohari KEMARAU di kawasan Banyumas, Jawa Tengah, pada masa kini mungkin tidak lagi sedahsyat akibatnya dibanding masa lalu, ketika hutan-hutan jati di daerah Jatilawang mengering, tanah pecah-pecah, penduduk merana kelaparan. Dulu, seperti ditunjukkan Ahmad Tohari (57), penulis yang pernah menghasilkan novel Ronggeng Dukuh Paruk, hutan menyala menjadi korban kebakaran akibat pertikaian politik yang menyusup sampai ke desa-desa pada masa sebelum 1965. Ahmad Tohari dilahirkan di desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Banyumas tanggal 13 Juni 1948. Pendidikan formalnya hanya sampai SMAN II Purwokerto. Namun demikian beberapa fakultas seperti ekonomi, sospol, dan kedokteran pernah dijelajahinya. Semuanya tak ada yang ditekuninya. Ahmad Tohari tidak pernah melepaskan diri dari pengalaman hidup kedesaannya yang mewarnai seluruh karya sastranya. Lewat trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (dua yang lainnya Lintang Kemukus Dinihari dan Jentera Bianglala), ia telah mengangkat kehidupan berikut cara pandang orang-orang dari lingkungan dekatnya ke pelataran sastra Indonesia. Sesuai tahun-tahun penerbitannya, karya Ahmad Tohari adalah Kubah (novel, 1980), Ronggeng Dukuh Paruk (novel, 1982) Lintang Kemukus Dinihari (novel, 1984), Jentera Bianglala (novel, 1985), Di Kaki Bukit Cibalak (novel, 1989), Senyum Karyamin (kumpulan cerpen, 1990), Lingkar Tanah Lingkar Air (novel, 1993), Bekisar Merah (novel, 1993), Mas Mantri Gugat (kumpulan kolom, 1994). Lintang Kemukus Dinihari Episode 1 Dukuh Paruk masih diam meskipun beberapa jens satwanya sudah terjaga oleh pertanda datangnya pagi. Kambing-kambing mulai gelisah dalam kandangnya. Kokok ayam jantan terdengar satu-satu, makin lama makin sering. Burung sikatan mencecet-cecet dari tempat persembunyiannya. Dia siap melesat bila terlihat serangga pertama melintas dalam sudut pandangnya. Dari sarangnya di pohon aren keluar seekor bajing karena tercium bau lawan jenisnya. Mereka berkejaran. Dahan-dahan bergoyangan. Tetes-tetes embun jatuh menimbulkan suara serempak. Seekor codot melintas di atas pohon pisang. Tepat di atas daun yang masih kuncup, binatang mengirap itu mendadak menghentikan kecepatannya. Tubuh yang ringan jatuh begitu saja ke dalam lubang kuncup daun pisang itu. Jangkrik, gangsir, dan walang kerik sudah lama bungkam. Gangsir menyembunyikan diri dalam liang di tanah yang disumbat dari dalam. Walang kerik membaurkan diri dengan warna hijau dedaunan. Dia hanya bisa diketahui bila ada embusan angin. Pada saat itulah naluri memerintahkannya menggesekkan sayap sehingga terjadi suara yang khas. Ada sebatang pohon jambu air di salah satu sudut Dukuh Paruk. Dalam kerimbunan daun-daunnya sedang dipagelarkan harmoni alam; beratus-ratus lebah madu dengan ketekunan yang menakjubkan sedang menghimpun serbuk sari. Sayap-sayapnya mendengungkan aneka nada halus dan datar, mengisi kelengangan pagi yang masih temaram. Tanah di bawah pohon jambu itu memutih oleh hamparan beribu-ribu tangkai sari. Bau wangi tanah, suara lembut sayap-sayap lebah madu dan pendar embun yang mulai menangkap cahaya dari timur. Pucuk-pucuk nyiur dan rumpun bambu menerima kehangatan pertama pagi hari. Pancaran cahaya matahari adalah tenaga yang setiap kali membangunkan Dukuh Paruk dengan menyingkap kabut yang menyelimutinya. Dua puluh tiga rumah di pedukuhan kecil itu mulai hidup. Terdengar rengek anak-anak yang terjaga dan langsung merasa lapar. Seorang perempuan keluar menjemur kain yang basah kena ompol bayinya. Suaminya juga keluar halaman dengan tujuan berbeda. Laki-laki itu menjambret daun pisang kering untuk menggulung tembakau. Ada orang jongkok di balik semak. Tangannya mengibas mengusir agas yang merubung kepalanya. Dukuh Paruk sudah terjaga. Hanya sebuah rumah yang masih sepi. Rumah itu mempunyai ukuran yang paling kecil di Dukuh Paruk. Penghuninya tunggal, seorang nenek yang sudah linglung. Meskipun sudah bangun, perempuan tua itu belum hendak beranjak dari tempat tidurnya, termangu-mangu dengan matanya yang kelabu. Dalam genggamannya ada beberapa keping uang logam. Dia tidak tahu siapakah yang telah menaruh uang itu di bawah bantalnya. Nenek Rasus itu memang linglung, sudah lama linglung. Tidak seperti biasa, beberapa hari lamanya nenek Rasus tidak tinggal seorang diri di rumahnya. Pagi itu pun dia tidak seorang diri. Seorang perempuan muda yang paling berharga di Dukuh Paruk masih tergolek di atas balai-balai dalam bilik sebelah. Srintil masih menyambung mimpi setelah menempuh malam yang paling berkesan bersama Rasus. Seberkas sinar matahari menembus dinding bambu, lurus seperti kristal maya jatuh di pipi Srintil. Lingkaran terang yang hanya seluas uang logam mampu menyingkap rona hidup di pipi ronggeng Dukuh Paruk itu. Rambutnya yang hitam, meskipun begitu kusut, memantulkan kilau yang lembut. Ketika rona terang itu akhirnya bergerak ke arah mata, Srintil berada dalam batas jaga. Irama napasnya mulai tak teratur, bulu matanya bergerak-gerak. Akhirnya terdengar desah panjang ketika Srintil menggeliat perlahan-lahan. Peralihan dari alam tidur ke alam jaga berlangsung sementara kelopak mata Srintil belum terbuka. Bola mata bergulir-gulir di dalam pelupuknya. Kemudian tercipta sebuah lekuk yang bagus di kedua sudut bibir Srintil. Kesadaran telah merayapinya, kesadaran bahwa lintasan hidupnya sedang memasuki batas waktu di mana Srintil merasa dirinya larut dan menyatu dengan Rasus. Karena Srintil tidur dalam posisi miring ke arah tepi balai-balai, maka ia tetap percaya masih ada seseorang di sampingnya. Tangan kanannya digerakkan ke arah belakang dengan keyakinan yang bulat bahwa jemarinya akan jatuh ke atas sebidang dada laki-laki. Tetapi yang kemudian terasa di ujung jarinya adalah dinginnya tikar pandan. Dicobanya meraba lebih jauh. Dan kosong. Srintil cepat bangkit dan menoleh ke belakang Didapatinya dirinya tak berteman dalam bilik yang lengang itu. Mula-mula Srintil menduga, atau berharap, Rasus masih berada di sekitar rumah sedang berhajat di belakang misalnya, Namun perasaan buntu tiba-tiba menguasai dirinya setelah Srintil melihat tak ada satu pun barang milik Rasus yang tertinggal. Dalam bilik sebelah Srintil mendapati nenek Rasus duduk hampir tanpa gerak kecuali kembang-kempis dadanya yang tak kentara. Atau sepasang mata kelabu yang bergulir ketika melihat Srintil datang. "Di mana Rasus, Nek?" "Apa?" "Rasus, cucumu! Di manakah dia sekarang?" "Si Rasus di mana?" "Iya." "Rasus? Jadi Si Rasus sudah pulang?" "Oh, Nenek pikun. Nenek linglung. Nenek tidak melihat ke manakah Rasus pergi?" Sesaat lamanya perempuan itu kembali dalam sikap tanpa gerak. Kemudian menjulurkan tangan ke arah Srintil. Telapak tangan dibuka. Beberapa keping uang logam ada di sana. Srintil menatapnya tidak mengerti. Dan putus asa. Berbalik, menarik daun pintu dengan kasar, lalu keluar. Dicarinya tempat dari mana dia bisa memandang dengan sempurna ke arah pancuran. Rasus tidak kelihatan. Dilongoknya pekarangan kosong tempat orang-orang Dukuh Paruk biasa jongkok di balik semak. Hampa. Yang kelihatan oleh Srintil adalah sepasang burung sikatan yang sedang sibuk menyambar-nyambar lalat hijau. Episode 2 Akhirnya Srintil menatap jauh ke seberang sawah yang sangat luas. Di sana Dawuan mulai memperlihatkan sosoknya. Kabut tipis yang menyelamuti Dawuan mengambang naik karena hangatnya sinar matahari. Dawuan dengan pasarnya. Dawuan dengan markas tentaranya di bamah pimpinan Sersan Slamet, kepada siapa Rasus pergi menggabungkan diri. Bagi Srintil, Dawuan kini berubah menjadi sosok yang angkuh. "Oh, jadi begitu," pikir Srintil yang ingin menolak kenyataan bahwa Rasus telah meninggalkannya bahkan tanpa pamit. Dalam perkiraan ronggeng Dukuh Paruk itu semua laki-laki adalah dari jenis yang sama, yang bisa demikian gila hanya karena ingin hidup bersamanya barang satu-dua malam, tak peduli apa pun yang menjadi nilai tukarnya. Sulam, Lurah Pecikalan atau bahkan Bapak Siten Wedana adalah sebagian kecil deretan nama laki-laki yang runduk di bawah kibasan sampur Srintil. Dan ronggeng itu merasa heran mengapa ada seorang lelaki dari jenis lainnya. Dengan keakuan yang tegar laki-laki itu lari menghindar. Boleh jadi Srintil takkan bersedih hati bila laki-laki itu bukan Rasus. Hingga beberapa saat lamanya Srintil tetap berdiri diam. Dibiarkannya nyamuk-nyamuk belirik yang beterbangan mengelilingi tubuhnya. Beberapa ekor hinggap menghisap darah di kaki Srintil. Seekor lainnya hinggap di belakang telinga dengan perut yang makin lama makin menggantung penuh darah. Rambut di atas dahinya basah oleh kabut pagi yang mengembun. Matanya mengambang. Dua orang anak dengan tubuh telanjang menatap Srintil dengan heran. Mata kedua anak itu adalah mata sekalian orang Dukuh Paruk yang tidak pernah berharap melihat seorang ronggeng menangis. Ronggeng bagi dunia Dukuh Paruk adalah citra sekaligus lambang gairah dan sukacita. Keakuannya adalah tembang dan joget. Perhiasannya adalah senyum dan lirikan mata yang memancarkan semangat hidup alami, semangat yang sama yang telah menerbangkan burung-burung dan memekarkan bunga-bunga. Jadi, ronggeng adalah dunia sukaria dan gelak-tawa. Kedua anak yang bertelanjang badan itu mengundurkan diri. Mereka membawa pertanyaan yang muskil: mengapa seorang ronggeng bisa menangis? Tentu saja hanya Srintil sendiri yang bisa merasakan dirinya sedang ditarik ke luar dari keakuannya. Ada yang menelanjanginya, entah siapa dia, sehingga Srintil sedikit demi sedikit mengenal dirinya dari sisi lain. Bukan sebagai perempuan milik bersama sebuah tatapan melainkan seorang perempuan dalam arti yang paling bersahaja. Dia yang merasa tidak utuh tanpa kepastian seorang laki-laki berada dalam hidupnya; dalam hatinya dan dalam kamar tidurnya. Atau bila benar bahwa dunia yang besar ini berisi berjuta-juta dunia kecil dan dalam setiap dunia kecil itu berisi seorang laki-laki dan seorang perempuan. Srintil hanya merindukan yang kecil itu. Sebuah dunia kecil tanpa Rasus sungguh tak bisa dibayangkan oleh ronggeng Dukuh Paruk itu. Dukuh Paruk tidak memerlukan waktu lama buat menyadari apa yang sedang terjadi atas diri Srintil. Hari berikutnya, pedukuhan kecil itu sudah hangat oleh celoteh orang-orang perempuan. Perhatian mereka tertuju kepada Srintil yang kini lebih suka diam merenung dan menyendiri. Semuanya tahu bahwa keadaan Srintil tidak bisa dipisahkan dengan Rasus yang telah meninggalkan Dukuh Paruk dan bergabung kembali dengan kelompok tentara pimpinan Sersan Slamet. "Eh, dengar! Pernahkah terjadi seorang ronggeng mabuk kepayang terhadap seorang lelaki?" kata seorang perempuan yang bersama dua temannya sedang mencari kutu di bawah pohon nangka. "Sepanjang yang kudengar tak ada cerita demikian," jawab perempuan kedua. "Yang baku, seorang laki-laki tergila-gila kepada ronggeng karena ronggeng memang dibuat untuk menarik hati laki-laki. Dia tidak boleh terikat kepada seorang pun. Lha, bagaimana kalau dia sendiri dimabuk cinta demikian?" "Ya, Srintil memang aneh. Nah, kalau sudah terjadi demikian maka Nyai Kartareja yang bersalah." "Nyai Kartareja?" "Iya. Kalau Nyai Kartareja berhati-hati dalam mendampingi Srintil, takkan terjadi begini. Dia mengabaikan kewajiban karena terlalu bernapsu. Srintil disuruhnya melayani sebanyak mungkin laki-laki tanpa menghiraukan adanya hari-hari pantangan, terutama pada hari kelahiran Srintil sendiri. Memang Nyai Kartareja ikut menjadi kaya. Nah, namun begini jadinya." "Sebetulnya aku bisa mengerti mengapa Srintil senang terhadap Rasus. Pokoknya tak ada yang salah. Persoalannya bila Srintil terus murung dan menolak kembali naik pentas, Dukuh Paruk jadi sepi. Itu saja yang kusayangkan." "Tetapi aku masih percaya kepada suami-istri Kartareja. Kalau mereka bisa memasang guna-guna sehingga banyak laki-laki gandrung terhadap Srintil, mengapa mereka tidak mampu memutus tali asmara antara ronggeng itu dengan Rasus?" Ucapan yang terakhir ini memang tidak berlebihan. Kalau ada orang yang paling khawatir tentang keadaan Srintil, tentulah dia Nyai Kartareja bersama suaminya. Mereka sungguh tidak rela anak asuhannya jatuh hati kepada Rasus atau kepada laki-laki lain mana pun. Lebih-lebih lagi bila Srintil sampai berpikir tentang sebuah rumah tangga yang hendak dibangunnya. Martabat mereka sebagai dukun ronggeng berada dalam taruhan, dan, sumber penghasilan mereka yang subur terancam bahaya. Maka Nyai Kartareja harus berbuat sesuatu. Tali asmara yang mengikat Srintil kepada Rasus harus diputuskan. Mula-mula Nyai Kartareja mencari sebutir telur wukan. Telur ayam yang tertinggal dalam petarangan karena tidak bisa menetas itu diam-diam ditanamnya di salah satu sudut kamar tidur Srintil. Mantera pemutus asmara dibacakan. Niyatingsun matak aji pamurung Hadi aing tampean aing cikaruntung nantung Ditarbuan boeh sana, manci rasa marang Srintil marang Rasus Kene wurung kana wurung, pes mimpes dening Eyang Secamenggala Pentil alum cucuk layu, angen sira bungker Si Srintil Si Rasus Ker bungker, ker bungker kersane Eyang Secamanggala Ker bungker, ker bungker kersane Sing Murbeng Dumadi Episode 3 Adalah matera; susunan kata-kata yang menyalurkan sugesti dan kekuatan alam melalui jalur nonfisika dan bebas dari hukum-hukum tentang energi maupun mekanika yang biasa. Kekuatan itu tak terelakkan kecuali oleh kekuatan lain yang segaris namun berlawanan arah. Dan, mantera yang dipasang oleh Nyai Kertareja secara tak sengaja telah mendapat tandingannya. Yaitu ketika suatu malam Srintil ingin kencing. Karena malas keluar kamar Srintil memilih salah satu sudut kamar tidurnya sebagai tempat melepas hajat. Di sana ada bagian lantai yang gembur bekas cungkilan baru. Adalah layak bila Srintil menganggap bagian tanah tersebut bisa dikencingi karena cepat meresap air, tak peduli di tempat itulah Nyai Kartareja menanam telur wukan yang telah dimanterainya. Tanpa disadarinya Srintil melumpuhkan manterayang ditujukan kepadanya. Sudah dua kali Srintil menolak naik pentas. Perbuatan yang sangat mengecewakan suami-istri Kartareja dan terutama orang yang mengundangnya, oleh Srintil hanya diberi dalih enteng: malas! Tetapi Srintil tidak malas melakukan perbuatan yang lucu di mata orang-orang Dukuh Paruk; bercengkerama dengan anak-anak gembala yang kebanyakan masih bertelanjang badan. Tanpa canggung Srintil ikut berlari-lari menghalau kambing. Atau duduk di bawah pohon dan membantu anak-anak gembala membuat layang-layang dari daun gadung. Srintil bisa menyatu dengan kegembiraan anak-anak yang menjadi lebih ceria karena mendapat teman bermain istimewa. Mula-mula anak-anak gembala itu merasa rikuh namun akhirnya mereka cepat akrab. "Dulu saya juga seperti kalian, senang bermain-main di tegalan sambil menggembala kambing," kata Srintil. Tangannya sibuk membuat mainan baling-balik dari daun kelapa. "Kakak juga pintar menangkap capung dengan getah nangka?" tanya seorang anak. "Ah, itu gampang. Kalau mau dengan getah nangka malah bisa menangkap burung kedasih," jawab Srintil dengan gaya seorang ibu yang bijak. "Pernah seperti ini?" kata seorang anak lainnya yang membawa tahi sapi kering yang membara sebagian. Di atas bara itu ada seekor jarigkrik yang sedang dibakar. Srintil tersenyum. "Oh, tentu saja. Aduh, gurih nian jangkrik bakar itu, bukan?" "Kakak mau? Silakan ambil." "Boleh?" "Ambillah!" Anak-anak memperhatikan dengan minat yang penuh ketika Srintil mengunyah jangkrik yang dibakar dalam bara tahi sapi kering itu. Semacam lambang keakraban, dan anak-anak gembala itu bersorak-sorai. Seorang yang paling besar di antara mereka maju mendekati Srintil. Di tangannya ada bambu seruas. "Benar juga, Kakak rupanya dulu suka bermain-main seperti kami. Tetapi apakah Kakak bisa menebak isi tabung ini?" "Gangsir," jawab Srintil setelah mencoba berpikir. "Bukan." "Buah salam." "Bukan." "Kepik hijau." "Bukan." "Nah, aku menyerah." "Betul?" "Ya." Anak gembala itu membalikkan tabung hingga isinya jatuh ke tanah. Srintil menjerit dan melompat, tepat seperti gadis kecil yang ketakutan. Seekor ular angon merayap bebas setelah sekian lama terkurung dalam tabung bambu. Sekali lagi terdengar sorak-sorai anak-anak gembala. Srintil mengejar si Nakal, mencubit pahanya. Anak itu meringis, namun kelihatannya dia tidak menyesal bila Srintil terus mencubitnya. Suatu ketika Srintil merasa benar-benar ingin menyendiri. Jenuh mendekam dalam kamarnya ronggeng itu keluar menuju tepian dukuh. Di sana, di bawah pohon nangka Srintil dahulu menghabiskan sebagian besar waktu bermainnya. Dipungutnya selembar daun yang jatuh lalu diremasnya. Aneh, Srintil merasa ada sesuatu yang terlampiaskan ketika daun yang tak bersalah itu remuk dalam genggamannya. Tidak jauh dari tempat itu dua ekor anak kambing melompat-lompat dalam gerakan yang amat lucu. Kemudian mereka berlomba mencari selangkangan induknya buat menetek. Ulah kedua kambing itu kelihatan kasar. Tetapi induk mereka membiarkan tetek yang menggembung penuh daya hidup itu diperah dan disodok-sodok. Srintil memperhatikan perilaku induk dan anak itu tanpa kedipan mata. Srintil tersenyum. Kali ini senyumnya disertai oleh kontraksi kelenjar teteknya sendiri serta rangsangan aneh pada urat-urat sekitar rahim. Tiba-tiba hasrat hendak memeluk seorang bayi mendesaknya demikian kuat. Hampir pada saat yang sama rasa cemas karena mungkin Nyai Kartareja dengan caranya sendiri telah mematikan indung telur dalam perut Srintil membuat ronggeng itu sesak napas. Perang yang seru terjadi dalam dadanya yang ditandai dengan sepasang garis basah yang turun dari mata ke pipi Srintil. Ada sebuah pertanyaan yang buat kali pertama muncul di hatinya; mengapa diriku seorang ronggeng? Pertanyaan itu datang dari perkiraan Srintil; kalau dia bukan seorang ronggeng Rasus takkan meninggalkannya dengan cara begitu saja. Khayalan Srintil terkacau oleh deru sepeda motor yang memasuki Dukuh Paruk. Di kecamatan Dawuan dan sekitarnya hanya ada dua kendaraan seperti itu. Yang satu milik siten wedana, lainnya milik Marsusi, seorang kepala perkebunan karet Wanakeling. Siapa pun di antara keduanya yang bersusah payah datang ke Dukuh Paruk, rasanya hanya untuk satu tujuan. Srintil tertegun sejenak lalu bangkit dan berjalan mengendap-endap menjauhi rumahnya. Pelarian kecil itu berakhir di puncak bukit pekuburan Dukuh Paruk yang menerimanya dalam kesunyian. Ada celeret melayang dari satu pohon ke pohon tanpa suara. Ada kucica betina sibuk membawa kapuk bunga gelagah untuk bantalan sarangnya. Di dekat sebuah batu nisan seekor tabuan sedang menarik-narik ulat besar yang sudah dilumpuhkannya. Dan Srintil terkejut ketika terdengar suara tokek dari bubungan cungkup makam Ki Secamenggala. Episode 4 Kelengangan pekuburan Dukuh Paruk menjadi ibu bagi seorang anak yang ingin memahami apa yang sedang melintas dalam hidupnya. Srintil mengadukan kebuntuan rasanya kepada berjenis-jenis anggrek liar yang menempel pada tubuh batang beringin besar, kepada relung-relung pakis yang berjumbai-jumbai di lereng curam atau kepada terotok kayu mati yang dipatuk burung pelatuk. Santunan mereka yang demikian ramah membuat Srintil merasa betah tinggal di tempat yang tersembunyi itu hingga matahari terbenam nanti atau bisa lebih lama lagi. Dalam kelengangan di pekuburan itu alam mengajaknya bicara banyak-banyak melalui bau tanah dan wanginya bunga kemboja. Melalui denging agas yang mengitari kepalanya atau melalui kelembutan lumut yang menutupi batu-batu lembab. Srintil larut dalam haribaan ibunya, merasa dimengerti dan dimanjakan. Khayalannya bcbas mengawang dan akan terus melayang-layang apabila tidak datang seseorang yang mengusiknya. "Srin, pulang. Ada tamu." Srintil terkejut sebelum kesadarannya pulih. Tanpa menoleh ke arah sumber suara dia tahu siapa yang datang. "Pulang, Srin. Kau ditunggu," ulang Nyai Kartareja dengan suara tanpa tekanan memerintah. "Kau harus tahu siapa tamumu kali ini; Pak Marsusi, kepala perkebunan karet itu." Srintil mengerdip tanda mengerti. "Nah, ayo pulang." "Aku belum ingin pulang," jawab Srintil tanpa emosi. "Eh, jangan begitu, Wong Ayu," kata Nyai Kartareja sambil mengatur dirinya duduk di samping Srintil. "Kamu tak boleh menyepelekan tamu. Apalagi tamu kali ini bukan sembarang orang." "Ya, tetapi aku tidak ingin pulang." "Kalau aku menjadi kamu, Srin, aku takkan menyia-nyiakan kesempatan ini. Menggonceng motor ubluk bersama Pak Marsusi ke kota. Pelesir ke mana-mana, nonton bioskop misalnya. Kau belur pernah melihat tontonan itu, bukan? Kepada Pak Marsusi kau bisa minta dibelikan barang-barang. Nah, bagaimana kalau kau minta kalung seperti yang dipakai istri lurah Pecikalan?" "Sudahlah, Nyai. Pulanglah dulu. Aku akan menyusul kemudian. Aku mau mandi dulu." "Bagus. Wong Ayu. Tetapi betul, ya. Kamu kami tunggu." Srintil mengangguk ringan. Diperhatikan induk semangnya yang sedang berjalan menuruni bukit pekuburan Dukuh Paruk. Tak lama kemudian Srintil pun ikut turun. Bukan mengikuti jalan Nyai Kartareja, melainkan jalan lain yang tidak menuju pancuran atau menuju rumahnya. Srintil melangkah cepat ke arah jalan yang membawanya keluar dari Dukuh Paruk. Langkahnya cepat dan panjang-panjang. Kepada orang-orang yang kebetulan berpapasan Srintil hanya tersenyum atau mengangguk ringan. Sampai di pematang yang menuju Dawuan, Srintil mempercepat jalannya. Matahari yang sudah melewati titik kulminasinya menyiram ronggeng itu dengan pancaran terik yang menyakitkan kepala. Srintil terus berjalan, terkadang sambil mengangkat tangan kirinya untuk mengurangi terik matahari ke arah wajahnya. Di rumahnya Nyai Kartareja mulai merasa was-was karena ternyata Srintil tidak segera mengikutinya pulang. Marsusi, laki-laki berusia lima puluhan, sudah gelisah di tempat duduknya. Caping wol stetson sudah beberapa kali dipasang di kepala dan dilepas lagi tanpa tujuan tertentu. Akhirnya Marsusi keluar mengambil sesuatu di bagasi motornya. Sebuah botol persegi dibawanya masuk. Penantian yang menggelisahkan harus ditemani jenewer, pikirnya. Minuman keras itu ditenggak langsung dari botolnya. "Sampean tadi mengatakan Srintil ada di rumah. Lalu manakah dia?" tanya Marsusi sambil meletakkan botolnya dengan agak kasar. Nyai Kartareja menyembunyikan kebimbangannya di balik senyum ramah. "Betul, Pak. Tadi Srintil berkata hendak mandi dulu. Ah, anak ini. Ke mana dia?" "Coba susul lagi. Bila benar sedang mandi mengapa bisa demikian lama?" ujar Kartareja. "Nanti dulu," kata Marsusi yang kelihatan tidak sabar karena menunggu Srintil sekian lama. "Sampean berdua yang memelihara Srintil di sini, bukan?" "Benar, Pak." "Lalu? Apa kalian kira aku datang kemari buat duduk-duduk nganggur seperti ini? Katakan saja; Srintil sedang dipakai orang lain atau Srintil sedang pergi entah ke mana! Jangan biarkan aku jadi gusar, orang Dukuh Paruk!" Kartareja hanya bisa menoleh kiri-kanan. Bibirnya bergerak-gerak namun tak sepatah kata pun terdengar. Bahkan kemudian dukun ronggeng ini duduk membeku dengan mata melukiskan rasa takut ketika Marsusi bangkit dan mendekat. Caping wol dibantingnya ke atas meja. "Sampean berdua ini orang dukuh yang tidak tahu diuntung! Aku tidak pernah lupa bahwa semacam sampean ini mendapat rejeki dari orang seperti saya ini. Nah! Mengapa sampean berdua jadi banyak tingkah? Sekarang jawab pertanyaanku; bisakah kalian membawa Srintil kemari sekarang juga? Kalau tidak, mampus saja. Jangan coba-coba menjadi dukun ronggeng!" Apabila Kartareja makin membeku oleh kekasaran Marsusi maka lain halnya dengan istrinya. Nyai Kartareja mempunyai seribu pengalaman menghadapi laki-laki dan dunianya. Dari yang masih bocah sampai yang perjaka, dari yang baru belajar mengenal perempuan sampai yang sudah matang seperti yang sedang gusar di hadapannya itu. Atau karena pekerjaan seorang istri dukun ronggeng yang ternama ialah mengerti secara tepat situasi hati seorang laki-laki yang datang kepadanya, menampung keluh-kesahnya, menyalurkan renjananya dan meredam emosinya. Demi keberhasilan pekerjaannya Nyai Kartareja tak pernah meninggalkan resep; seorang laki-laki yang datang kepadanya, meski yang sudah beruban sekalipun akan dianggapnya sebagai bayi. Bayi yang mudah terlena oleh kelembutan nina-bobo dan mudah diakali dengan senyum yang teduh serta bujukan manis. Episode 5 "Aduh. Nak, eh, Pak. Benar jugalah bila sampean menjadi gusar semacam ini. Kami pun bisa mengerti mengapa sampean kehilangan kesabaran. Ini semua karena kesalahan kami. Sampean dari rumah membawa kejenuhan atau kegemasan yang seharusnya segera cair di rumah ini. Ya, ya. Pokoknya kehendak seorang priyayi seperti sampean pasti akan kami utamakan. Masalahnya, Srintil yang sampean kehendaki masih kekanak-kanakan. Ah, sampean jangan lupa; Srintil masih demikian hijau. Maka siapa pun yang menghendaki kesegarannya harus sedikit bersabar." "Dengar, Pak. Srintil masih segar seperti kecambah," sambung Nyai Kartareja sambil menyentuh dada Marsusi dengan lembut. "Saya tidak mencari perempuan lumutan," kata Marsusi. Nada bicaranya jatuh pada tempo yang rendah. "Nah! Kecambah itu kami sediakan buat sampean. Soalnya kini terletak kepada kesabaran sampean itulah karena Srintil sudah beberapa hari merajuk." "Nanti dulu. Me-ra-juk?" Hening. Nyai Kartareja membiarkan pertanyaan Marsusi buat sementara mengawang. Andaikan Marsusi tahu bahwa senyuman Nyai Kartareja yang kelihatan begitu wajar adalah sebuah taktik profesional. Atau setidaknya, senyum itu menandakan Nyai Kartareja telah merasa membuat langkah awal yang tepat untuk menguasai keadaan. "Inilah susahnya momong seorang ronggeng cantik tetapi masih kekanak-kanakan. Bayangkan, Pak. Srintil sedang menuntut kalung seperti yang dipakai oleh istri lurah Pecikalan; sebuah rantai emas seberat seratus gram dengan bandul berlian. Seorang priyayi seperti sampean, kalau mau, tentu bisa memenuhi keinginan Srintil itu. Nah, bagaimanakah dengan kami yang melarat ini. Oh, Srintil. Mentang-mentang cantik mudah saja dia memberi beban berat kepada kami." "Hm," lenguh Marsusi. Hanya itu. Yang terjadi kemudian adalah tawar-menawar yang berlangsung dalam keheningan. Nyai Kartareja merasa dirinya berada di atas angin. Langkahnya telah berhasil melumpuhkan murka Marsusi sekaligus menempatkan laki-laki itu dalam selmah taruhan harga diri. Perhitungan istri dukun ronggeng itu terbukti cermat. Marsusi memang bukan laki-laki kemarin sore yang tidak tahu akan adanya maksud tertentu dalam kata-kata Nyai Kartareja. Masalahnya Marsusi kini merasa secara tidak langsung diperbandingkan hanya dengan seorang lurah. Martabatnya sebagai priyayi kepala perkebunan terusik. "Seorang priyayi seperti sampean, kalau mau, tentu bisa memenuhi keinginan Srintil," itulah kata-kata Nyai Kartareja yang melecut hati Marsusi. "Hm," lenguhnya lagi. Marsusi kembali ke tempat duduknya. Ditenggaknya minuman keras yang masih tersisa. Wajahnya beringas oleh pengaruh alkohol atau oleh kerusuhan dalam hatinya. Dalam hati dia mengutuk Nyai Kartareja yang telah memasang pemerasan terselubung. Aneh, Marsusi tak kuasa mendobrak jebakan halus itu, bahkan menerima apa adanya sebagai tantangan. Dipasangnya caping dengan tergesa-gesa kemudian Marsusi bangkit. "Aku mau pulang, Nyai!" "E, lho?" ujar Nyai Kartareja pura-pura kaget. "Yah, bagaimana lagi bila Srintil ngambek seperti itu," sela suaminya. "Nanti dulu, Pak. Tak ada pesan buat Srintil? Besok lusa sampean mau datang lagi, bukan?" Marsusi yang sudah duduk di atas sepeda motornya menoleh. Cuping hidungnya bergerak-gerak. Sorot matanya menyala. Gejolak emosinya disalurkan ke kaki yang menggenjot mesin kuat-kuat. Harley Davidson sisa masa perang itu menderu dan laju diiringi tatapan mata anak-anak Dukuh Paruk yang penuh kekaguman. Nyai Kartareja menjatuhkan pundaknya. Lega. Sekarang dia bukan hanya merasa telah mengatasi kemarahan Marsusi yang gagal berjumpa dengan Srintil, melainkan sekaligus menjebak laki-laki itu dalam sebuah tantangan. "Kita main tebak-tebakan, Ki," kata Nyai Kartareja kepada suaminya. "Aku berani bertaruh; besok atau lusa Pak Marsusi akan kembali kemari. He-he. Seratus gram kalung emas dengan bandul berlian; tantangan yang pantas buat Pak Marsusi. Apa katamu, Ki?" "Kamu ini bagaimana? Pikir dulu di mana sekarang Srintil," jawab Kartareja dingin tetapi tandas. Ada perubahan yang nyata pada wajah Nyai Kartareja. Dia tersadar akan masalah yang justru di hadapan matanya. Karena bimbang Nyai Kartareja tak mampu meneruskan kata-katanya. Tidak lama, karena kemudian wajah perempuan itu kembali cerah. "Ah, kukira Srintil berada di rumah kakeknya sekarang. Aku akan pergi ke rumah Sakarya." "Aku ikut," kata Kartareja sambil meraup tembakaunya. "Nah, ayolah!" Di rumah Sakarya, suami-istri dukun ronggeng itu mendapatkan kenyataan yang mengecewakan. Srintil tidak berada di sana. Bahkan keduanya mendapat teguran Sakarya yang bernada meminta pertanggungjawaban. Kemudian datang seorang tetangga yang mengatakan melihat Srintil berjalan tergesa-gesa ke luar dari Dukuh Paruk. "Apa sampean berdua tidak mengerti semua ini terjadi karena ada sesuatu antara cucuku dan Rasus?" kata Sakarya, nadanya menuduh. "Dua kali sudah Srintil menampik panggilan naik pentas. Kini dia malah minggat. Bagaimana ini?" Nyai Kartareja mendan ludah. Dia teringat akan telur wukan yang ditanamnya diam-diam dalam bilik Srintil. Heran, mengapa kali ini ikhtiarnya tidak mempan. "Nanti dulu," sela Nyai Sakarya. "Apabila Srintil suka kepada Rasus, apa salahnya kita membantu agar mereka bisa kawin?" Sakarya diam. Kakek Srintil itu menangkap kebenaran dalam kata-kata istrinya. Pada dasarnya Sakarya merasa mempunyai seorang cucu yang menjadi istri tentara tak perlu ditolak oleh siapa pun di Dukuh Paruk. Namun bagi Sakarya masalahnya memang tidak begitu mudahnya. "E, lha!" ujar Kartareja tertuju kepada Nyai Sakarya. "Tentu saja tak ada yang salah bila Srintil kawin dengan Rasus. Itu bila cucumu tidak menjadi ronggeng pengemban nama Dukuh Paruk." Episode 6 "Lalu sampean, Sakarya," kata Kartareja ganti kepada kakek Srintil. "Jaga jangan sampai sampean mempunyai pikiran seperti istri sampean. Ingat kewajiban sampean sebagai pemangku dan kamitua anak-cucu Ki Secamenggala di dukuh ini. Tanggung jawab sampean tidak membenarkan sampean mementingkan kepentingan sendiri." Sakarya terbatuk dan mengangguk. "Ya. Tetapi sampean berdua harus berusaha membawa kembali Srintil. Kalian harus menemukan Srintil di mana pun sekarang dia berada." "Baik. Aku sanggup mencari dan menemukan Srintil," kata Nyai Kartareja penuh kepastian. "Nah, begitulah. Namun hati-hati. Sampean tak boleh berlaku kasar terhadap cucuku meskipun dia telah merepotkan kita," ujar Nyai Sakarya. "He, kapankah aku menyakiti cucu sampean? Bahkan, siapakah yang telah membuat Srintil kini mampu memiliki harta dan perhiasan sekian banyak? Sampean menyuruhku berhati-hati. Tetapi sampean sendiri tidak berhati-hati dalam berkata!" "Sudah, sudah!" suara Kartareja dan Sakarya terdengar hampir bersamaan. Matahari masih terik ketika Srintil turun dari andong di depan pasar Dawuan. Titik-titik keringat di pucuk hidungnya. Tengkuk dan pipinya segar dan hidup, memberi kesan kulit seorang anak usia sepuluh tahun. Bahwa Srintil sebenarnya tidak siap mengunjungi pasar terlihat dari roman mukanya yang beku serta pakaian dan rambutnya yang demikian acak-acakan. Namun dalam keadaan demikian keremajaan Srintil kelihatan wajar. Kalaulah ada sesuatu yang menodainya, maka hanya orang-orang yang sangat berpengalaman yang bisa mengetahuinya. Lihatlah kedua pangkal alis ronggeng itu yang mulai turun masuk ke cekungan rongga mata. Bagi orang-orang yang sangat berpengalaman hal itu adalah tanda bahwa seorang perempuan betapapun muda usianya, sudah memasuki keaktifan kehidupan berahi. Setelah membayar ongkos andong, Srintil tidak segera memasuki pasar melainkan hanya membuat beberapa langkah ke tepi jalan. Belum sekaii pun Srintil kelihatan begitu canggung dan asing di pasar Dawuan. Dia tetap berdiri di tepi jalan hingga beberapa waktu lamanya. Tatapan matanya kosong, tanpa makna. Biasanya kedatangan Srintil di pasar Dawuan menimbulkan gairah yang spontan. Orang-orang lelaki bersiul-siul atau membuat seloroh erotik. Orang-orang perempuan mengintip tangan, telinga, atau leher Srintil untuk mengetahui adakah perhiasan-perhiasan baru di sana. Kemudian menyusul celoteh spekulasi; gendak Srintil kali ini adalah si Anu atau Bapak Anu, pangkatnya ini atau kerbaunya sekian belas. Tetapi hari itu orang-orang pasar Dawuan banyak menahan diri. Srintil memasuki pasar dengan mendung membayangi wajahnya. Mulutnya terkatup dengan garis bibir datar lurus. Pangkal alisnya bertemu pada lipatan di tengah dahi. Dalam kesan keseluruhan Srintil siap menampik segala bentuk seloroh dan senda-gurau. Orang-orang melihat Srintil dengan pandangan mata mengandung tanda tanya. Perempuan-perempuan saling berbisik. Celoteh ringan mulai terdengar dari sudut-sudut pasar. "Ada apa, dunianya kelihatan gulita?" kata perempuan pedagang ubi kepada rekan di sebelah. Sudut matanya terarah kepada Srintil. "Nah, saya bisa mengira-ngira," jawab temannya. "Kalau ada seorang ronggeng merengut seperti itu tentu telah terjadi sesuatu dengan pamongnya." "Maksudmu, Nyai Kartareja?" "Ya. Seorang dukun ronggeng suka mengatur segala urusan, bahkan sering kali ingin menguasai harta anak asuhannya." "Itu cerita lama. Aku tahu seorang ronggeng sering kali dianggap sebagai ternak piaraan oleh induk semangnya. Lihatlah dalam musim orang berhajat atau masa lepas panen; ronggeng naik pentas setiap malam. Siang hari dia mesti melayani laki-laki yang menggendaknya. Sementara itu yang mengatur semua urusan, lebih-lebih urusan keuangan, adalah si dukun ronggeng. Kasihan, kan? Sebaliknya, kini suami-istri Kartareja menjadi kaya, kan?" "E! Kalian sedang bicara apa? Srintil yang kelihatan kusut itu?" kata perempuan ketiga yang datang bergabung. "Kalian jangan berpikir yang bukan-bukan. Dengar. Srintil berada di sini dalam usaha melarikan diri dari tangan seorang laki-laki yang tidak tahu diri. Laki-laki itu kukira, tidak mau tahu bahwa Srintil sedang datang bulan. He-he-he." "Ah, mana bisa begitu. Perhatikan sekali lagi, kain Srintil tak bernoda, tumpalnya tidak dilipat. Jadi dia dalam keadaan bersih." "Kita memang telah berbicara berlebihan. Kukira Srintil seperti kita juga yang kadang merasa demikian sebal terhadap laki-laki. Jadi yang menyebabkan Srintil murung adalah perkara sederhana. Dia sedang diamuk rasa jenuh dan muak terhadap laki-laki. Itu saja." Celoteh di sudut pasar itu berhenti karena kehabisan bahan. Perempuan-perempuan itu memperhatikan Srintil memasuki warung penjual lontong. Di sana Srintil duduk satu lincak bersama perempuan pemilik warung. Karena penampilan Srintil yang kaku, perempuan penjual lontong itu menjadi salah tingkah. "Man makan, Jenganten?" "Tidak, Yu. Aku hanya mau minum dan beristirahat sebentar di sini. Boleh kan?" jawab Srintil tanpa melihat pemilik warung. Sejumlah besar air dingin yang bening dihabiskan Srintil. Apabila air mampu menghidupkan kembali tanah yang mati atau menggugah biji-bijian agar tumbuh menjadi kecambah, maka air pulalah yang bisa menjinakkan kegelisahan Srintil dengan pertama-tama memperlambat denyut jantungnya. Episode 7 Termangu-mangu di atas lincak, Srintil merasakan kesejukan air sedang mendinginkan badannya yang semula panas oleh terik matahari dan panas oleh galau pikirannya. Sementara itu di dalam hatinya sedang berlangsung penataan kembali keimbangan antara emosi dan rasa. Prosespenguasaan diri yang berlangsung dalam diam itu ternyata menghabiskan banyak tenaga, terbukti dari terbitnya titik-titik keringat di seluruh permukaan kulit ronggeng Dukuh Paruk itu. Suatu kegiatan metabolik dalam intensitas tinggi yang kemudian menuntut mekanisme tubuh Srintil beristirahat. Denyut kantuk pertama kelihatan pada kerdipan mata Srintil yang lamban. Ketika itu Srintil melihat bayangan Rasus muncul di hadapannya. Namun angin yang berembus pelan membuat matanya semakin redup. Rasa kantuk tak tertahankan lagi olehnya. "Yu, aku sangat ngantuk. Aku mau tidur di sini barang sebentar. Boleh kan?" kata Srintil sambil merebahkan diri. Pelupuh lincak berderit. "E, Jenganten ini bagaimana? Orang mengatakan, tidak boleh orang tidur di warung. Ora ilok, nanti warungku tidak laku. Nanti... " Perempuan pedagang lontong itu tidak ingin berkata lebih jauh karena melihat kenyataan di hadapannya. Rasa keibuannya tergugah oleh sebentuk tubuh yang tergolek demikian damai. Sosok Srintil yang muda dan lentur, wajah yang teduh dalam tidur mengingatkan perempuan itu akan anaknya yang masih bayi dan kini ditinggal bersama neneknya di rumah. Dalam keadaan lelap keakuan Srintil hampir punah. Menjadi tidak penting lagi apakah dia bernama Srintil atau apakah dia ronggeng Dukuh Paruk. Tak ada lagi atribut apa pun yang tepat bagi sebuah subyek yang kini terdampar di atas lincak itu. Dia hanya pantas disebut sebagai bagian alam yang bernama anak manusia yang jelas sekali ingin mengundurkan diri barang sejenak dari keakuannya. Yang serempak muncul ke permukaan adalah kesan memelas, kesan yang menjadi daya tarik utama seorang bayi. Ternyata bukan hanya pedagang lontong yang bersimpati kepada Srintil, melainkan juga sebagian besar orang yang berada di pasar Dawuan. Alam menagih janji kepada mereka; alam yang setiap hari mengasah naluri mereka sehingga mereka dapat merasakan bahwa Srintil sedang berada dalam kesempitan sehingga pantas mendapat pembelaan. Tidaklah penting bagi orang-orang pasar Dawuan itu untuk mengetahui apa sebenarnya yang membuat Srintil tampak merana. Manifestasi sikap mereka menjadi jelas ketika satu jam kemudian muncul Nyai Kartareja di gerbang pasar Dawuan. Perempuan-perempuan penjual ubi melihat wajah kaku istri dukun ronggeng itu. Sorot mata yang keruh dan rambut yang disanggul tinggi-tinggi memperkuat kesimpulan bahwa sedang ada ketegangan antara Nyai Kartareja dan Srintil. Atas dasar tuntunan naluri yang paling bersahaja orang-orang pasar Dawuan bertindak melindungi ronggeng Dukuh Paruk itu. "Ah, Nyai Kartareja. Sampean sedang mencari Srintil, bukan?" tanya seorang perempuan pedagang ubi. Yang ditanya mengangguk kaku. "Nah, dia tidak ada di sini. Kulihat Srintil tadi terus ke selatan." "Seorang diri?" "Ya. Dan Srintil kelihatan sangat murung. Ada apa ya, Nyai Kartareja?" Pertanyaan yang bernada campur tangan itu menyinggung perasaan Nyai Kartareja. Dia tidak menjawab, bahkan berbalik keluar pasar Dawuan dalam langkah yang panjang-panjang. Kegiatan pasar Dawuan sebenarnya hanya berlangsung pagi hari. Setelah matahari tergelincir sebagian pedagang sudah pulang ke rumah masing-masing. Yang tinggal adalah mereka yang tidak mungkin setiap kali membawa dagangannya pulang-balik. Mereka adalah penjual barang-barang tembikar, penjual tikar, pedagang ubi, serta pemilik warung makanan yang melayani pembeli hingga sore hari. Para pedagang keliling juga menggunakan pasar Dawuan sebagai terminal peristirahatan. Pada sore hari banyak los berisi orang yang menggelar tikar; tidur berleha-leha atau duduk berkeliling, bermain kartu. Udara yang panas membuat orang-orang kehilangan gairah bekerja. Mereka mengharapkan suasana yang santai. Seperti burung perkutut di pohon kenari di belakang pasar. Tubuhnya lenyap dalam kerimbunan dedaunan agar bebas dari sengatan sinar matahari. Namun merdu suaranya mencapai si betina jauh di seberang sana. Bila yang dipanggil sudah datang maka perkutut jantan mengubah nada suaranya menjadi lebih rendah dan lembut. Demikian lembut sehingga terdengar baur dengan suara angin yang menyapu pepohonan. Sepasang burung perkutut merasa perlu menciptakan suasana pribadi untuk mencari keselarasan dengan alam. Udara yang panas, angin yang berembus pelan, dan suara perkutut adalah sebuah harmoni yang bersumber dari naluri alam sendiri. Arif seperti sepasang perkutut itu adalah Wirsiter bersama Ciplak, istrinya. Pasangan penjaja musik kecapi itu tahu betul saat yang tepat di mana musiknya menjadi kebutuhan para pelanggan. Mereka muncul di pasar Dawuan ketika orang-orang di sana berada dalam puncak kebosanan pekerjaan rutin. Sehabis bekerja sepanjang pagi hari orang-orang pasar itu mengharapkan kedatangan suasana selingan yang lebih renyah dan ringan. Wirsiter dan istrinya tak pernah rela disebut tukang ngamen, apalagi disebut sebagai pengemis yang berpura-pura menjual musik. Mereka tidak akan menggelar musik di hadapan siapa pun, termasuk pelanggan yang tidak memintanya. Untuk mendukung sikap ini mereka selalu tampil bersih. Pakaian mereka selalu rapi; Wirsiter dengan blangkon, baju lurik serta kain batik yang diwiru. Istrinya selalu muncul dengan kain kebaya lengkap dengan selendang dan konde berhiaskan bunga melati. Bibir mereka merah karena keduanya makan sirih. Ada berbagai perkakas musik untuk menerjemahkan irama, keselarasan, bahkan renjana alam. Orang Dukuh Paruk misalnya percaya penuh bahwa calung adalah perkakas yang tiada taranya untuk menampilkan irama denyut jantung yang meriah dan hangat dalam rangsangan berahi. Kalau orang ingin bertanya di manakah letak kekuatan musik calung, jawabnya sangat bersahaja; yakni kesederhanaannya. Bukan berarti orang dengan mudahnya memotong-motong bambu, merangkainya kemudian jadilah perangkat calung. Sederhana artinya, orang harus membatasi diri dalam campur tangannya ketika mereka-reka bambu. Persyaratan-persyaratan yang bersifat alami lebih menentukan mutu perangkat calung daripada keahlian tangan pembuatnya. Episode 8 Calung yang sempurna hanya dihasilkan dari bambu hitam yang betul-betul kering. Tetapi orang tidak boleh menjemurnya, apalagi memanggangnya di atas api. Bambu itu tidak boleh terluka sebelum ditebang, baik luka oleh manusia atau luka oleh binatang mengerat atau patah ujungnya selagi masih muda. Dia juga harus lurus dan langsing. Bambu yang tebal karena terlalu gemuk tidak baik untuk membuat calung. Para pembuat calung tidak akan mengatakan bahwa tertib yang mereka patuhi itu adalah cara mereka menempatkan diri dalam keselarasan Sang Empu Agung. Mereka hanya tahu, dengan tertib itulah mereka akan memperoleh perangkat calung yang sebenar-benarnya. Bunyinya akan mampu menerjemahkan suara puluhan blentung, iramanya bisa padu dengan suara curah hujan di atas atap ilalang dan semangatnya adalah detak jantung yang bergairah. Sama halnya calung, kecapi pun mengandalkan kekuatan pada kebersahajaannya. Bentuk umum sebuah kecapi adalah kotak kayu bersegi lima dan memanjang. Pada salah satu bidangnya direntangkan kawat-kawat dawai. Setiap helai kawat mewakili sebuah nada. Tangga nada ditentukan oleh tebal tipisnya kawat serta sebuah bantalan logam tipis yang dipasang miring dan serong. Bantalan serong ini mengatur jenjang panjang kawat-kawat dawai. Tentang sebuah kecapi hendaknya orang tidak menanyakan soal presisi nada, patokan umum, apalagi menerapkan pengetahuan akustik terhadapnya, setidaknya terhadap kecapi milik Wirsiter. Seniman keliling itu tidak belajar teori tetek-bengek. Dengan alatnya yang demikian sederhana Wirsiter dan istrinya melagukan keserasian alam. Guru mereka adalah kelap-kelip ribuan kunang ketika jatuh gerimis senja hari. Atau lintasan buih yang hilang-tampak di antara bebatuan atau curah hujan yang menerpa permukaan telaga yang tenang. Rasa dalam kesadaran sempurna; itulah guru utama Wirsiter dan istrinya. Jadi Wirsiter bersama istrinya pergi ke sana kemari menjajakan musik yang memanjakan rasa, yang sendu, dan yang melankolik. Musiknya tidak membuat orang bangkit berjoget, melainkan membuat pendengarnya mengangguk-angguk menatap ke dalam diri atau terbang mengapung bersama khayalan sentimental. Seperti pada sore hari yang panas itu orang-orang pasar Dawuan tepekur mendengarkan petikan kecapi Wirsiter. Ciplak membawakan asmara dahana. Li lali tan bisa lali Sun lelipur tan sengsaya Katon bae sapolahe Kancil desa 'njang talingan Aku melu karo ndika Lebu seta sari pohung Becik mati yen kapiran Seberkas lagu dan liriknya dibawakan oleh dua orang yang sejak kelahiran mereka menjadi murid alam. Orang-orang yang sedang berjudi berhenti menjatuhkan kartu. Yang sedang tiduran berleha-leha mengawang ke alam khayal antara tidur dan jaga. Perempuan yang sedang mengunyah sirih tetap menggerak-gerakkan mulut, tetapi pikirannya terbang ke belakang, ke suatu masa yang paling berkesan dalam hidupnya. Barangkali Wirsiter maupun Ciplak tidak bisa mengatakan mengapa mereka lebih banyak menyanyikan lagu-lagu asmara. Dalam kenyataannya mereka hanya menuruti selera sebagian besar pelanggan. Atau karena musik kecapi memang paling cocok untuk melukiskan perasaan asmara. Atau lagi; bila benar bahkan kumbang tahi yang beterbangan di Dukuh Paruk pun diciptakan atas dasar motiyas, cinta agung, maka Wirsiter bersama istrinya hanya patuh kepada naluri alam yang paling dasar. Orang-orang di pasar Dawuan asyik terlena. Segala sesuatu lepas dari perhatian mereka, tak terkecuali sebuah subyek yang sedang terdampar di atas lincak pedagang lontong. Musik Wirsiter mengantarkan Srintil ke alam jaga dengan caranya yang paling santun. Perlahan-lahan Srintil membuka matanya. Namun dia tidak melihat sesuatu karena pusat indrianya sedang bertumpu pada syaraf pendengaran. Memang, Wirsiter dan istrinya dengan lagu asmara yang mereka kumandangkan tidak bermaksud menyentuh hati Srintil. Namun ketidak-sengajaan mcreka tak urung mengusik kelenjar air mata ronggeng Dukuh Paruk itu. Srintil bangkit, dan mengusap mata. Perempuan pedagang lontong menoleh karena mendengar derit pelupuh bambu. "Oh, sudah bangun, Jenganten? E, lha sampean menangis?" "Tidak, Yu. Tidak." "Jenganten ini bagaimana? jelas sekali sampean menangis. Sakit? Atau sebenarnya apa..." "Tidak, Yu. Beri aku minum lagi," potong Srintil. Penjual lontong tertegun. Ditatapnya Srintil yang sibuk mengusap air mata di pipi dan di kedua lubang hidungnya. Lalu sadar bahwa Srintil bukan kanak-kanak lagi, karenanya dia layak mempunyai wilayah pribadi yang tak usah diketahui orang lain. "Anu, Jenganten, makan ya?" "Aku tidak lapar, Yu." "Ah jangan berdusta di hadapanku. Aku ini seorang ibu yang sudah cukup usia, jadi aku bisa membaca tanda-tanda orang yang lapar. Bibir sampean kehilangan cahayanya. Lekuk di pangkal leher sampean sangat kentara. Dan ketika tidur tadi perut sampean masuk ke rongga dada. Maka sekarang makanlah. Bila tidak nanti tubuh sampean bisa rusak. Sayang, bukan?" Srintil bukan tidak lapar. Sejak kemarin perutnya sudah terasa perih. Masalahnya dia hanya malas menyuapkan makanan ke dalam mulut. Namun ketika sepiring nasi lontong dengan kuah panas siap di hadapannya Srintil mengalah. Hidangan itu dihabiskannya dalam waktu singkat. Bibirnya, pipinya, merah oleh panasnya kuah serta pedasnya sambal cabai. Keringat serta air matanya kembali menitik. Citra hidupnya seakan menggeliat bangkit. "Nah, benar kataku, bukan? Nasi lontong ini bisa membuat sampean lejar. Tambah, ya?" "Terima kasih, Yu. Aku sudah kenyang." Episode 9 Srintil meninggalkan pasar Dawuan ketika orang-orang di sana masih asyik menikmati kecapi Wirsiter. Banyak orang menoleh kepadanya tetapi tanpa komentar. Namun dalam hati mereka mencatat; baru sekali inilah mereka melihat Srintil begitu lesu dan murung. Baru beberapa langkah di luar pasar Srintil berhenti. Rasa bimbang menghentikan langkah-langkahnya. Perilakunya yang serba canggung menarik perhatian orang-orang yang melihatnya. Seorang di antara mereka mendekati Srintil dari arah belakang. Laki-laki berkaus putih dan bercelana hijau tentara itu tak merasa salah ketika tangannya menggamit pantat Srintil. Tak diduganya Srintil membalas dengan tatapan mata amarah. "Aku memang ronggeng, maka tangan laki-laki boleh hinggap di mana saja pada tubuhku. Tetapi kini hatiku bukan lagi ronggeng. Bukan!" Sayang. Teriakan keras Srintil hanya bergema dalam hati sendiri. Kopral Pujo yang berdiri satu jengkal di hadapannya tidak mendengar teriakan itu. Namun setidaknya dia sadar kemarahan Srintil akibat kelancangan tangannya bukan berpura-pura. "Kira-kira dua jam yang lain Nyai Kartareja datang ke markasku mencari kamu. Wah! Seorang ronggeng dicari di sebuah markas tentara. Lucu, ya?" kata Kopral Pujo sambil cengar-cengir untuk menutupi penyesalannya. "Kamu sudah bertemu Nyai Kartareja?" sambungnya. "Belum," jawab Srintil tak acuh. "Kamu disangkanya pergi bersama Rasus." "Oh?" "Begitulah. Padahal sudah tiga hari ini Rasus tidak ada di markas. Bersama Sersan Slamet, Rasus pergi ke markas batalyon." "Oh? Jadi Rasus tidak ada lagi di sini?" Kopral Pujo tidak mcnangkap perubahan mendadak pada wajah Srintil. "Dia anak yang beruntung. Bila pulang nanti Rasus benar-benar sudah jadi tentara. Punya pangkat, punya gaji. Wah, pokoknya seperti aku ini." Srintil diam menunduk. Dan mengapa Kopral Pujo tidak mengerti bahwa sedang terjadi galau yang seru dalam hati perempuan muda di hadapannya? Ketumpulan perasaannya menyebabkan Kopral Pujo juga tidak berprasangka apa pun ketika Srintil bertanya, "Kapankah kira-kira Rasus pulang?" "Mana aku tahu. Tetapi kira-kira lama. Yang aku tahu, seorang seperti Rasus harus menempuh pendidikan sebelum resmi diberi pangkat. Di mana dia akan dididik, entahlah. Aku baru tahu kalau Sersan Slamet kembali ke markas." "Ya." ujar Srintil lirih. Kini Kopral Pujo mengerti perubahan pada diri Srintil; matanya yang berkaca-kaca, sinar wajahnya yang memudar dan napasnya yang terengah-engah. Kopral itu mengerutkan kening. "Nanti dulu, Wong Dukuh Paruk! Aku jadi tidak mengerti. Adakah sesuatu antara dirimu dengan... " "Tidak, Pak. Tidak!" Srintil memutar badan lalu berjalan cepat meninggalkan Kopral Pujo yang kemudian berdiri termangu, kemudian tersenyum sendiri sambil mengangguk-angguk. Dan, "Hm?" Tentang Rasus dan Srintil, Kopral Pujo hanya tahu keduanya berasal dari Dukuh Paruk. Selama dalam pergaulan di markas, Rasus tak pernah bercerita tentang ronggeng itu, apalagi tentang hubungan khusus di antara keduanya. Entah dorongan apa yang menyebabkan Srintil kembali memasuki pasar Dawuan. Duduk di sebuah lincak kosong Srintil memanggil Wirsiter dan istrinya dan meminta mereka menggelar musik. Selesai satu babak Srintil meminta penjaja musik kccapi itu menyambungnya. Dan seterusnya, tanpa menghiraukan berapa banyak uang yang harus dikeluarkannya. Hingga matahari hampir terbenam pasar Dawuan masih berhiaskan suara kecapi Wirsiter dan tembang yang dinyanyikan oleh Ciplak. Srintil menampilkan kegembiraan yang aneh. Terkadang Srintil tersenyum sambil pacak gulu, tetapi senyumnya aneh. Terkadang ia ikut berduet dengan Ciplak, tetapi suaranya parau, tidak polos. Semuanya memberi kesan perilaku Srintil bertentangan dengan apa yang sedang dirasakan dalam hatinya. Lalu apa pula yang menyebabkan Srintil demikian marah ketika Ciplak minta berhenti bertembang. "Kami sudah lelah, Jenganten," kata Ciplak. "Sudah dua puluh babak." "Ya, istriku benar. Lagi pula hari sudah hampir gelap," tambah Wirsiter. Srintil mengerutkan kening hingga kedua pangkal alisnya hampir bertemu. Matanya bersinar-sinar. "Sudah dua puluh babak; jadi sampean berdua takut aku takkan membayar semuanya. Begitu?" ujar Srintil tajam. "Ah, jangan salah mengerti, Jenganten," kata Wirsiter merendah. "Hari sudah sandikala!" Dengan tekanan kata pada "sandikala" Wirsiter bermaksud mengingatkan Srintit akan hari yang sedang memasuki saat-saat paling peka. Senjakala: saat keimbangan ekosistem alam bergoyang karena siang sedang beralih ke malam, karena sedang berlangsung perubahan intensitas sinar kosmik yang jatuh ke bumi. Wirsiter takkan pernah berkata demikian. Dalam hidupnya hanya ada salah satu ketentuan bahwa orang harus beristirahat di kala hari senja ketika Bathara Kala turun mencari mangsa. Bathara Kala harus dihormat dan dipuja; satu hal yang tak bisa ditawar-tawar bagi Wirsiter dan istrinya. Menyimpang dari tertib itu hanya berarti menyediakan diri menjadi umpan Sang Waktu. Srintil dapat memahami kata-kata Wirsiter; senjakala adalah saat semua orang mengundurkan diri dari keseharian untuk memenuhi selera alam. Namun tak urung kemarahan masih tergambar jelas di wajahnya. Barangkali kemarahan Srintil akan berkepanjangan kalau tidak dilihatnya seorang nenek berjalan terbungkuk-bungkuk mendekatinya. Suaranya terputus-putus karena napas yang terengah-engah sehabis jauh berjalan. "Cucuku, Wong Ayu, kau di sini?" suara Nyai Sakarya langsung menyiram hati Srintil yang sedang panas. Episode 10 Suara itu adalah suara paling akrab yang dikenal Srintil sejak masa kanak-kanak. Suara ibu tak pernah didengarnya karena Srintil jadi yatim-piatu sejak bayi. Mata Nyai Sakarya yang sudah begitu redup karena usia masih mampu memberi daya kepada Srintil yang kemudian bangkit perlahan-lahan. Sentuhan telapak tangan renta yang jatuh di pundaknya terasa sejuk di hati Srintil. Dia berjalan menunduk ke luar pasar Dawuan dalam rangkulan neneknya, menggigit bibir, dan matanya kembali berkaca-kaca. Seorang nenek yang terbungkuk-bungkuk berjalan merangkul cucunya. Nyai Sakarya maupun Srintil membisu. Namun dalam hati masing-masing sudah tumbuh kesepakatan; mereka berdua hendak pulang ke Dukuh Paruk. Pedukuhan kecil yang terasing di tengah sawah itu adalah ibu mereka. Haribaan dan pelukannya teduh dan mesra. Mereka berhenti di sebuah angkruk di luar Dawuan sambil menanti saat senjakala lewat. Dalam kegelapan yang mulai membayang keduanya tetap bungkam. Nyai Sakarya sudah tahu mengapa cucunya melarikan diri dan Srintil sudah tahu pula mengapa Nenek mencarinya. Kemudian keduanya melayangkan ingatan masing-masing kepada dua hal yang berbeda. Nyai Sakarya teringat akan orang tua Srintil ? anaknya sendiri ? yang kedua-duanya meninggal dalam malapetaka racun bongkrek ketika Srintil baru berusia lima bulan. Duka cita masa lalu yang tak mungkin terlupakan kini menjelma menjadi rasa sayang yang amat sangat terhadap cucunya. Sementara Srintil yang tidak tahu-menahu soal malapetaka tempe bongkrek itu hanya teringat akan Rasus. Dan Rasus kini menjadi sebuah teka-teki yang menyakitkan setiap kali bayangannya muncul di hati Srintil. Anak Dukuh Paruk itu entah di mana sekarang. Srintil merasa ditinggalkannya dengan cara yang paling tidak berperasaan. Perjalanan ke Dukuh Paruk diteruskan ketika bintang-bintang mulai terang. Lepas dari jalan besar Srintil dan neneknya menapak pematang yang lurus menuju Dukuh Paruk. Gerumbul kecil itu meremang di kejauhan. Kiri-kanan pematang adalah hamparan sawah yang sangat luas dan kini ditanami berbagai palawija. Burung bence yang selalu berteriak-teriak bila ada manusia berjalan dalam gelap terbang hanya beberapa depa di atas kepala cucu dan nenek itu. Suaranya berisik, seakan-akan seluruh malam adalah miliknya yang sedang diusik. Agak jauh di depan sepasang sinar kebiruan bergerak menyeberang pematang diikuti oleh dua pasang lainnya. Srintil merapat ke tubuh neneknya. "Belacan yang mengiringkan anak-anaknya." kata Nyai Sakarya yang mengerti akan ulah Srintil. Namun Srintil kembali merapat ke tubuh neneknya ketika terdengar kegaduhan tak jauh di sampingnya. Sesaat kemudian samar-samar terlihat seekor unggas besar mengapung ke udara dengan tikus sawah di cakarnya. Burung hantu telah mendapat mangsa pertama di awal malam. Dia terbang megah sementara jerit tikus mangsanya terdengar makin jauh makin sayup. Malam telah sempurna gelap sebelum Nyai Sakarya dan Srintil mencapai Dukuh Paruk. Bulan tua baru akan muncul tengah malam sehingga cahaya bintang leluasa mendaulat langit. Kilatan cahaya bintang-beralih memberi kesan hidup pada rentang langit. Tetapi bila kilatan cahaya itu berlangsung beberapa detik lamanya dia menimbulkan rasa inferior; betapa kecil manusia di tengah keperkasaan alam. Di bawah lengkung langit yang megah Nyai Sakarya beserta cucunya merasa menjadi semut kceil yang merayap-rayap di permukaan bumi, tanpa kuasa dan tanpa arti sedikit pun. Tampi berjalan terburu-buru menuju rumah Sakarya. Goder, anaknya yang baru sepuluh bulan melekat di balik kain embanannya. Tangan kanan Tampi memegang sesuatu yang terbungkus tumpal kain. Sesisir pisang raja; yang ini buat Srintil yang sudah beberapa hari tergeletak sakit. Badannya mulai kurus, wajahnya pucat. Kesan kesegarannya, ciri utamanya yang paling menonjol selama ini, hampir lenyap. Srintil enggan bercakap-cakap dengan siapa pun, enggan makan, bahkan senyumnya yang sangat khas hilang sama sekali. Nah, kecuali pada saat Goder kecil datang bersama emaknya. Pesona bayi adalah pesona bunga-bunga, pesona mayang pinang yang terurai dari kelopaknya di pagi hari atau pesona biru bunga bungur di awal musim kemarau. Ulahnya selalu menawan, bahkan bau badan dan mulutnya adalah kesegaran ajaib yang hanya alam sendiri mampu menciptakannya. Sinar matanya yang polos bening mampu memadamkan murka seorang ayah. Bayi adalah kesejukan alam seperti demikian adanya sehingga seorang ibu misalnya, takkan marah bila pangkuannya terkena kencing, bahkan tahi bayinya. Seorang bayi pastilah lebih dari anak kandung ibunya karena dia sesungguhnya adalah anak kandung alam yang paling sah. Maka siapa pun yang mau jujur dengan nuraninya akan mengakui bahwa semua bayi hidup dalam alam yang penuh rahmat. Siapa yang merasa sedang diamuk rasa tidak menentu bisa mendapatkan keteduhan bila dia mau menyelinap ke dalam dunia bayi. Srintil yang sedang merana secara ragawi maupun rohani bisa merasakan keajaiban suasana yang dibawa oleh si kecil Goder. Meski badannya lemah dia berusaha duduk dan meminta Tampi menyerahkan bayinya. Demikian setiap hari bila Tampi menjenguk Srintil di rumah Sakarya. "Kula nuwun..." "Oh, ya. Tampi, bukan? Mari masuk," ujar Nyai Sakarya menyilakan tamunya. "Bagaimana keadaan Srintil, Nyai?" "Lihatlah sendiri di kamar. Wah, harus bagaimana aku ini. Srintil masih enggan makan. Ketupat dia tak mau, lontong yang kuberikan tadi pagi masih utuh sekarang. Bubur, apalagi." Kamar tidur Srintil yang sesungguhnya berada di rumah Kartareja. Di sanalah dia sebagai ronggeng menerima tamunya. Kamar di rumah Kartareja itu mewah menurut ukuran Dukuh Paruk. Tempat tidurnya terbuat dari besi pejal, kasurnya tebal dan berkelambu. Orang seperti Tampi tak berani masuk ke dalam kamar seperti itu karena rikuh. Sementara di rumah neneknya, Srintil tidur dalam kamar seperti milik kebanyakan orang Dukuh Paruk. Tempat tidurnya terbuat dari bambu seluruhnya kecuali empat tiang penyangganya. Alasnya adalah tikar pandan dengan dua bantal yang sudah lusuh. Masuk ke dalam bilik seperti itu tak ada keraguan sedikit pun di hati Tampi. "Bagaimana, Srin?" tanya Tampi setelah melangkahi pintu bilik. Tubuh yang tergolek itu hampir tak memberi tanggapan apa pun. Matanya kosong dan cekung. Episode 12 Sementara itu suami-istri Kartareja adalah dukun ronggeng. Merekalah yang paling tahu segala tetek-bengek dunia peronggengan dan mereka menggunakan pengetahuan serta statusnya sebagai dasar mata pencarian. Dari ongkos pentas mereka mengambil bagian yang kadang-kadang lebih besar daripada bagian yang diterima Srintil. Dan keuntungan yang lebih besar lagi diterima oleh suami-istri Kartareja manakala mereka bertindak sebagai mucikari. Seorang laki-laki yang mabuk kepayang terhadap Srintil dan ingin tidur bersamanya barang satu-dua malam harus melalui perantaraan Nyai Kartareja. Maka baginya untuk sementara tak mengapalah kalau Srintil masih enggan menari asalkan dia mau melayani laki-laki yang menginginkannya. Ketika suatu malam Marsusi muncul kembali di Dukuh Paruk, tibalah saat bagi Nyai Kartareja meminta Srintil kembali kepada kebiasaan semula. Dalam mempengaruhi Srintil, Nyai Kartareja menggunakan segala kemampuannya karena dia tahu Marsusi pastilah membawa kalung emas seratus gram dengan bandul berlian. Perhiasan seperti milik istri lurah Peeikalan itu telah lama menjadi buah mimpinya. Tetapi kepada Marsusi dia mengatakan Srintil-lah yang menginginkannya. Malam itu Srintil sedang berada di rumah kakeknya, Sakarya, mengayun-ayun Goder dalam embanannya. Bahwa Nyai Kartareja akan datang menyusulnya sudah diperhitungkan oleh Srintil ketika dia mendengar deru sepeda motor memasuki Dukuh Paruk. Kebimbangan mulai membayang pada wajahnya. Srintil belum siap mengambil sikap apa pun. Yang pasti Srintil merasa tidak seperti dulu lagi. Semangat hidupnya sebagian besar tersita oleh bayi gemuk yang kini lekat dalam embanannya. Kehidupan angan-angannya terlanjur terpaut kepada anak Dukuh Paruk yang jadi tentara dan kini entah di mana, Rasus. Maka mengapa tidak ada orang tahu sebenarnya Srintil terkejut ketika menyadari bahwa Dukuh Paruk masih mengharuskan dirinya melayani laki-laki yang datang. "Jadi Dukuh Paruk tidak mengerti bagaimana aku sekarang," keluhnya. Dukuh Paruk dengan orang-orangnya memang tidak tahu banyak. Mereka hanya tahu Srintil jatuh hati kepada Rasus dan bertepuk sebelah tangan. Apa dan sejauh mana akibat penampikan Rasus terhadap Srintil tak pernah diperkirakan orang. Ketika berbaring sakit beberapa hari lamanya Srintil merenungkan pengalamannya dengan dunia laki-laki. Selama ini Srintil hanya menurut kepada Nyai Kartareja, lalu menerima uang atau perhiasan. Betapapun dirinya seorang ronggeng Srintil merasa tidak mempunyai perbedaan dengan perempuan lain. Dia memiliki perasaan khusus terhadap laki-laki tertentu dan dia merasa harus memiliki kesempatan memilih. Adalah peruntungan Srintil mengapa laki-laki yang dipilih untuk dijadikan muara segenap hati dan perasaarmya adalah Rasus; dia yang secara halus telah menampik dan meninggalkannya dengan cara yang menyakitkan. Srintil masih terlalu muda untuk memahami keretakan-keretakan yang terjadi dalam dirinya sendiri. Pada mulanya Srintil merasa sedih dan putus asa. Kemudian seperti yang diajarkan oleh Dukuh Paruk, Srintil menganggap semua kegetiran yang dialaminya merupakan bagian garis hidup yang harus dilaluinya. Maka pada dasarnya Srintil pasrah dan nrimo saja. Dalam hidup ini orang harus nrimo pandum; ikhlas menerima jatah, jatah yang manis atau jatah yang getir. Tetapi bahkan Srintil sendiri tidak merasa bahwa sesuatu telah menyusup ke alam bawah sadarnya. Sesuatu itu adalah benih melembaga yang kelak akan mengubah sikap Srintil terhadap semua laki-laki. Pada taraf pertama citra laki-laki yang berkembang di hati Srintil adalah dua wajah yang kesemuanya jauh dari menyenangkan. Pertama adalah laki-laki jenis lembu jantan atau bajul buntung seperti kebanyakan mereka yang datang kepadanya. Mereka mendengus dan menggeram seperti macan berhasil menerkam menjangan. Hampir semua dari mereka tidak mempunyai latar perkenalan sebelumnya dengan Srintil. Melayani laki-laki yang baru dikenalnya mula-mula tidak mendatangkan masalah batiniah pada diri ronggeng itu. Tetapi pengalaman yang sama bersama Rasus, laki-laki belia yang dikenalnya sejak masa kanak-kanak dengan ikatan batin yang kuat, memberi Srintil sebuah perbandingan yang timpang. Sangat jauh berbeda; lebih berkesan, lebih banyak mengandung makna karena bukan hanya raga melainkan juga jiwa yang menyatu. Lainnya adalah laki-laki jenis munyuk yang lemah Mereka cengar-cengir, dan begitu mudah takluk tak berdaya di hadapan seorang ronggeng cantik seperti Srintil. Mereka rela kehilangan apa saja kemudian merengek hampir mengemis. Kalau mau Srintil bisa memberi segala perintah kepada mereka seperti kacung. Para lelaki seperti itu gampang sekali bermulut bocor, menceritakan keburukan istri sendiri kepada Srintil. Dengan cara seperti ini mereka mengharap simpati ronggeng itu untuk menciptakan suasana yang lebih manis bersamanya. Nah, Srintil justru luar biasa benci kepada laki-laki seperti itu. Wajah yang kedua adalah laki-laki jenis Rasus dan Rasus sendirilah modelnya. Dia tangkas seperti anak kijang, harga dirinya hampir mencapai taraf congkak dan tidak merengek apalagi mengemis. Rasus memberi karena Srintil meminta atau Srintil meminta dan Rasus memberi. Sebagai laki-laki kepribadiannya menggaris jelas. Rasus memang masih muda tetapi di hati Srintil dia memberi gambaran sebuah pohon kukuh dengan bayangan yang teduh tempat orang bernaung. Sayang sekali betapapun Srintil mengagumi Rasus, laki-laki itu telah membuat luka di hatinya. Seperti semua laki-laki lain Rasus pun ikut menyelipkan benih kekecewaan di alam bawah sadar Srintil. Dalam wawasan ini Srintil tidak bisa melihat beda antara dua wajah laki-laki itu. Semuanya mengecewakan, semua merangsang Srintil membuat suatu perhitungan. Srintil tersadar karena Goder menggeliat dalam embanannya. Kepada neneknya, Srintil minta diri hendak pulang ke rumah Kartareja. Suami-istri Sakarya cepat tanggap dan menilai tindakan cucunya sebagai perubahan yang baik. Bukan hanya karena Srintil sudah sekian lama tidak mau menjenguk rumah pamongnya, melainkan juga karena kakek dan nenek itu telah mendengar suara sepeda motor yang berhenti di depan rumah Kartareja. Menurut perkiraan Sakarya dan istrinya, Srintil hendak menjumpai tamunya, ini berarti cucunya itu telah kembali seperti semula dan telah melupakan Rasus. Nenek dan kakek Srintil saling berpandangan dan tersenyum. "Kalau kau hendak pergi menemui tamumu, sebaiknya kembalikan dulu Goder kepada emaknya. Atau tinggalkanlah dia bersamaku di sini," kata Nyai Sakarya. "Tidak, Nek. Biarlah anak ini tetap bersamaku," jawab Srintil di luar pintu. Episode 13 Srintil melangkah dengan pasti dalam kegelapan. Sebenarnya taburan bintang di langit memberikan cahaya temaram ke bumi. Namun kerimbunan pepohonan di Dukuh Paruk menyerap cahaya itu sehingga tercipta kegelapan sempurna di bawahnya. Srintil berjalan cepat sambil memeluk Goder erat-erat dalam embanannya. Hatinya mantap oleh semangat baru yang pasti akan mengejutkan semua orang, namun dia telah bertekad akan mempertahankannya. Di depan rumah semangnya itu Srintil berjumpa dengan Nyai Kartareja yang memang hendak menjemputnya di rumah Sakarya. "Srintil?" "Ya, Nyai." "Wah, bagus! Wong ayu, ada tamu datang. Kau tahu siapakah dia?" "Tidak." "Pak Marsusi, kepala perkebunan karet Wanakeling. Berbaik-baiklah melayaninya. Eh, kau masih membawa-bawa anak si Tampi? Mari, serahkan anak itu kepadaku. Tidak pantas menemui seorang tamu penting sambil membopong bayi." Srintil tidak menjawab tetapi membuat gerakan sedemikian rupa sehingga Nyai Kartareja harus tahu bahwa Srintil enggan berpisah dengan bayinya. Nyai Kartareja mengerutkan kening karena tidak tahu menerjemahkan sikap Srintil. Akhirnya istri dukun ronggeng itu mengalah, masuk kembali ke dalam rumah. Srintil mengikutinya dari belakang. "Nah, Pak Marsusi, inilah Srintil. Ternyata aku tak perlu bersusah payah menjemputnya karena dia sendiri yang datang. Kukira Srintil tak akan berbuat demikian apabila tamu yang datang bukan sampean. Iya kan, Srin?" Perkenalan basa-basi itu tidak ditanggapi oleh Srintil. Apalagi pandangan mata Marsusi segera menyergapnya. Memang hanya sesaat tetapi Srintil dapat membaca secara mendalam makna pandangan seperti itu. Entahlah, kali ini Srintil mulai merasa muak. Dalam hati Marsusi memercik api yang membakar gairah yang dibawanya dari rumah. Pengetahuannya tentang Srintil sebagian besar diperolehnya dari penibicaraan umum, ditambah dengan dua kali melihat ronggeng itu secara langsung. Satu kali ketika Srintil naik pentas di Pecikalan beberapa bulan yang lalu. Kemudian satu kali lagi di pasar Dawuan. Kini semuanya menjadi lebih jelas. Apalagi Marsusi merasa Srintil yang muncul di rumah Kartareja saat itu khusus untuk dirinya. "Ah, pantas. Pantas!" kata Marsusi dalam hati. Tanpa disadarinya tangannya meraba kantung baju. Di dalamnya ada seuntai kalung seratus gram dengan bandul berlian. Srintil tetap berdiri. Goder menggeliat dalam buaiannya. Oh, seorang bayi. Alam jualah yang memberinya kepekaan luar biasa kepadanya. Dalam tidurnya bayi itu menangkap keresahan hati ibu yang sedang membuainya. Mata hati bayi yang masih putih mampu merekam segalanya. Bukan hanya denyut jantung Srintil yang makin cepat, melainkan juga segala sudut batinnya yang sedang gelisah. Mengapa tidak muncul pertanda nyata bahwa seorang bayi seperti Goder sudah merasa bahwa ada pihak lain yang ingin merebut tempatnya di haribaan Srintil? Mengapa sasmita alam im terlalu lembut sehingga hanya seorang bayi yang mampu menangkapnya? Dan mengapa seorang bayi tidak mampu membela kepentingannya yang paling vital sekalipun kecuali hanya dengan cara menangis? Maka apa yang seharusnya terjadi, terjadilah. Goder menggeliat makin kuat. Kemudian meronta dan menangis. Makin lama tangisnya makin kuat. Tangis yang sarat makna karena sesungguhnya alam sendiri telah berbisik kepada Goder, di sana ada sepasang mata berbinar yang ingin menelan Srintil bulat-bulat. Tak tersisa naluri yang utuh untuk membaca apa yang membuat Goder meronta dan menangis. Kartareja dan istrinya yang semula sudah menghilang muncul kembali di ruang tengah. Mereka merasa pasti Goder ingin kembali kepada Tampi, ibu kandungnya. Maka suami-istri dukun ronggeng itu menyuruh Srintil membawa Goder kepada Tampi. "Siapa menyuruhmu repot seperti itu. Kamu kan masih lan, mengapa bersusah payah mengambil anak orang? Dan itu tamumu! Kamu tahu siapa Pak Marsusi, bukan?" Srintil tidak ingin menanggapi kata-kata Nyai Kartareja. Dia melangkah ke luar sambil mengayun-ayun Goder. Gerak-geriknya demikian pantas. Dari mulutnya terdengar suara desis lembut demi mengajuk bayi dalam embanan, membuat gambaran seorang ibu tampil dengan utuh. Demikian, maka tak kurang dari Pak Marsusi sendiri hanya bisa menelan ludah dan menggeleng-gelengkan kepala. Bersama suami-istri Kartareja, Marsusi duduk membeku ketika mendengar Srintil bersenandung nina bobo di halaman rumah. Yun ayun, ayun turn Turn lah neng ayunan Anakku si bocah landhung Mesuk gede dadi rebutan Yun ayun, ayun turu Turua si bocah lanung Cilike tak ayun-ayun Gedhene ngeman biyung Angkasa yang kelam sepi membisu. Bahasanya tanpa suara. Tetapi kedip-kedip bintang adalah kesaksian yang berbicara banyak akan apa yang terjadi di bawah lengkung langit. Suara dendang Srintil adalah nyanyian ibu. Berlatarkan bunyi gangsir yang datar dari berat terciptalah dendang alam yang membawa Goder kembali ke alam damai. Dia bergerak-gerak lembut kemudian lelap dalam udara malam yang kian sejuk. "Anak siapakah itu?" tanya Marsusi setelah Srintil berlalu ke dalam. "Bayi itu anak si Tampi. Entahlah, Pak, Srintil begitu lekat dengan bayi itu," jawab Nyai Kartareja. "Ya, aku melihatnya sendiri; seperti ibu dan anak kandungnya." "Sebenarnya aku tidak suka. Beginilah jadinya. Srintil jadi tidak sempat menghormati tamu secara semestinya." "Malam ini aku memang bermaksud mengajak Srintil ke luar. Mungkin dua atau tiga hari," ujar Marsusi sambil menyalakan rokok. Episode 14 "Nah, itu baik sekali. Hampir sebulan ini Srintil membeku di Dukuh Paruk, tak mau memenuhi undangan pentas. Mula-mula memang karena sakit. Tetapi setelah sembuh Srintil masih ngambek saja. Ah, saya tahu sebabnya. Srintil masih tetap iri terhadap istri lurah Pecikalan. Iri terhadap kalungnya!" "Hm. Nanti Srintil tidak akan iri lagi," jawab Marsusi. Senyumnya penuh gaya dan pasti. Nyai Kartareja tak perlu bertanya apa pun untuk mengartikan makna senyum tamunya. Maka dalam hati istri dukun ronggeng itu bergema sorak kemenangan. "Ya, Pak, ya. Maka bawalah Srintil dan gembirakan dia. Srintil telah kehilangan kelincahannya, kekenesannya. Yang demikian itu tak boleh terjadi atas diri seorang ronggeng. Dan kalau itu, Pak: tidak boleh jadi pastilah akan melumerkan kebekuan hati Srintil!" Di atas tempat tidurnya yang mewah menurut ukuran Dukuh Paruk Srintil membaringkan bayinya dengan hati-hati. Ketika Goder meronta sejenak Srintil menawarkan teteknya. Mulut Srintil kembali berdesis dengan suara lembut. Goder kembali lelap dengan kedamaian sempurna pada wajahnya. Bukan hanya karena lembutnya belaian, tetapi karena rasa aman bagi jiwanya. Bayi itu bisa menerjemahkan tanpa salah segala gerak-gerik ibunya, segala getar suaranya. Rangsangan spiritual itu memberinya sasmita bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan atas diri ibunya, Srintil. Dia tak akan kehilangan setitik pun tempat dalam haribaan ibunya. Melihat Goder sudah tertidur Srintil bangkit. Sangguinya yang kendor dibuka dan disanggulkannya kembali lebih kuat. Ditatapnya wajah Goder dalam sikap diam sempurna. Tetapi wajah bayi itu menjadi cermin yang menampilkan seribu bayangan. Rasus yang paling pertama muncul, kemudian wajah ibu-bapak yang tak pernah dilihatnya. Terakhir muncul dirinya sendiri. Srintil menggigit bibir karena bayangan itu bertanya tentang siapa dirinya. Pertanyaan itu sejenak mengambang karena Srintil tak kuasa menjawabnya. Menyusul pertanyaan lain; siapakah yang mengatur diri itu, Nyai Kartareja, para lelaki yang membayarnya. ataukah diri itu sendiri? Srintil memejamkan mata agar leluasa berbicara dengan hatinya. Lama sekali Srintil tetap berdiri tak bergerak. Kerut-kerut pada kulit dahinya menandakan ada pergolakan sedang berlangsung di dalam dirinya. Tetapi ketika akhirnya Srintil keluar dari kamar, wajahnya telah cerah. Keyakinan diri seakan telah berada dalam genggamannya. Dia memperlihatkan ketenangan yang hanya mungkin dimiliki oleh perempuan-perempuan yang benar-benar matang. Gerakannya mantap ketika Srintil duduk di bangku di sisi ruangan. Nyai Kartareja agak terkejut terutama karena melihat anak asuhannya keluar dengan kain dan baju yang melekat sejak siang hari. Lebih dari itu, Srintil kelihatan tidak bergairah menyambut tamunya. "Ah, jangan marah, Pak. Srintil terlalu lama membiarkan sampean menunggu. Sekarang, silakan berbincang-bincang. Oh, ya, Srin. Pak Marsusi hendak mengajakmu pelesir malam ini. Apakah kau tidak berdandan dulu?" "Tidak, Nyai," jawab Srintil singkat. "E, lha?" Srintil tersenyum; senyum seorang yang merasa mampu mengendalikan suasana. "Pak Marsusi, aku takkan pergi ke mana-mana malam ini. Dan... " "Eh, nanti dulu!" potong Nyai Kartareja. Ada kegemparan dalam nada suaranya. "Apa katamu tadi?" "Aku tak ingin pergi ke mana pun, Nyai," jawab Srintil. Nyai Kartareja masih tak percaya akan kedua daun telinganya. Dadanya turun-naik. Namun hanya sesaat. Kematangannya sebagai seorang mucikari berhasil menata kembali perasaannya. "Wong Ayu," kata Nyai Kartareja lembut. Tangannya membelai pundak Srintil. "Tak baik terlalu cepat menampik uluran tangan seseorang. Apalagi dia adalah Pak Marsusi. Kau belum bertanya hendak ke mana kau akan dibawanya. Nah, bahkan kau belum mengerti apa hadiah Pak Marsusi buatmu kali ini." Dua detik kemudian terdengar bunyi rantai logam dijatuhkan orang ke atas meja. Sementara mata Marsusi mengarah ke awang-awang, mata Srintil dan kedua induk semangnya menatap benda berkilau di atas meja itu. Dalam keheningan yang tercipta, sesaat wajah Nyai Kartareja berubah meriah. Sinar matanya memperlihatkan hasrat yang meluap. Bibirnya bergerak-gerak namun suaranya tak kunjung terdengar. Srintil pun lama menatap kalung emas yang kelihatan sangat menantang itu. Dua-tiga kali dia menelan ludah. Sebutir berlian memancarkan cahaya kebiru-biruan: godaan yang sulit diabaikan oleh seorang perempuan muda seperti ronggeng Dukuh Paruk itu. Ketika Srintil berada dalam puncak kebimbangannya, Nyai Kartareja mendorongnya dengan kata-kata yang amat sugestif. "Apa kataku, Wong Ayu. Rugi benar bila kau tidak menurutkan kehendak Pak Marsusi. Ayolah, ganti pakaianmu. Ganti pula kalung di lehermu itu dengan yang di sana." "Nah, ini. Ambillah," kata Marsusi dengan suara datar. "Yang itu memang lebih baik. Jauh lebih baik dan lebih mahal tentunya," sela Kartareja. "Tak pernah kulihat seorang perempuan memakai kalung sebagus itu kecuali istri lurah Pecikalan. Nah, Srin, kini giliranmu." Sejenak Srintil diam membeku. Di dalam rongga hatinya muncul kembali bayangan Rasus. Gendang telinganya menangkap suara Ciplak yang menembangkan asmara dahana. Li lali tan bisa lali, sun lelipur tan sangsaya... "Tidak, Nyai. Aku tidak ingin pergi ke mana pun," ujar Srintil pelan namun terasa benar kepastiannya. Ketiga orang di dekatnya terkejut. Kartareja menegakkan kepala. Marsusi meluruskan punggung sambil melepas rokok dari mulutnya. Yang paling gempar adalah Nyai Kartareja. "Kau? Kau ini bagaimana? Kau cucu Sakarya tidak ingin memiliki kalung sebagus itu?" "Nyai tak usah berbicara seperti itu kepadaku," ujar Srintil dengan ketenangan yang mengagumkan. "Oh, maafkan saya yang tua ini, Wong Ayu. Bila kau tak ingin pelesir kukira tak mengapa. Siapa tahu Pak Marsusi tidak berkeberatan mengubah rencana. Dari niat semula hendak pelesir bersamamu barang dua-tiga hari menjadi acara menginap di rumah ini barang dua-tiga malam. Bagaimana, Pak?" Episode 15 Marsusi terbatuk. Pukulan pertama membekas berupa tanda tanya yang melintang pada wajahnya. Baru kali inilah ajakannya pergi berkencan ditolak orang. Dan justru ketika dia bersedia memberi imbalan yang paling mahal. Dalam keraguannya Marsusi ingin meraup kembali kalung emas itu, dan pulang. Tetapi sesuatu di depan mata menahan Marsusi tetap duduk di tempat. Srintil duduk agak menyamping. Ketenangannya yang demikian utuh adalah pesona baru dalam penampilannya. Dengan tata sanggul seadanya profil Srintil justru memperlihatkan kesegaran remaja yang amat impresif. Bentuk rahangnya bagus. Pipinya jernih dengan hiasan jambang halus. Kulit leher berkata apa adanya, bahwa usia Srintil memang baru tujuh belas. Marsusi kembali terbatuk. "Apabila Srintil enggan keluar, maka terserah kepadanyalah. Aku tak keberatan menginap di sini," kata Marsusi akhirnya. "Dengar itu, Srin? Pokoknya, Pak Marsusi datang kemari hanya membawa satu tujuan. Yakni membuat hatimu senang. Iya kan, Pak?" Marsusi hanya tersenyum. Nyai Kartareja bangkit dan memberi isyarat kepada suaminya. Keduanya kemudian menghilang ke dalam rumah. Mereka yakin bahwa suasana yang sulit telah berlalu. Tinggal satu yang pantas mereka lakukan, yakni memberi kesempatan kepada tamunya menikmati kebebasannya bersama Srintil. Kelengangan malam merembes masuk ke dalam rumah Kartareja. Ada kampret masuk melalui pintu depan yang terbuka, berputar-putar sejenak dalam ruangan dan menghilang lagi lewat jalan yang sama. Dua ekor cicak berlomba menangkap mangsa: seekor serangga yang terbang hinggap pada dinding bambu. Ketika serangga itu terbang kembali dan berpusing-pusing di sekitar lampu kedua pengejarnya berganti acara. Kedua cicak itu saling berkejaran. Yang besar mengejar yang kecil. Pengejaran berhenti dalam upacara kawin yang brutal. Atap seng rumah Kartareja tiba-tiba berdentam. Sesuatu yang pekat jatuh dari langit. Tak ada sesuatu yang bisa dituduh kecuali kalong berak sambil terbang. Atau binatang itu memuntahkan biji salam yang sudah dimamah dan diisap airnya. Selain itu terdengar suara yang membuat Dukuh Paruk mempunyai warna khas. Irama calung. Tetapi malam itu yang terdengar adalah suara calung tunggal. Dalam hal demikian calung menggantikan gambang. Di tangan orang yang tepat seperti Sakum, calung adalah gambang. Bedanya, calung terbuat dari bambu sementara gambang dari kayu. Sebagai penabuh calung yang masyhur, meski kedua matanya buta, Sakum tak pernah mengeluh. Bahkan gaya dan suaranya selalu berupa banyolan. Tetapi malam itu Srintil menangkap kelainan pada suara dan irama calung Sakum. Di balik irama yang padu dengan ketenangan malam tersirat pesan ironik. Ironinya seorang penabuh calung yang sudah sekian lama tidak mendapat penghasilan karena Srintil belum juga hendak naik pentas. Srintil tersenyum getir karena teringat akan nasib Sakum; si Buta yang menjadi maskot kelompok ronggengnya. Dan bukan hanya Sakum seorang yang terputus rejeki lantaran Srintil mogok menari. Tiga orang penabuh lainnya bernasib sama. Sementara suara calung terus mengisi kelengangan Dukuh Paruk, di rumah Kartareja terjadi suasana yang lucu. Marsusi duduk gelisah. Sebaliknya, Srintil duduk di atas singgasana kemandirian yang nyata. Berkali-kali Marsusi menelan ludah, tetapi Srintil tetap duduk menyamping, berpura-pura tidak tahu ada seekor buaya lapar di dekatnya. "Jenganten," suara Marsusi serak. Senyumnya kaku seperti anak kecil sedang minta jajan kepada emaknya. "Ini kalungmu, ambillah." Srintil menoleh sambil tersenyum. Tetapi siapa pun bisa memastikan senyum Srintil kali ini sama sekali tidak erotik. "Sebentar, Pak. Untuk apa kalung itu sampean berikan kepada saya?" Marsusi menarik napas panjang. Tingkahnya canggung. "Begini, Pak," sela Srintil setelah tahu Marsusi gagal membuka mulut. "Kalung itu akan kuterima bila dia sampean maksudkan sebagai upahku menari. Nah, sampean tinggal mengatakan kapan dan di mana pentas hendak diadakan. Di sana sampean boleh mengajakku bertayub sepuas hati." "Lho, bukan. Kalung ini bukan buat upahmu menari atau bertayub," ujar Marsusi. "Mau sampean berikan kepadaku dengan begitu saja? Nah, marilah!" "Bukan!" "Ya!" potong Srintil dengan kecepatan yang tidak terduga. "Sampean ingin memberikan kalung ini kepadaku bukan sebagai upahku menari atau bertayub, melainkan untuk satunya lagi. Oh, Pak Marsusi, sampean tidak salah. Karena saya memang telah melakukan hal semacam itu dengan sekian banyak lelaki. Tetapi, Pak... " Marsusi menyondongkan kepalanya lebih ke depan. Pikirannya yang mulai baur membuat dia ingin segera tahu apa kata Srintil selanjutnya. "Sekarang aku tak ingin melakukannya lagi." "Lho, kenapa?" "Hanya merasa tak ingin, begitu." "Katakan terus terang!" nada suara Marsusi mulai berat. "Memang hanya tak ingin. Kalau sekedar menari atau bertayub, nah, ayohlah. Aku memang seorang ronggeng." "Nanti dulu! Mengapa hal ini baru kaukatakan kepadaku; bukan kepada laki-laki lain sebelum aku? Mengapa?" "Persoalannya sederhana, Pak," kata Srintil masih dalam ketenangan yang utuh. "Sampean kebetulan menjadi laki-laki pertama yang datang setelah saya memutuskan mengubah haluan." "Jelasnya! Kamu menampik kedatanganku?" "Tidak sepenuhnya demikian, Pak. Kalau sampean ingin sekedar bertayub denganku, maka selenggarakan pentas. Terserah, kapan dan di mana." Urat pada kedua rahang Marsusi menggumpal. Matanya menyorot lurus ke arah wajah ronggeng Dukuh Paruk itu. Renjana yang dibawanya dari rumah mulai berubah menjadi dorongan amarah. Marsusi bangkit berdiri, berjalan berkeliling ruangan. Wajahnya berubah beringas. Srintil siap menanti sesuatu akan hancur oleh tangan tamunya. Ternyata tidak. Marsusi hanya berjalan berputar-putar, mendengus-dengus, kedua tangannya bergerak limbung. Nyai Kartareja muncul dari dalam diikuti oleh suaminya. Tentulah mereka mendengar percakapan yang kaku antara Srintil dan Marsusi. Kemunculan pasangan dukun ronggeng itu disambut dengan tudingan tangan Marsusi. "Nah! Sampean berdua duduk!" teriak Marsusi. Episode 16 "Duduk!" ulang Marsusi karena melihat suami istri Kartareja kelihatan bimbang. Kini Marsusi bertindak menurut gayanya yang asli; gaya seorang mandor perkebunan terhadap para kuli penyadap karet. "Takkan sekali-kali seorang kepala perkebunan sampai kemari kalau pedukuhan ini tidak bernama Dukuh Paruk," Marsusi mengawali pidatonya sambil tetap berjalan berputar-putar. "Dan takkan sekali-kali aku masuk ke rumah ini bila di sini bukan sarang seorang ronggeng. Dan dia si ronggeng Dukuh Paruk yang bernama Srintil, bukan?" Karena dituding tepat di depan mata maka Srintil mengangkat muka. Sementara wajah suami-istri Kartareja kelihatan kecut. Srintil hampir tidak memperlihatkan emosi apa pun. Tatapan matanya yang demikian tenang membuat Marsusi menurunkan tangan. Kemudian Marsusi melangkah mendekati Nyai Kartareja. Ucapannya terdengar habis-habisan. "Sampean cecunguk, ya! Siapakah yang secara tidak langsung menyuruhku membawa kalung seperti milik istri lurah Pecikalan? Barang itu sudah berada di depan matamu. Tetapi apa hasilnya sekarang?" "Pak Marsusi," suara Srintil datar, "saya mohon sampean tidak marah terhadap Nyai Kartareja. Ini urusanku. Persoalan yang sederhana tidak perlu sampean persulit." "Ini bukan persoalan sederhana! Aku tidak sekali-kali menganggapnya sederhana!" "Bagaimana juga, Pak, masalahnya tetap sederhana. Yakni sampean mau membeli sesuatu di sini, tetapi warung sudah tutup. Itu saja, Pak." "Jadi kamu, dan sampean semua di sini, telah menghinaku. Dan kalian orang Dukuh Paruk, apakah kalian mengira aku tidak tahu bahwa semua yang kelihatan di sini adalah hasil persundalan? Hah?" "Sabar, Pak. Aku ingin berbicara... " "Cukup! Kamu nenek cecurut! Biang sundal dan setan Dukuh Paruk. Aku tak ingin mendengar lagi suaramu. Omongmu itu kentut kuda!" Marsusi yang beringas mengambil topi lalu dipasangnya di kepala. Dengan gerak tangan yang cepat kalung yang semula hendak dipakainya sebagai pembeli Srintil segera masuk ke saku baju. Masih ada satu lagi yang diambilnya dari atas meja; botol jenewer. Isinya yang tinggal setengah ditenggaknya. Botol itu dibanting mengenai umpak tiang. Suara beling remuk memecah keheningan. Semenit kemudian terdengar suara motor Marsusi menderu. Keberangkatan Marsusi meninggalkan ketegangan di rumah Kartareja. Wajah Nyai Kartareja gelap dan kusut. Kekesalan hatinya dilampiaskan dengan cara berkali-kali memukul pantat sendiri. "Toblas, toblas! Kamu ini bagaimana, Srintil? Kamu menampik Pak Marsusi? Toblas, toblas. Itu pongah namanya. Kamu memang punya harta sekarang. Tetapi jangan lupa anak siapa kamu sebenarnya. Kamu anak Santayib! Orang tuamu tidak lebih dari pedagang tempe bongkrek. Bapak dan emakmu mati termakan racun!" Srintil membeku, menundukkan kepala dan menggigit bibir. Kesaksian tentang kedua orang tuanya yang baru disampaikan oleh Nyai Kartareja telah menggores hatinya. Tentang kedua orang tuanya Srintil telah tahu segalanya. Tetapi setiap kali berita itu berulang, setiap kali pula hatinya terluka. Srintil menangis. Dan Nyai Kartareja tidak peduli. "Oalah toblas, beginilah caramu membalas budi kami, ya! Kami berdua telah memberimu jalan sehingga kamu mendapatkan kamukten. Tetapi inilah imbalan yang kami terima; dipermalukan habis-habisan oleh Pak Marsusi. Anak Santayib, dasar cecurut kamu! Dan kamu bertingkah menolak sebuah kalung seratus gram? Merasa sudah kaya? Bila kamu tidak suka kalung itu mestinya bisa kauambil untukku. Dan kaulayani Pak Marsusi karena semua orang toh tahu kau seorang ronggeng dan sundal." "Sudah, Nyai, sudah," kata Kartareja berusaha menghentikan amarah istrinya. "Biar! Sekali ini dia harus mendapat pelajaran. Lama-kelamaan anak Santayib ini jadi kurang ajar!" Dada Nyai Kartareja masih kembang-kempis tetapi dia sudah kehabisan kata-kata. Sisa kemarahannya tumpah ketika dia meludah sengit ke arah Srintil. Sampai sedemikian jauh Srintil tetap diam. Bahkan dia tetap tak bergeming meski Nyai Kartareja sudah masuk ke kamarnya dengan membanting pintu keras-keras. Air matanya berjatuhan. Ketabahan yang diperlihatkannya ketika menghadapi Marsusi telah runtuh. Hal ini terjadi karena Nyai Kartareja telah mengusik kedua orang tuanya yang sudah menjadi tanah di pekuburan Dukuh Paruk. Yang membawa kembali ketenangan ke dalam hati Srintil adalah suara calung tunggal yang ditabuh Sakum. Mula-mula suara itu masih berbaur dengan lengking kemarahan Nyai Kartareja yang terus terngiang dalam telinga Srintil. Disusui kemudian oleh derik seribu jangkrik yang menggetarkan gendang telinga. Lama-kelamaan suara kacau itu surut. Tinggal bunyi calung yang menjalin malam Dukuh Paruk, menyatukannya dalam satu citra yang bulat dan utuh. Klenting-klentung itu tumpah dengan runtut, kadang ada nada yang melompat seperti belatung nangka yang ranum, namun tetap terikat dalam keselarasan. Dengarlah suara mata calung yang menyusup ke bawah rumpun-rumpun bambu di Dukuh Paruk. Dari bambu pulang ke bambu. Mesra dan penuh makna seperti seorang anak yang menyurukkan wajah dalam-dalam ke selangkangan emaknya. Ketika angin malam membuat desah daun-daun bambu, suaranya menjadi latar yang paling alami bagi irama calung yang terus mengalir melalui ayunan kedua tangan Sakum. Tit-tuit tit-tuit suara burung prit putih yang mulai terdengar sejak matahari terbenam memaripurnakan kidung Dukuh Paruk. Pedukuhan terpencil itu sedang menembangkan kidung malam. Entahlah, kini yang terdengar bukan nada cepat bergairah, melainkan suara pilu yang menggayut. Srintil masuk langsung menuju kamar. Kartareja yang sedang duduk membatu hanya menatapnya sepintas. Tetapi dukun ronggeng itu sedikit terperangah ketika sesaat kemudian Srintil sudah berdiri di hadapannya sambil mendekap Goder dalam embanan. Ayah dan anak asuhan bertatapan. Melalui bahasa rasa Kartareja sudah tahu apa arti kehadiran Srintil di hadapannya. Tak terdengar kata barang sepatah meskipun bibir Srintil kelihatan bergerak-gerak. Demikian juga halnya Kartareja. Sampai akhirnya Srintil berbalik dan keluar halaman suasana masih bisu. Hanya derit engsel pintu. Selebihnya adalah kelengangan. Dan cericit tikus busuk yang terkejut ketika Srintil lewat di dekatnya Episode 17 Keluar dari rumah orang tua akuannya Srintil merasakan suatu hal yang baru; begitu dekat dengan dirinya sendiri. Akunya sepenuhnya dalam genggaman. Akunya yang terdiri atas dirinya sendiri dan seorang bayi dalam pelukan. Hangat tubuh Goder yang melekat di dadanya menjadi kehangatan pertama bagi sebuah semangat baru yang mulai melembaga dalam jiwa Srintil. Sampai di rumah kakeknya, Sakarya, Srintil mendapati seorang perempuan lain. Tampi. Wajah perempuan itu langsung meriah melihat kedatangan Srintil. Dia tergopoh bangkit menyongsong Srintil di ambang pintu. "Oalah, Jenganten. Kemarikan anakku. Aku sudah kangen," ujar Tampi sambil mengulurkan kedua tangannya. Namun Srintil menepis tangan itu. "Mau melihat Goder, Lihatlah dari situ. Mau menggamit pipinya yang tambun dan padat, silakan. Tetapi jangan ambil dia dari embananku." "Aku bersungguh-sungguh, Jenganten. Karena aku sudah sangat kangen. Sehari ini aku belum menyentuhnya. Dan, ah! Siapa bilang Goder tidak akan mengganggumu, Jenganten? Baru saja terbukti, bukan?" "Terbukti?" "Aku mengerti semua yang baru terjadi di rumah Kartareja. Kalau bukan karena anakku, sampean sudah pergi naik sepeda motor bersama... " "Cukup. Kamu salah, Tampi. Kamu tak mengerti. Aku tidak pergi bersama laki-laki itu karena aku tak mau. Itu saja. Tak ada sangkut-pautnya denga Goder. Tahu?" "Tetapi aku mendengar Nyai Kartareja jelas menyebut-nyebut nama anakku. Oh, sampean tidak mengerti bagaimana perasaanku saat itu. Ingin rasanya aku menerobos masuk untuk mengambil Goder dan membawanya pulang selekas mungkin. Anakku masih terlalu bersih buat dilibatkan ke dalam urusan orang-orang dewasa." "Nah, kamu betul. Goder masih terlalu bersih. Maka aku tidak akan mengotorinya. St, jangan ganggu dia. Dan jangan lagi sebut dia anakmu, melainkan anakku! Nah, iya kan?" Tampi bersungut-sungut, tetapi senyumnya mekar kemudian. Dia merasa tidak mungkin berbohong bahwa sesungguhnya dia berbangga hati karena anaknya menjadi boneka bagi perempuan yang paling ternama, Srintil. "Ah, Tampi. Sesungguhnya kamu tidak usah lagi merisaukan Goder. Cukuplah aku yang menjadi emaknya. Aku bisa menetekinya. Aku bisa membelikan baju yang terbaik di pasar Dawuan baginya. Pokoknya, apa yang bisa kauberikan kepada Goder, aku pun bisa melakukannya secara lebih baik. Dan jangan khamatir, bila sudah besar nanti dia tahu perempuan mana yang melahirkannya. Sekarang biarlah dia menjadi anakku yang sebenar-benarnya. Yang perlu kaulakukan sekarang adalah melayani suami sebaik mungkin. Supaya bayimu yang kelima cepat lahir!" Seloroh Stintil mencairkan kekakuan. Tampi mencubit lengan temannya. Terasa benar oleh Srintil bahwa selorohnya tepat mengena pada perasaan Tampi yang sebenarnya. Bagi perempuan Dukuh Paruk melayani suami bukan hanya sekedar keharusan hidup. Dia adalah satu-satunya kegiatan lain di luar urusan dapur serta memelihara anak-anak. Dalam kenyataan aspek humaniora bagi perempuan Dukuh Paruk hampir terpusat sepenuhnya di atas pelupuh bambu mereka. Dan ketika Goder sudah menginjak usia sembilan bulan, seloroh Srintil itu sungguh tidak bisa dielakkan oleh Tampi. Artinya, ketidakhadiran Goder di sampingnya memberikan kedaulatan yang lebih bagi suaminya, dan dirinya juga. Hingga tengah malam Srintil tidak mampu memejamkan mata. Kadang dia duduk termangu di bibir balai-balai. Kadang tidur gelisah di samping Goderyang lelap. Dan sekali waktu Srintil merasa demikian gemas karena mengetahui betis Goder bentol sebesar biji jagung. Seekor kutu busuk yang menggembung penuh darah digilas dengan telunjuknya. Noda darah tercoreng pada tikar pandan, sengak baunya. Sakum masih terus mengembara dengan irama calung tunggalnya. Sebenarnyalah Sakum tak bisa menjelajah ke mana-mana karena kedua matanya buta sejak lahir. Dia tidak bisa mengembara di alam nyata. Tetapi karena buta, Sakum memiliki kepekaan luar biasa. Pengembaraannya di alam rasa demikian teliti dan memikat sehingga mampu mengajak orang lain mengikutinya. Malam itu pastilah banyak warga Dukuh Paruk setia memicingkan mata agar bisa mengawang bersama-sama Sakum. Entah berapa tembang telah dibawakan oleh seniman calung itu. Dan Srintil amat terkesan oleh sebuah pupuh sinom yang mengalun berulang-ulang; Bonggan kang tan mrelokena Mungguh ugering ngaurip Uripe lan tri prakara Wirya karta, tri winasis Kalamun kongsi sepi Saka wilayan telelu Tetas tilasing sujalma Aji godhong jati aking Temah papa, papariman ngulandara Merugilah orang yang mengabaikan tiga perkara teras kehidupan. Yakni trampil, keutamaan, dan kepandaian. Bila triperkara ini ditinggalkan. Punahlah citra keutamaan manusia. Dia tidak lebih utama daripada daun jati kering; melarat, mengemis, dan menggelandang. Terasa benar tembang sinom itu keluar dari dasar hati Sakum yang sedang papa karena telah lama tidak bekerja mengiringi Srintil dalam pentas. Sakum, yang meski buta tetapi harus memberi makan seorang istri dan empat orang anak. Makin lama Srintil makin merasa digugat oleh Sakum dengan caranya yang sangat halus; mengapa dia masih menolak naik pentas dengan akibat perut Sakum anak-beranak menjadi lapar. Gugatan itu menambah beban pikiran Srintil yang telah ditindih oleh pengalamannya dengan Marsusi di awal malam. Dan wajah Sakum bersama anak dan istrinya terus terbayang meski akhirnya penabuh calung itu jatuh tertidur di belakang alat musiknya. Episode 18 Boleh jadi hanya Srintil seorang yang tetap jaga ketika embun pertama jatuh sesaat malam melampaui batas dini hari. Perihal melek sepanjang malam bukan perkara asing bagi seorang ronggeng. Biasanya Srintil bergadang dalam suasana gairah dengan ciu, dengan uang, dan dengan berahi. Kali ini lain, sangat lain. Srintil sedang berada dalam haribaan Dukuh Paruk yang tengah tidur lelap selelap-lelapnya, merenung dan merenung. Dan Srintil tidak bisa ingkar bahwa awal segala permenungannya adalah kenangannya bersama Rasus. Rasus yang semasa kanak-kanak bermain bersama di bawah pohon nangka, Rasus yang diserahi keperawanannya, dan Rasus yang kemudian menjadi tentara tetapi kini berada entah di mana. Tetapi Srintil merasa setiap kali permenungannya berakhir pada titik antah berantah. Terutama setelah dia sampai kepada pertanyaan: apa yang bakal terjadi atas dirinya setelah Rasus pergi. Apa pula yang bakal dialaminya setelah ? entah mengapa ? dia memutuskan menolak laki-laki bernama Marsusi yang bersedia memberinya kalung emas bermata berlian. Dukuh Paruk sepanjang zaman mengajarkan, kehidupan adalah pakem; manusia tinggal menjadi pelaku-pelaku yang bermain atas kehendak dalang. Maka bagi Srintil kepergian Rasus tidak bisa dipahami secara lain kecuali atas kehendak Sang Dalang juga. Meskipun sebagai akibatnya Srintil harus merasakan kegetiran dalam hatinya. Lain lagi perihal penolakannya atas Marsusi. Srintil khawatir jangan-jangan penolakannya itu berarti penentangan terhadap pakem hidup. Dan sepanjang yang dipercayainya sikap semacam ini akan membawa akibat buruk. Barangkali Srintil akan tetap dalam kekhawatirannya bila dia tidak sempat teringat hal-hal keseharian yang sering dilihatnya. Misalnya toh tidak semua ayam betina tunduk kepada jago yang mengejar hendak mengawininya. Demikian juga kambing, kucing, dan juga burung-burung. Tentulah hewan-hewan betina itu tidak bisa dikatakan telah melanggar perintah alam. Atau, memang alam jugalah yang mengatur segala perilaku seluruh warganya. Tak terkecuali Srintil, ketika dia menampik kehadiran Marsusi. Ketika pada ujung permenungannya Srintil memperoleh sedikit ketenangan, matanya mulai terasa mengantuk. Sementara itu cecet pertama burung sikatan sudah terdengar. Disusul kemudian oleh kokok ayam jantan. Bunyi keresek daun pisang kering yang menerima kedatangan codot yang hendak menyembunyikan diri. Samar-samar, karena matanya mulai terpejam, Srintil masih sempat melihat seekor bangkong melompat-lompat. kemudian menerobos celah dinding di dekat umpak tiang. Kodok longan itu akan bersembunyi sepanjang hari di kolong balai-balai, tepat di bawah kepala Srintil. Gangsir dan orong-orong menghentikan suaranya, membuat Dukuh Paruk menyambut kedatangan hari baru dalam suasana yang begitu lengang. Demikian lengang sehingga suara tetes embun jelas terdengar ketika jatuh ke atas daun iles-iles yang tumbuh semarak di belakang rumah. Srintil menikmati mimpi bercengkerama dengan para anak gembala; berlarian di atas permukaan bunga-bunga ilalang. Langit di atasnya penuh laron dan burung-burung. Srintil membaur bersama semua hewan di Dukuh Paruk. Namun keindahan mimpinya terputus. Sepasang tangan halus meraba-raba dadanya, masuk ke dalam kutang. Goder merengek minta menetek. Sudah beberapa hari Sakarya kelihatan lebih banyak termenung. Perubahan yang terjadi atas diri Srintil, cucunya, sangat mengganggu pikirannya. Perihal Srintil menampik seorang laki-laki yang ingin memakainya tidak begitu memusingkannya. Masalahnya, bagaimana jadinya bila Srintil tetap menghindar dari panggung pentas. Dukuh Paruk akan kehilangan pamornya. Tanpa seorang ronggeng, Dukuh Paruk akan mati; suatu hal yang tak ingin disaksikan oleh Sakarya yang kini sudah berada pada ujung usia. Perasaan kakek Srintil itu lebih dirisaukan oleh peristiwa-peristiwa kecil namun baginya penuh makna. Kemarin, seekor burung tlimukan terbang secepat angin menerobos pintu rumahnya yang terbuka, membentur keras cermin lemari kacanya. Burung itu runtuh ke lantai dan mati seketika. Dari paruhnya yang mungil merah menetes darah. Entah mengapa Sakarya sangat terkesan oleh pemandangan itu; seekor burung yang molek dengan bulu hijau mengkilap dan paruh seperti cabai masak, mati di hadapannya dengan gelimang darah. Sehari sebelumnya kamitua Dukuh Paruk itu menyaksikan seekor ayam hutan hinggap di pohon angsana di samping rumahnya. Sakarya selalu membaca sasmita alam. Sakarya tidak pernah berpikir bahwa suatu perkara sekecil apa pun bisa berdiri sendiri, lepas dari kehendak semesta. Dan semuanya pastilah mengemban makna yang sasmita. Sepanjang menyangkut binatang asing yang mendekat, apalagi sampai masuk ke rumah, siapa pun di Dukuh Paruk akan membacanya sebagai pertanda buruk. Dan pagi ini, selagi duduk membatu di ruang depan, punggung Sakarya tertimpa sesuatu yang dingin dan lembut: seekor cicak. Dua makhluk sama-sama terkejut. Binatang itu lari setelah menjatuhkan diri ke tanah lalu merayap cepat di dinding. Sakarya tak kalah cepat. Dengan gombal pembersih meja dilecutnya cicak itu, kena! Dilumatnya dengan kaki, "Asu buntung, mampus kamu!" Sasmita buruk lagi, pikir Sakarya. Apabila sudah yakin demikian maka hanya satu hal yang harus dilakukan oleh kamitua Dukuh Paruk itu; mengetuk pintu makam Eyang Secamenggala di puncak bukit, kemudian memasang sesaji dan membakar kemenyan. Dia bersiap-siap. Istrinya disuruh mencari kembang di halaman rumah Kartareja. Dia sendiri masuk ke kamar mengambil seikat upet. Bila sekali dibakar ujungnya sayatan kelopak manggar ini akan terus membara sampai habis. Sakarya keluar rumah dalam pakaian serba hitam. Celananya longgar sampai ke tengah betis. Di lehernya terselempang kain. Iket wulung membelit kepalanya. Di tangan kanannya yang tersilang ke belakang tergenggam upet yang sudah membara di ujungnya. Sepanjang perjalanannya kakek Srintil itu tak sekali pun mengangkat muka. Langkah-langkahnya pelan dan khidmat. Tetapi sekali dia harus berhenti, menarik napas panjang kemudian menggeleng-gelengkan kepala. Seekor ular koros menyeberang jalan setapak yang hendak dilaluinya. Binatang melata itu berhenti sejenak mengalang jalan. "Lagi-lagi, alangan!" desis Sakarya. "Kalau tidak berada-ada mengapa ular itu berkeliaran mengalang jalan. Toh perutnya menggembung pertanda ada tikus yang telah dimakannya. Dalam keadaan biasa seharusnya dia bergelung tidur di bawah semak." Episode 19 Tiba-tiba Sakarya tersenyum. Di tengah kebeningan hatinya mendadak muncul kesadaran yang dalam bahwa usianya sudah di atas tujuh puluh tahun. Di Dukuh Paruk dialah laki-laki sang paling lanjut. Apabila pertanda buruk yang dirasakannya adalah peringatan akan datangnya ajal maka pantaslah adanya. Perihal kematian diri, bukan hanya sekali-dua Sakarya merenungkannya. Kadang malah merindukannya. Beberapa tahun yang lalu Sakarya memesan tempat di pekuburan Dukuh Paruk. Dibuatnya pemakaman palsu dengan tonggak nisan. Bila ajal tiba maka orang akan menanam tubuh Sakarya di tempat itu. Dalam kesadaran yang mulai akrab dengan kematian Sakarya sampai ke pekuburan Dukuh Paruk. Dia berhenti di kaki tanjakan buat menata pernapasannya. Suasananya temaram karena kerindangan beringin di puncak bukit memayungi sebagian besar tanah pekuburan. Ditambah lagi matahari pagi masih tersaput awan. Mata Sakarya yang sudah kelabu menatap ke depan. Ketika angin yang lemah berembus pohon-pohon puring bergoyangan. Dan Sakarya diam sempurna. Pohon-pohon yang bergoyang itu tampak olehnya sebagai kelompok manusia dalam tarian aneh. Meski dengan wajah-wajah mengerikan Sakarya bisa mengenali mereka. Yakni orang-orang yang meninggal keracunan tempe bongkrek tujuh belas tahun yang lalu. Ada wajah Santayib suami-istri di antara wajah-wajah yang menyeramkan itu. Keduanya adalah anak dan menantunya, tepatnya orang tua kandung Srintil. Ada wajah-wajah ronggeng Dukuh Paruk sebelum Srintil yang meninggal puluhan tahun yang lalu. Sakarya merasa hawa dingin bertiup di kuduknya. Suara hiruk-pikuk bergalau dalam telinga. Dan tiba-tiba Sakarya terkejut oleh sinar menyilaukan yang menusuk matanya. Matahari pagi muncul dari balik awan. "Ah, boleh jadi benar, kematianku sudah dekat," gumam Sakarya. Aneh, Sakarya merasakan ketentraman dalam hati setelah bergumam demikian. Ketika mulai mendaki pekuburan Dukuh Paruk, Sakarya tidak merasa lain kecuali sedang menapaki jalan menuju rumah. Hatinya damai. Pasrah. Kepasrahannya terucapkan ketika mulutnya komat-kamit menyatakan sesuatu di depan pintu makam Ki Secamenggala. Asap kemenyan mengepul dari ujung upetnya yang membara. Apabila Sakarya masih mengajukan keinginannya sebelum ajal tiba, maka masalahnya menyangkut kepentingan Dukuh Paruk; hendaknya calung dan ronggeng lestari adanya. Setidaknya, Srintil akan kembali menari, meronggeng. Kamitua Dukuh Paruk itu sungguh tidak bisa membayangkan apa jadinya bila Srintil tetap menghindari pentas. Dukuh Paruk tanpa ronggeng; reputasi buruk bagi kakek yang merasa menjadi pemangku anak-cucu Ki Secamenggala di Dukuh Paruk. Pulang ke rumah Sakarya mendapati Srintil sedang menerima seorang tamu. Semula Sakarya mengira tamu itu hanya berkepentingan dengan Srintil secara pribadi. Namun setelah jelas siapa dia, Sakarya langsung ikut duduk. Tamu itu adalah Pak Ranu, seorang penggawa kantor kecamatan yang sudah dikenalnya. Sakarya sadar betul seorang seperti Pak Ranu tidak akan berurusan dengan ronggeng secara pribadi. "Wah, seorang priyayi datang ke Dukuh Paruk; ada apa ini?" kata Sakarya. "Tentu ada urusan yang saya bawa bagi sampean serta cucu sampean ini." "Begitu. Nah, katakan, Pak Ranu. Asalkan jangan urusan hukum, karena kami di Dukuh Paruk tak pernah menyalahi hukum." "Sama sekali bukan itu, Kang. Ini urusan calung." "Calung?" "Apabila ada orang luar datang ke Dukuh Paruk, apa lagi maksudnya?" "Yah, ya. Lalu, apakah sampean sudah berbicara langsung dengan Srintil?" "Sudah." Sakarya menoleh kepada cucunya. Wajah Srintil tersaput awan ketidakpastian. Murung dia. Sakarya mengerti, lalu menarik napas panjang sambil bersandar ke belakang. "Kang Sakarya," ujar Pak Ranu. "Bukan saya yang hendak punya hajat melainkan panitia perayaan Agustusan." "Agustusan dengan mementaskan ronggeng?" "Nah, baru kali ini terjadi bukan? Rasanya, ini sebuah kehormatan bagi Dukuh Paruk." "Ya, tentu." "Nah. Tetapi saya agak heran mengapa Srintil tidak segera memberi kesanggupan." Lagi, Sakarya menarik napas panjang. Kemudian, dengan tetap menunduk Sakarya bergumam seperti kepada dirinya sendiri. "Seharusnya Srintil mengerti urusan kali ini bukan sekedar undangan berpentas. Bisa juga dikatakan sebagai perintah karena dia datang dari panitia resmi." "Nah! Sampean betul, Kang Sakarya. Betul. Untung sampean yang mengatakannya, bukan saya." "Sekarang bagaimana sampean, Jenganten?" kata Pak Ranu kepada Srintil. Setelah lama berdiam-diri Srintil menjawab lirih, "Sudah lama saya tidak menari, Pak." "Kenapa?" Pertanyaan Pak Ranu berulang sampai tiga kali. "Tidak apa-apa, Pak." "Ah, masa. Bila ada ronggeng maka harus ada calung, bukan?" "Yah, pokoknya saya sedang malas menari, Pak." "Memang, Jenganten. Terkadang orang bisa merasa malas atau bosan terhadap pekerjaannya. Soalnya, permintaan ini datang dari panitia Agustusan yang diketuai sendiri oleh Camat. Bagaimana?" "Bila sedang malas, tarianku bisa tidak karuan, Pak. Bagaimana?" Pak Ranu tersinggung oleh pertanyaan balik ini. Tetapi penggawa kantor kecamatan ini bertahan dalam kesabarannya. "Nanti dulu, Jenganten. Pada malam kesenian nanti kalian akan tampil berganti-ganti. Ada rombongan orkes keroncong dari kota, ada rombongan lawak dan juga rombongan akrobat. Tetapi saya percaya rombongan ronggeng Dukuh Paruk jugalah yang paling digemari penonton." Srintil tak bergeming oleh rangsangan yang ditawarkan oleh Pak Ranu. Juga dia tetap bungkam ketika Sakarya ikut mendesaknya. Akhirnya utusan dari kantor kecamatan itu berdiri. Ucapannya terdengar bernada ancaman. Episode 20 "Pikirlah baik-baik, Wong Dukuh Paruk. Kami tidak rugi bila sampean menampik permintaan ini. Sebaliknya, sampean bisa menghadapi kesulitan karena telah mengecewakan pihak kecamatan!" Pak Ranu keluar dengan wajah buram. Srintil mengikutinya dengan pandangan bimbang. Sakarya terpaku, tak sepatah kata pun bisa terucapkannya bahkan ketika Pak Ranu berpamitan. Baru setelah Pak Ranu pergi Sakarya berhasil membuka mulutnya. Kata-kata kecewa bernada menyalahkan ditujukannya kepada Srintil. Dalam kata-kata itu tersirat ketakutan akan datangnya kesulitan seperti diisyaratkan oleh pertanda-pertanda aneh beberapa hari ini. "Kamu telah mengecewakan seorang priyayi; suatu hal yang tidak layak dilakukan oleh orang dusun seperti kita ini. Oalah, cucuku, kamu tidak menyadari dirimu sebagai seorang kaula." "Kek... " "Apa!" "Bila saya bertahan, apakah saya bisa kena hukum?" Pertanyaan Srintil adalah bukti sebuah langkah surut. Sakarya melihat pintu mulai terbuka. Tetapi kakek itu menyembunyikan perasaannya. "Mengapa tidak? Kita ini kaula. Kita wajib tunduk kepada perintah, bahkan keinginan para penggawa itu. Menampiknya, sama saja dengan mengundang hukum. Nah, beranikah kamu melakukannya?" Sakarya sengaja melebih-lebihkan ucapannya. Dia berharap Srintil akan segera mengubah pendiriannya. Tetapi jawaban Srintil bahkan mengejutkan Sakarya. "Ya, sudah! Aku rela menerima hukuman. Dibui pun jadi! Bagaimana aku harus menari bila hati tak mau. Kakek tahu bukan, sebuah tarian baru hidup bila hati dan jiwa ikut menari." Tanpa menunggu tanggapan kakeknya, Srintil bangkit. Di pintu ruang tengah dia berpapasan dengan neneknya. Dari tali sampiran Srintil menarik sehelai kain pengemban, disampirkannya ke pundak, dan keluar. Srintil melangkah cepat ke rumah Tampi. Goder ada di sana sejak pagi hari. Sebelum sampai ke tujuan Srintil berhenti di depan rumah Sakum. Hatinya terkesan oleh suasana di situ. Penabuh calung yang buta itu sedang menganyam sebuah kukusan. Kedua tangannya trampil, seakan ada mata pada setiap ujung jarinya. Di belakangnya tersusun barang-barang anyaman yang sudah jadi, siap dijadikan uang bila ada yang membutuhkannya. Ah, semua orang tahu apalah arti jumlah uang yang diterima Sakum dari barang-barang anyamannya. Anaknya empat orang. Apa yang kelihatan oleh Srintil adalah gambar ketidakcukupan yang parah. Rumah Sakum hanya bertiang empat, doyong, ayam dan angin bebas masuk dan keluar dari segala penjuru. Dari dalamnya orang bisa melihat awan di langit, dan bintang-bintang pada waktu malam. Rumah, tepatnya gubuk itu, kelihatan demikian compang-camping. Ketidakcukupan Sakum lebih jelas kelihatan pada diri keempat orang anaknya. Yang tertua, seorang gadis sembilan tahun. Rambutnya merah bulu jagung. Kedua ujung bibirnya berhiaskan cokop yang seperti lumut kerak. Wajahnya, bahkan kedua matanya kusam tanpa cahaya. Kulitnya mati dengan daki terutama pada tengkuk dan betisnya. Kini dia duduk bersandar dinding menunggui adiknya yang terkecil yang merayap-rayap di tanah. Dua anak Sakum yang lain sedang mencungkil-cungkil tanah di samping rumah. Keduanya telanjang. Gerigi tulang punggungnya menyembul kulit. Tangan mereka yang lemah tergantung tanpa daya. Mereka sedang menyelusuri alur lubang orong-orong. "Asu buntung!" kata yang lebih kecil. "Lubang orong-orong ini menghunjam ke dalam tanah. Di bawah batu pula." "Kamu yang tolol," kata kakaknya. "Setiap lubang orong-orong mempunyai gua. Minggir kamu." Si kakak jongkok tepat di atas lubang orong-orong, memegang kulupnya dan kencing. Karena kebanjiran air hangat maka orong-orong keluar dari liangnya. Dua pasang tangan berebut menangkapnya. Yang kecil kalah dan terjungkal ke belakang oleh dorongan kakaknya. Dia menangis dan berusaha merebut haknya. Tetapi si kakak telah lenyap masuk ke dapur. Orong- orong dalam genggamannya segera mati dalam abu panas. Semenit kemudian serangga tanah itu lumat dalam mulutnya. Sakum kelihatan tidak terusik oleh hiruk-pikuk anak-anaknya. Jemarinya terus bekerja: menganyam, menyambung, atau memotong serpih bambu yang kepanjangan. "Bila aku masih mendengar suara anakku, itu pertanda baik. Berarti mereka masih hidup." Ini senda-gurau Sakum yang bukan sekali-dua diucapkannya. Dan untuk berhubungan dengan segala sesuatu di luar dirinya Sakum tidak hanya mengandalkan indria pendengaran. Naluri dan perasaannya terkadang justru lebih terpercaya. Misalnya, Sakum tahu istrinya telah atau akan berbuat serong dari nada suaranya. Demikian juga halnya bila terjadi ketidakadilan pada waktu makan. Untuk mengetahui apakah satu-satunya pelita dalam rumahnya sudah menyala di malam hari Sakum hanya memerlukan tarikan napas panjang-panjang. Hidungnya dapat memastikannya dari udara yang masuk ke paru-parunya. Naluri atau mungkin seluruh permukaan kulitnya sangat peka terhadap perubahan yang terjadi di sekitarnya. Seperti saat itu; Sakum berhenti mendadak dari kegiatannya ketika Srintil melangkah mendekatinya. Kelopak mata yang menutupi lubang keropok bergerak-gerak. Mulutnya cengar-cengir. Suara yang kemudian didengarnya adalah suara yang telah diramalkannya, dan jitu. "Sibuk, Kang Sakum?" kata Srintil sambil duduk di balai-balai hanya beberapa jengkal dari tubuh Sakum. "Eh, Jenganten? Pantas, sejak pagi kudengar burung prenjak berbunyi ngganter di dekat rumah. Rupanya ada tamu penting hari ini." "Bukan aku yang penting, Kang. Tetapi aku membawa masalah penting." "Eh, penting bagaimana? Pak Marsusi datang lagi? Eh, maaf, Jenganten." "Bukan itu. Ada seorang utusan dari kantor kecamatan datang ke rumahku tadi pagi. Kita dimintanya naik pentas pada malam perayaan Agustusan nanti Episode 21 Srintil menunggu tanggapan Sakum. Yang dinantinya adalah ledakan kegembiraan. Naik pentas berarti uang bagi seluruh anggota rombongan ronggeng. Keluarga Sakum yang hidup di atas titik pusat peta kemelaratan Dukuh Paruk harus menyambutnya dengan gembira. Tetapi laki-laki dengan sepasang mata keropos itu diam saja. Hanya alisnya turun-naik. Benar, Sakum sudah lama merindukan pentas. Namun saat itu dia sudah bisa membaca dengan tepat perasaan Srintil yang masih enggan menari. "Bagaimana, Kang?" "Eh, bagaimana? Sampean sudah mengerti apa jadinya bila aku berlama-lama tidak menabuh calung, jadi akulah yang harus bertanya kepada sampean; bagaimana?" "Aku mengerti, Kang. Kau berharap aku mau menerima permintaan panitia Agustusan, bukan?" "Tentu saja begitu, Jenganten." "Ya... " Srintil menghadapi kebuntuan rasa. Di depan kakeknya dia bersikeras tak mau memenuhi permintaan panitia Agustusan. Dihukum pun dia mau. Tetapi sebenarnya Srintil ingin menarik kata-katanya sesaat setelah terucapkan. Kini Srintil merasa telah menemukan orang yang paling tepat untuk menyatakan perasaannya secara jujur. Tanpa disadari sejak semula ternyata Sakum adalah orang yang dekat dengan dirinya, lebih dekat daripada suami-istri Kartareja, bahkan kakek dan neneknya sekalipun. "Ya, Kang. Sebaiknya aku menuruti permintaan mereka. Aku mau menari lagi, Kang. Tetapi hatiku, Kang, hatiku!" "Hati?" "Ya. Hatiku tak bisa kubawa menari." "Bisa," Ujar Sakum cepat. "Aku percaya indang ronggeng masih tetap bersemayam pada diri sampean. Hati sampean yang buntu akan terobati bila sampean melupakan dia." "Dia?" "Ya, Rasus." Berkata demikian wajah Sakum memperlihatkan segala kesungguhannya. Amat jarang Sakum berbuat demikian. Bibirnya merapat, otot-otot pipinya menegang. Dengan cara itu Sakum ingin menyatakan kebenciannya atas hubungan Srintil-Rasus yang telah membawa banyak persoalan bagi rombongan ronggeng, bagi Dukuh Paruk. Srintil langsung menundukkan kepala, benci melihat wajah Sakum yang mengerikan. Hatinya tersinggung oleh kata-kata Sakum. Tetapi Srintil kemudian sadar kata-kata itu bukan ditujukan kepada Srintil maupun Rasus sebagai pribadi, melainkan kepada sifat hubungan antara keduanya yang ternyata telah membuat suara calung lenyap dari Dukuh Paruk. "Jenganten," sambung Sakum. Kini dengan nada suara seorang bapak. "Bukan sampean seorang yang menjadi ronggeng dan terpikat oleh laki-laki tertentu. Hal semacam ini sejak dulu sering terjadi. Tetapi tidak segenting pada diri sampean. Dulu, puluhan tahun yang lalu, ronggeng Trombol mengalami hal seperti ini. Dia kawin dengan seorang wedana. Nah, dasar masih bersemayam indang dalam dirinya, perkawinan mereka hanya berumur selama orang mengunyah sirih. Ronggeng Trombol kembali menjadi milik Dukuh Paruk, artinya kembali melenggang dan melenggok seperti laiknya seorang ronggeng. Demikian juga yang terjadi atas diri ronggeng Cepon. Dia tergila-gila kepada anak seorang pedagang batik. Mereka kawin juga akhirnya. Tetapi nasibnya malah lebih buruk. Suami yang dicintai pergi meninggalkannya. Ronggeng Cepon begitu merana. Akhirnya dia mati ketika usianya belum lagi dua puluh. Nah, sekarang diri sampean. Sudah cukup apa yang sampean dapatkan dari Rasus. Begitulah namanya seorang ronggeng. Sampean sudah merasakan kesenangan bersamanya, tidur bersamanya. Hanya itulah yang bisa sampean terima, karena sampean seorang ronggeng. Selagi indang masih tinggal dalam diri, sampean tidak mungkin mendapatkan lebih dari itu. Tidak mungkin! Jadi sekali lagi, lupakan Rasus demi kebaikan sampean sendiri." Srintil masih menundukkan kepala. Kini matanya basah. Tadi setiap kali Sakum menyebut nama Rasus, setiap kali pula jantungnya berdenyut keras. Terbayang kembali olehnya suatu ketika di malam hari menjelang acara bukak-klambu. Rasus menemuinya dengan wajah demikian hampa tetapi penuh ketidakberdayaan. Terngiang kembali ucapan Rasus terakhir yang masih sempat didengarnya, "Aku tak mungkin mengawinimu karena kamu seorang ronggeng. Kamu milik Dukuh Paruk." "Jadi aku masih seorang ronggeng karena pada diriku masih bersemayam indang?" ucap Srintil pelan. "Eh, sudah puluhan tahun dan sudah sekian banyak ronggeng yang kukenal. Getar suara sampean adalah getar suara ronggeng. Bau badan sampean adalah bau badan ronggeng. Wibawa sampean juga wibawa ronggeng. Nah, sampean memang masih seorang ronggeng. Kelak pada suatu saat aku akan tahu sampean bukan lagi ronggeng. Yakni bila indang telah meninggalkan diri sampean." Sakum kemudian menarik napas lega. Kedua bahunya turun seakan baru lepas dari beban yang berat. Memang, Sakum telah lama ingin mengungkapkan perasaannya kepada Srintil; mengingatkannya dan mengajarinya tentang bagaimana seharusnya sikap seorang ronggeng. Niatnya demikian tulus sehingga Sakum tak menghendaki orang menghubungkan niat itu dengan kepentingan pribadinya. Merasa telah mengungkapkan semua perasaannya Sakum kembali kepada pekerjaannya. Tangannya kembali menganyam serpih-serpih bambu. Tangis anak Sakum masih berkepanjangan. Tangis yang hambar, tangis seorang anak yang lapar tetapi merasa pasti tak ada nasi yang bisa dituntutnya. Burung kembali ngoceh, bebas, dan lepas. Suaranya meriah dan renyah, kebalikan yang sempurna atas suara tangis anak Sakum. "Ke mana istrimu, Kang?" "Eh, dia di rumah Kartareja. Menumbuk padi. Tentu dia hampir pulang. Suara alunya sudah lama tak terdengar." "Sudah menanak nasi?" tanya Srintil menatap wajah anak-anak Sakum. Pertanyaan itu mengundang harapan bagi mereka. "Jenganten ini bagaimana? Yang sedang memburuh menumbuk padi belum lagi pulang." Episode 22 "Ah, begitu. Sekarang matahari hampir tergelincir. Mestinya istrimu sudah pulang." "Aku tahu matahari sudah tergelincir. Buktinya, bau sengak makin menyengat, pertanda tempat kencing anak-anak di sebelah barat rumah sudah kena panas matahari." Srintil meneruskan perjalanan ke rumah Tampi hendak mengambil Goder. Masih di dekat rumah Sakum dia melihat sepasang bunglon berkejaran pada ranting pohon dadap. Yang betina lari tunggang-langgang lalu melompat ke dahan lain. Yang jantan mengejar, ragu-ragu, lalu menyusul melompat. Kali ini dia luput dan terbanting ke tanah. Diam dan seakan-akan mati. Warna kulitnya yang semula hijau terang perlahan-lahan berubah warna tanah. Binatang itu baru bergerak setelah langkah Srintil begitu dekat. "Bila Kang Sakum tidak picek tentu dia akan berkata kepadaku; jangan membabi buta mengejar orang yang lari. Nanti terbanting seperti bunglon itu." Seperti Sakum, Tampi pun mendorong Srintil menerima permintaan panitia Agustusan itu. Tampi bahkan membumbui kata-katanya dengan hal-hal yang memang belum diketahui oleh Srintil. Jenganten mungkin belum tahu. Pada malam perayaan seperti itu akan berkumpul semua priyayi di Dawuan. Ada wedana, ada polisi, dan ada tentara. Mantri ini, mantri itu, semua akan berkumpul. Penonton lain bisa mencapai jumlah seribu orang." "Seribu orang, Yu?" "Percayalah, Jenganten. Maka jangan sia-siakan pentas yang istimewa itu. Sampean justru harus tampil dalam tarian yang terbagus." "Kamu juga mau nonton, Yu?" "Yah, itu pasti. Saya kira semua orang akan kerok-batok pergi semua ke alun-alun kecamatan Dawuan. Jadi mengapa aku harus tinggal di rumah?" Dalam perjalanan pulang, Srintil telah mendapat kata putus. Dia hendak memenuhi permintaan panitia Agustusan. Tetapi Srintil sendiri tidak bisa memastikan apakah keputusan itu merupakan tekad yang utuh atau hanya karena sebab lain. Pihak pertama yang mendengar keputusan Srintil adalah Goder, bayi yang dipeluknya erat-erat sambil berjalan pulang.
"Bocah bagus, aku mau menari lagi. Boleh, kan? Ah, kau tak usah khawatir. Aku tetap emakmu. Kau tetap anakku yang paling bagus!" Ketika laut surut di Segara Anakan. Sebuah perahu motor dengan mesin disel tua merayap terbata-bata menempuh jalur Cilacap-Kalipucang. Pada saat laut seperti itu Segara Anakan mirip sungai di tengah endapan lumpur yang luas. Terbentuk delta-delta yang ditutup rapat oleh pohon bakau. Para penumpang dalam perahu motor itu dapat melihat kerajaan burung yang masih tersisa. Di atas amparan lumpur itu terlihat berbagai jenis burung pemakan ikan. Trinil yang tak pernah berhenti membuat gerakan cabul berjalan kian kcanari dengan kegesitan yang mengagumkan. Bila perahu motor mendekat, mereka terbang dalam lintasan patah-patah, suaranya hiruk-pikuk. Ada bluwak berkejaran setengah terbang dan setengah berlari di atas lumpur. Sementara kuntul membentuk kelompok: makhluk-makhluk putih, terkadang mereka menyebar kemudian berkumpul lagi dalam gerakan-gerakan lamban. Ada seekor binatang tamu yang besar, berdiri dengan kaki hampir sepenuhnya tenggelam dalam lumpur. Langkahnya amat lamban, mirip langkah-langkah seorang kakek pikun. Dia adalah bangau tongtong. Dia kelihatan merana, tanpa teman sejenis. Manakala hutan-hutan sudah rusak. Manakala sawah-sawah sudah berbau obat penyemprot hama, dan manakala sudah terlalu banyak pemuda menyandang senapan angin. Maka wilayah Segara Anakan serta daerah berawa-rawa di sekitarnya adalah tempat terakhir bagi berjenis-jenis burung untuk mempertahankan keberadaannya. Suaka. Burung dadali yang sudah sulit ditemukan di daerah pedalaman ternyata masih banyak di sana. Demikian juga burung-burung pemakan biji-bijian seperti tekukur, balam, dan perkutut. Dan yang menyolok adalah banyaknya burung alap- alap. Tentu saja karena mangsanya, burung-burung kecil seperti berondol, burung madu, atau kutilang seperti sengaja dikumpulkan dalam pulau-pulau kecil berambut hutan bakau itu. Para penumpang yang menyarati kapal motor tua itu tampaknya tak terkesan oleh pesona dunia burung. Boleh jadi mereka terlalu angkuh dalam dunianya sendiri, dunia manusia. Atau hanya karena mereka tidak bisa duduk tenang. Kendaraan yang mereka tumpangi harus meliuk-liuk menuruti air yang dalam agar tidak kandas. Dalam hal ini pengemudi perahu motor itu, yang tak lebih dari seorang pemuda belasan tahun, layak mendapat pujian. Dia memahami betul seluk-beluk pekerjaannya. Dan keahliannya terbukti bila perahunya harus berpapasan dengan perahu lain dalam alur sempit dekat sebuah tikungan. Pada sebilah tempat pemberhentian tiga orang turun, semuanya laki-laki. Melihat keadaannya dua di antara mereka tentulah tengkulak terasi, yakni hasil utama penduduk di wilayah itu. Yang seorang lagi kelihatan belum terbiasa di sana. Dia berdiri agak ragu. Kemudian berjalan tertatih-tatih di atas titian bambu yang menghubungkan dermaga kapal motor dengan daratan. Di tengah titian dia berhenti dan terkejut melihat seekor biawak melintas di bawahnya. Binatang yang lari berkecipak itu meninggalkan alur berkelok-kelok pada lumpur hitam yang berbau terasi. Di tepi daratan ada warung yang menjual rokok, minuman, dan buah-buahan. Sebetulnya laki-laki itu merasa haus. Tetapi karena tidak terbiasa dengan minuman bersahaja, yakni air asam yang disajikan dalam gelas kotor, maka dia berusaha menahan hausnya. Masalahnya, bagaimana juga dia harus masuk ke warung itu. Dibelinya rokok dan pisang. Sambil makan pisang laki-laki itu mencapai tujuan utama berhenti di warung itu. Kepada pemilik warung dia menanyakan sebuah alamat. Yang ditanyakan oleh Marsusi adalah alamat yang terlalu sering dicari orang pendatang. Pak Tarim. Banyak tetangga merasa heran mengapa begitu sering Pak Tarim menerima orang pendatang. Tarim, laki-laki tua berkepala Semar, demikian juga perutnya. Setiap hari berleha-leha menghadapi gelas besar dengan kue-kue jajan pasar. Penghidupan sehari-hari dipercayakan kepada istri serta anak-anaknya. Anak-anak juga cucunya sudah mempunyai keahlian menangkap udang, kepiting, atau binatang lainnya untuk campuran bahan terasi. Demikian jorok cara pengumpulan bahan terasi itu schingga orang yang anti terasi sering menuduh bahwa bumbu masakan itu pasti tercampur bekicot dan belatung, bahkan bangkai kadal. Episode 23 Memang di kampung laut itu nama Tarim sering dihubungkan dengan ngelmu. Tetapi hanya orang-orang tua tertentu yang mengetahui pasti ilmu apakah yang dikuasai orang tua itu. Anehnya justru orang luarlah yang mengetahui kekhususan Tarim. Seperti halnya Marsusi. Melalui jalur informasi yang panjang dan berliku-liku sampailah dia kepada Tarim. Menurut seorang teman Tarim-lah orangnya yang bisa membantu Marsusi dalam hal melaksanakan urusan khususnya. Panas udara mulai reda ketika Marsusi diterima oleh Kakek Tarim. Tuan rumah menerima tamunya tanpa emosi meskipun sang tamu adalah orang yang baru pertama dilihatnya dan kelihatan berasal dari kalangan priyayi. Ketika Marsusi memperkenalkan diri, Tarim bahkan sama sekali tidak memperhatikan wajahnya. Hanya kepala Semarnya yang mengangguk-angguk. Lalu mempersilakan Marsusi beristirahat di sebuah kamar yang tertutup. "Silakan beristirahat dulu," kata Tarim sambil menunjuk kamar yang dimaksud. "Nanti malam sampean baru bisa berbicara. Selamanya aku tak pernah berembuk dengan siapa pun yang berada dalam keadaan lelah." Marsusi agak terperangah karena dalam kamar yang tak berkursi dan berlantai tikar pandan itu ada seorang tamu lain. Laki-laki yang tengah telentang itu cepat-cepat bangkit begitu Marsusi masuk. Keduanya berpandangan sejenak lalu bertukar senyum dan mengangguk. Naluri masing-masing mengatakan bahwa kedua-duanya sedang menempuh jalan yang sama. Maka antara kedua tamu itu segera tercipta suasana akrab. "Saya Dilam dari Warubosok. Saya datang kemari hendak minta tolong kepada Kakek Tarim. Bapak juga, kan?" Marsusi hanya tersenyum. Dan menyulut rokok. Teman barunya ditawarinya sebatang. Asap rokok membuat keduanya makin akrab seperti telah terjadi persahabatan yang lama sebelumnya. "Nah, apakah persoalan sampean?" tanya Marsusi sambil menyandarkan diri pada dinding bambu. Dilam kelihatan ragu. Rahasia pribadi yang dibawanya dari Warubosok belum seorang pun tahu, belum juga istrinya. Haruskah dia membocorkannya kepada orang yang baru sekali bertemu? Hati Dilam menolak. Tetapi suasana senasib-sepenanggungan bersama orang yang baru dikenalnya itu mengubah semuanya. Juga, di mata orang dusun seperti Dilam, Marsusi kelihatan begitu berwibawa. Dan bagaimana juga Dilam merasa telah berutang budi; rokok Marsusi sudah diisapnya. "Sebenarnya persoalan saya sangat sepele, Pak. Kerbau!" "Kerbau?" "Benar. Dua ekor kerbau saya mati di kandang, diracun orang." Marsusi mengangguk, tak ingin menyela cerita Dilam. "Mula-mula pada suatu malam seekor kerbau saya lepas dari kandang. Malam itu juga saya cari ke mana-mana tetapi saya tidak bisa menemukannya. Baru pagi hari saya berhasil menemukan kerbau itu di ladang orang, sedang menumpas tanaman jagung. Saya mengambil bintang itu kemudian pergi ke rumah pemilik ladang. Permintaan maaf saya ditolaknya. Dia juga menolak tawaran saya tentang ganti rugi. Nah, saya sudah berniat baik, tetapi dua malam berikutnya kerbau saya mati dua ekor. Bukan main sakit hati saya, Pak." "Sampean yakin kerbau-kerbau itu mati termakan racun?" "Iya, Pak. Sejak kecil saya tidak pernah berpisah dengan kerbau. Saya tahu bahwa kerbau hanya berak di tempat-tempat tertentu. Saya juga tahu kerbau yang ingin kawin, yakni bila binatang itu mulai mengasah pantatnya ke tiang kandang. Apalagi tentang kerbau yang sakit. Nah, kerbauku mati mendadak. Mulutnya berbusa. Setelah dipotong dan isi perutnya dikeluarkan tercium ban racun. Isi perut itu kami buang ke kolam dan ternyata ikan-ikan mati. Jadi apa lagi kalau bukan racun?" "Sampean juga yakin bahwa pemilik ladang itulah yang meracuni kerbau sampean?" "Kalau bukan dia, siapa lagi?" Marsusi tersenyum dan mengangguk demi menyenangkan lawan bicaranya. Ganti Dilam yang bertanya tentang persoalan yang dibawa oleh kepala perkebunan karet itu. Tetapi Marsusi menghindar dengan cara melorotkan tubuhnya hingga sampai pada posisi tidur. Mata dipejamkan pura-pura mengantuk. Dan kelelahan serta angin laut yang menerobos masuk ke bilik tamu itu membuatnya benar-benar tertidur. Ketika terbangun beberapa jam kemudian Marsusi mendapati kamar sudah diterangi lampu minyak. "Jam tujuh malam," desisnya setelah melihat jam tangannya. Marsusi bangkit. Kakinya hampir menyentuh gelas. Ternyata bukan hanya ada gelas-gelas, melainkan juga piring-piring berisi nasi dan lauk-pauknya. Semuanya tidak mampu membangkitkan selera Marsusi. Lidahnya sudah terbiasa dengan makanan yang lebih baik. Gelas Dilam tinggal berisi setengahnya. Tetapi ke manakah orangnya? Pertanyaan itu terjawab oleh suara dua orang yang sedang bercakap-cakap di dalam rumah. Marsusi dapat memastikan dua orang itu adalah Dilam dan tuan rumah. Tergerak oleh rasa ingin tahu Marsusi keluar dari bilik. Ternyata ruang depan tanpa lampu. Sepi, bahkan tak terdengar suara anak-cucu Tarim maupun istrinya. Marsusi, perlahan-lahan, duduk di kursi yang paling dekat dengan asal suara di balik dinding. Di ruang dalam Dilam duduk berhadapan dengan Tarim. Kali ini wajah Tarim bersungguh-sungguh. Setiap ucapan tamunya ditanggapi dengan kening berkerut serta kedua alis yang hampir bertemu. "Sekali lagi, pikirlah dahulu, Nak. Ini persoalan nyawa. Dan saya akan membebankan seluruh tanggung jawab pada diri sampean," kata Tarim sambil memandang tajam ke arah bola mata Dilam. "Hati saya sudah bulat, Kek. Saya bersedia menerima segala akibatnya." "Akibat di dunia dan di alam kelanggengan nanti?" "Ya, Kek." "Sampean mengerti bahwa urusan semacam ini juga akan berakibat buruk kepada anak-cucu sampean?" Dilam tidak segera memberi tanggapan. Kini wajahnya menunduk, sejenak berhenti bernapas. Saat itu rasa sakit hati karena permintaan maafnya ditolak pemilik ladang menyengat kembali. Dalam rongga matanya terbayang dua ekor kerbau kesayangannya terkapar. Episode 24 "Saya tidak berpikir jauh ke sana, Kek. Urusan nanti bagaimana nanti saja. Pokoknya begitulah tekad saya." "Aku tidak biasa tergesa-gesa, Nak. Nah, pikirlah kembali. Keluarlah, siapa tahu udara di luar bisa mengubah pikiran sampean." Meskipun merasa enggan, namun Dilam bangkit juga. Tidak diketahuinya pada saat yang lebih cepat Marsusi berjingkat kembali ke biliknya. Udara di luar memang lebih dingin. Dilam memandang langit yang masih merona merah di barat sisa mambang petang. Nyamuk luar biasa banyak sehingga Dilam tak pernah berhasil menenangkan dirinya. Tak mengapa, karena setidaknya Dilam bisa mengingat kembali sepenuhnya kata-kata Tarim. Mestinya semuanya benar. Lepas dari kenyataan bahwa kakek itu menikmati upah dari ilmu hitamnya, toh dia kelihatan bersungguh-sungguh mencegah orang membuat celaka sesamanya. Atau seperti yang pernah didengar oleh Dilam sendiri bahwa Tarim akan menerima dengan ikhlas pengunduran diri seseorang yang semula datang dengan maksud minta bantuan buat membinasakan orang lain. Masalahnya tinggal pada nurani Dilam untuk menerima sinar terang. Ternyata kesumat yang mengendap dalam hati laki-laki dari Warubosok itu lebih pekat. Kata-kata sendiri yang tadi terucapkan di depan Tarim bergema kembali. "Urusan nanti, bagaimana nanti saja!" Dilam masuk kembali menghadap Tarim. Wajahnya malah bertambah gelap. Sambil duduk dilepasnya napas banyak-banyak. "Bagaimana, Nak?" "Saya tetap pada pendirian semula. Sudahlah, Kek. Pokoknya semua ini atas tanggung jawab saya." "Baiklah kalau begitu." Tarim bangkit meninggalkan tamunya. Seperempat jam kemudian dia muncul lagi membawa sebuah cawan berisi air bening dan sehelai kain mori. Setelah terpapar di atas meja Dilam baru melihat ada sebuah jarum berekor benang terselip pada kain mori. Tak urung hati Dilam terkesiap melihat benda-benda yang mendadak berpengaruh magis itu. Kakek Tarim duduk. Entah mengapa napasnya terengah-engah. Keningnya mengkilat oleh titik keringat. Jarum dipegang pada ekor benangnya, diayun-ayun memutar tepat di atas cawan. Ayunan dihentikan. Jarum yang masih berpusing-pusing itu ditunggunya sampai berhenti. Kemudian dijatuhkan tepat di tengah air dalam cawan. Air seperti mendidih dan Tarim cepat menutup cawan itu dengan kain mori. Sesaat kemudian terdengar suara gemercik. Kain mori itu disingkapkan. Airnya masih bening tetapi jarum berekor benang itu telah lenyap. "Kirimanmu sudah berangkat," kata Tarim. Ketegangan pada wajahnya mengendur. Dengan ujung baju dilapnya keringat yang mengucur deras. Sementara itu Dilam sendiri belum bisa melepaskan diri dari kebisuan yang sebenar-benarnya. Dan Dilam terperanjat ketika terdengar lagi suara berkecipak dari dalam cawan yang tertutup mori. Tarim membukanya. Mata Dilam membulat melihat air dalam cawan sudah berubah. Jarum berekor benang kelihatan lagi, mengkilat dalam cairan yang lambat-laun menjadi merah. Darah mengental pada ekor benang itu, larut perlahan-lahan merata dalam cairan. "Hem, selesai," kata Tarim sambil mengemasi perkakasnya. "Sekali lagi, Nak. Semua ini terjadi atas tanggung jawab sampean sepenuhnya. Kalau besok cepat pulang ke Warubosok sampean bisa melihat penguburan mayat seteru sampean itu." Yang terkesan dari wajah Dilam adalah perasaan puas sekaligus ngeri. Orang Warubosok itu tak mampu berkata-kata. Dirasakannya keringat meleleh di tengkuknya. Melihat Dilam yang pucat dan agak gemetar Tarim tersenyum. Kakek itu sudah hapal. Itulah perilaku kebanyakan tamu yang datang kepadanya. "Agar sampean tidak gemetar seperti itu hanya ada satu cara. Usahakan sekeras-kerasnya rasa benar di hati sampean. Bahwa musuh sampean mendapat celaka akibat ulah sendiri; tanamkan keyakinan itu kuat-kuat pada diri sampean." Dilam mengundurkan diri dengan kegoncangan hati yang tidak bisa disembunyikan. Dalam bilik tamu didapatinya Marsusi sedang menengadah, tidur di lantai bertikar. "Sudah?" tanya Marsusi dengan senyum. Jawaban Dilam adalah air muka yang kosong hambar. "Masih adakah perahu motor menghilir ke Cilacap? Aku ingin secepatnya pulang," ujar Dilam. Mendengar cakap temannya yang ngelantur Marsusi sekali lagi tersenyum. Sebab sesungguhnya dirinya pun mulai diliputi ketidakpastian. Dia mendengar seluruh percakapan antara Dilam dengan Kakek Tarim; sesuatu yang tidak boleh tidak telah membuat bulu kuduknya meremang. Marsusi merasa yakin temannya, seperti dirinya juga, dihantui oleh perasaan tidak nyaman. Kedua penghuni bilik tunggu itu berdaulat dalam pikiran masing-masing. Dilam telentang berbantal tangan, matanya menerawang jauh menembus atap, membayangkan seterunya tiba-tiba terbatuk dan muntah darah. Disusul hiruk-pikuk dalam kegawatan yang amat sangat. Jerit istri dan anak-anaknya. Seruan minta tolong kepada tetangga. Tangis yang ramai dan berkepanjangan. Galau suara laki-laki dan perempuan. Dan akhirnya sesosok mayat diam di atas balai-balai tertutup kain dari ujung kaki hingga kepala. Orang-orang yang semula tercekam kepanikan mulai duduk. Dilam seakan mulai mendengar mereka berspekulasi tentang sebab malapetaka. Tak ayal lagi, pergunjingan akan sampai kepada masalah kiriman. Dilam gelisah. Kegelisahan itu makin terasa mengusik hati ketika terbayang kembali olehnya pemandangan dalam cawan putih itu. Ada darah kental yang larut perlahan-lahan dalam air bening. Marsusi duduk berselonjor dengan punggung lekat pada dinding bilik. Rokoknya mengepul. Dia sama sekali tidak memperhatikan Dilam yang kelihatan begitu gelisah. Namun sebenarnya Dilam-lah yang sedang menjadi titik pusat permenungannya. Tak salah lagi Dilam pastilah seorang petani. Dia berasal dari kaum yang selama ini dianggap sebagai simbol sisa keluguan, kejujuran, bahkan keutuhan kemanusiaan. Tetapi mengapa si tani yang dungu itu memiliki keberanian menumpahkan darah meski secara tidak langsung, melalui jalan yang tidak bisa diterangkan dengan akal ? petani sesamanya? Kearifan yang segera diperoleh Marsusi dari permenungan sesaat itu adalah sebuah pelajaran sederhana, bahwa rasa dendam mampu membinasakan martabat kemanusiaan. Juga di antara dua orang dusun yang masih terikat pada keserbaluguannya Episode 25 Dan Marsusi terkejut ketika sadar dirinya kini berada hanya beberapa jengkal dari Dilam. Dan dia berada dalam bilik itu, terus terang dalam rangka tujuan yang sama. Bila Dilam telah mencelakakan pemilik ladang yang telah meracuni kerbaunya, maka Marsusi akan membuat celaka seorang anak Dukuh Paruk yang telah mempermalukannya, menampik hajatnya. Pandangan mata Marsusi baur. Terbayang olehnya Srintil memegang dada sambil terbatuk mengeluarkan darah segar. Ada beling dan paku-paku berhamburan dari mulutnya. Matanya terbeliak mengerikan. Kemudian terbayang keranda diusung menuju pekuburan diiringi tangis semua warga Dukuh Paruk. Marsusi menggeleng-gelengkan kepala. Menelan ludah dan membunuh rokoknya di lantai. Seperti halnya Dilam, pada saat itu pun Marsusi ingin segera pulang. Tetapi bayangan Stintil ketika menampiknya kelihatan lagi di depan mata. Urat-urat pipinya menggumpal. Pada saat itu terdengar suara dari dalam. Kakek Tarim memanggilnya. Seperti orang yang kehilangan kepastian Marsusi bangkit. Dilam memandangnya sambil tetap telentang. Ah, mata orang Warubosok itu! Seakan ada sesuatu yang minta diterjemahkannya. Sayang lampu minyak itu tidak mempunyai cukup cahaya buat memantulkan kembali makna yang terkandung dalam sinar mata Dilam. Sementara itu suara panggilan terdengar kembali buat kali kedua. Marsusi menyeberang ruang depan dan membuka pintu yang menuju ruang dalam. "Silakan duduk," sambut Tarim dalam gaya yang paling ayem dan acuh. "Sekarang terangkan maksud kedatangan sampean." Setelah terbatuk beberapa kali, Marsusi menceritakan kembali pengalamannya di Dukuh Paruk kira-kira dua minggu sebelumnya. Nada suaranya santun, tanpa emosi; satu hal yang menarik perhatian tuan rumah. Tarim sudah terbiasa dengan bicara orang mengadu, mengeluh, dan penuh dendam. Tetapi hal itu tak terbersit dalam pembicaraan Marsusi. Tiba-tiba Tarim tersenyum, membuat Marsusi berhenti berbicara. "Srintil, Nak?" "Ya, Kek." "Ah." "Sampean mengenalnya, Kek?" "Benar. Dia seorang ronggeng yang bisa membuat orang geregetan, bukan? Aku sudah pernah menontonnya. Ah, memang. Dan dia telah mempermalukan sampean yang gagah begini." Marsusi tersipu, dibalas oleh Tarim dengan tawa terkekeh. "Ah, memang tidak enak dibikin malu, apalagi oleh seorang ronggeng cantik. Lalu sampean mau apa?" "Tentu saja aku ingin membalasnya, bahkan melenyapkannya. Aku tahu betul Srintil menerima semua laki-laki yang datang sebelum saya demi uang yang tak seberapa atau demi satu-dua gram emas, Tetapi dia menampikku, padahal seratus gram kalung emas berbandul berlian yang kusodorkan kepadanya. Mau disebut apa lagi kalau bukan penghinaan yang sebesar-besarnya. Tetapi, Kek... " "Tetapi?" "Pikiran saya berubah sekarang." "Maksud sampean?" "Ah, biarlah dia." Marsusi tersenyum tawar. Tetapi Kakek Tarim terkekeh-kekeh. "Karena, kalau Srintil melirik sambil pacak gulu, jantungmu rontok, bukan? Karena, kalau Srintil melempar sampur, hatimu terbeset, bukan?" Tarim menyambung tawanya lebih keras. Perut semarnya bergejolak. Bibirnya yang tumpul pada kedua ujungnya tertarik ke belakang sehingga tak salah lagi; Semar. "Ah, ya! Mestinya semua orang seperti sampean; tak usah ragu mengubah pikiran bila disadari pikiran yang dimaksud tidak baik. Mengapa masih saja orang datang kemari dengan tujuan mencari pelampiasan dendam, bahkan kadang hanya karena rasa iri terhadap sesama. Mereka mengira dengan melampiaskan dendam maka urusannya selesai. Nah, mereka keliru. Dengan cara itu bahkan mereka memulai urusan baru yang panjang dan lebih genting. Di dunia ini, Nak, tak ada sesuatu yang berdiri sendiri. Maksudku, tak suatu upaya apa pun yang bisa bebas dari akibat. Upaya baik berakibat baik, upaya buruk berakibat buruk. Lebih aneh lagi, Nak. Orang yang sudah tahu akan akibat buruk tetapi masih juga berani mengambil risiko." Marsusi mendengarkan khotbah Tarim dengan minat yang penuh. Bukan hanya karena dia menangkap kebenaran dalam khotbah itu, melainkan secara pasti dia merasakan adanya kepura-puraan yang nyata. Seorang tukang sihir berkhotbah tentang nilai-nilai budi luhur! Keganjilan yang terasa di hati Marsusi mengambang menjadi garis-garis tanda tanya pada wajahnya, pada sinar matanya. Sasmita ini terekam oleh indria Tarim. Dia tanggap sasmita. "Nah, saya ini, Nak, bisa diibaratkan sebagai tukang membuat bedil. Dia tahu betul bedil hanya dibuat untuk satu tujuan; memisahkan nyawa dari badan. Mestinya tak perlu ada orang membuat bedil supaya setiap mayat yang dikubur adalah dia yang mati wajar. Dan itu baik. Nah, ternyata kehidupan ini seperti demikian adanya. Aku hanya Kakek Tarim. Aku tak berdaya mengubah arah kehidupan, bahkan aku tak kuasa menghindar dari garis yang telah ditentukan buat diriku." "Ya. Dan untunglah, setidaknya aku telah berhasil mengubah niatku," kata Marsusi setelah beberapa kali mengangguk. Tetapi dia kaget karena Tarim menertawakannya, ditambah dengan pandangan mata menyindir. "Sampean memang beruntung. Tetapi yang baru sampean lakukan adalah mengubah niat. Pelaksanaannya tidak gampang, Nak. Betulkah sampean telah berhasil menghapus dendam sehingga hati sampean bersih dan putih seperti daging buah kelapa? Aku tidak yakin, Nak." Tarim menatap wajah tamunya, lama dan menghunjam. Marsusi merasa tersinggung. Tetapi tak bisa berbuat lain kecuali diam dan mempertanyakan kembali apa yang ada dalam hatinya. "Coba, Nak. Sekarang sampean mengaku telah memaafkan Srintil, ronggeng Dukuh Paruk itu. Bagaimana masalahnya bila suatu ketika sampean melihat Srintil menjadi buah pujaan ratusan orang dalam suatu pentas? Dan, bagaimana halnya bila suatu saat sampean mendapati Srintil bergendak dengan laki-laki yang pada dasarnya lebih rendah daripada diri sampean? Betulkah dendam sampean kepadanya tidak akan kembali kumat?" Episode 26 Marsusi tergagap oleh pertanyaan beruntun itu. Dan tatapan mata itu. Tatapan mata yang penuh keyakinan diri. Marsusi dibuatnya merasa kecil. "Aku ini sudah tua, Nak. Jangan-jangan aku lebih menguasai persoalan sampean dan lebih tahu apa yang sebaiknya sampean lakukan sekarang." "Boleh jadi begitu, Kek. Maka tidak salah aku sampai ke tempat ini." "Baiklah. Dalam hal diri sampean yang ternyata belum setua diriku maka balaslah sakit hati sampean. Asal adil. Sampean telah dipermalukan, bukan?" Marsusi mengangguk seperti anak kecil. "Maka balaslah kembali dengan mempermalukannya. Hanya dengan cara itu sampean bisa membebaskan diri dari rasa dendam. Mungkin juga sampean bahkan bisa melupakan Srintil buat selama-lamanya. Sekali lagi, membalas dendam yang adil adalah dengan cara sama: mempermalukannya. Bukan menyakiti badan, apalagi membahayakan jiwanya." "Saya sudah mengerti, Kek. Tetapi bolehkah saya bertanya?" "Lha, mengapa tidak?" "Andaikan yang telah mempermalukan diriku bukan Srintil, apakah sampean tetap pada kata-kata yang sama?" Pertanyaan balik yang dilontarkan Marsusi ini membuat wajah Tarim sedikit menegang. Apabila yang dihadapinya bukan seorang kepala perkebunan tentu kemarahannya meletus. Atau, tentu saja. Karena menyadari derajatnya Marsusi berani bertanya kepada orang pandai itu. Tarim maklum. Bibirnya yang tebal dan tumpul merekah senyum. "Wah, saya harus berkata jujur. Begini, Nak. Srintil dalam kenyataannya bukan hanya milik orang tuanya, sanak saudaranya, bahkan bukan hanya milik Dukuh Paruk bersama kelompok ronggengnya. Dia milik semua orang. Sampean juga, aku juga. Maka membuatnya tertalu celaka akan berakibat lebih buruk dari apa yang bisa kita duga. Ini sangat tidak baik, terutama bagi sampean sendiri. Percayalah!" Marsusi mengakui dirinya kalah. Tetapi lega. Selanjutnya dia lebih banyak menganggukangguk menerima petunjuk Tarim. Ketika pertemuan dua orang itu berakhir, angin darat mulai bertiup. Meski nyamuk luar biasa banyak serta tidur di atas amparan tikar, Marsusi lelap hingga pagi. Sayang, beberapa kali dia dikejutkan oleh Dilam yang tidur gelisah dan sering mengigau. Kegembiraan itu lahir dan berkembang dari Dukuh Paruk. Berita cepat tersiar bahwa pada malam perayaan Agustusan nanti Srintil akan kembali meronggeng. Kurang dua hari lagi, tetapi sudah banyak orang bersiap-siap. Anak-anak mulai bertanya tentang uang jajan kepada orang tua mereka. Para pedagang, dari pedagang soto sampai pedagang pecel bersiap dengan modal tambahan, juga tukang lotre putar yang selalu menggunakan kesempatan ketika banyak orang berhimpun. Nyai Kartareja segera memperbaiki hubungannya dengan Srintil, pertama-tama dengan berusaha mengaku bersalah dalam peristiwa Marsusi beberapa minggu berselang. Perubahan sikapnya terhadap Srintil sangat nyata. Dia tidak berkamu lagi terhadap ronggeng Dukuh Paruk yang telah sekian lama menjadi anak akuannya. Nyai Kartareja kini memanggil Srintil dengan sebutan Jenganten atau setidaknya sampean; suatu pertanda bahwa kedewasaan, tepatnya kemandirian Srintil telah diakuinya. Srintil seperti hendak menjadi temanten laiknya. Dia dipingit oleh Nyai Kartareja. Badannya dilulur untuk memulihkan keremajaan kulitnya. Sebelum berangkat tidur Nyai Kartareja memintanya mengunyah satu-dua butir merica agar suaranya tetap lantang dan jernih. Pakaian pentasnya dicuci secara istimewa. Sementara itu Nyai Kartareja tidak perlu lagi mencari jelaga dan getah pepaya buat penghitam alis, juga tak perlu lagi menyuruh Srinitil mengunyah sirih sebelum naik pentas. Kios Pak Simbar di pasar Dawuan sudah menyediakan gincu, pensil rias, dan sebagainya. Selagi istrinya mengurus Srintil, Kartareja menyiapkan perangkat calung. Penabuh-penabuh dihubungi dengan pesan agar nanti menampilkan permainan terbaik. Calung-calung yang sudah lama tidak terpakai diperbaiki. Diteliti kalau ada temalinya yang putus. Ada orang datang, entah siapa. Kepada Kartareja orang itu mengaku anggota panitia. Dia menyodorkan kertas berisi catatan lagu. Tetapi karena Kartareja buta huruf orang itu membacakan untuknya. Ternyata lagu-lagu itu semua sudah dihafal oleh dukun ronggeng itu. Hanya di sana-sini ada pergantian kata atau kalimat. Kartareja merasakan keanehan karena dalam lagu-lagu itu diselipkan kata "rakyat" dan "revolusi", kata-kata mana terasa kurang akrab dalam hatinya. Tetapi Kartareja tidak mengajukan pertanyaan apa pun. Baginya menuruti kata priyayi atau orang yang seperti itu merupakan salah satu kebajikan dalam hidup. Boleh jadi hanya Sakarya yang tidak sepenuhnya larut dalam kegembiraan. Sikapnya yang hati-hati berasal dari filsafatnya yang sederhana. Bagiya segala sesuatu berpasang-pasangan adanya, tak terkecuali sesuatu yang bernama kegembiraan. Pasangannya pastilah kesusahan. Sepanjang lintasan hidupnya yang panjang Sakarya sering menemukan kenyataan bahwa segala sesuatu tak pernah berpisah jauh dari pasangannya. Orang selalu memilih pihak yang menguntungkan dan menjauhi pihak yang merugikan. Antara keduanya harus tetap terjaga jarak. Dan dalam pikiran Sakarya menjaga jarak itu berarti harus selalu bersikap hati-hati, eling. Kadang juga diartikannya sebagai keseimbangan dan tidak berlebih-lebihan. Jadi Sakarya tidak ikut berhura-hura. Persiapannya menyambut kembali pementasan Srintil lebih ditekankan pada segi kejiwaan. Lebih sering memasang sesaji di dekat makam Ki Secamenggala, lebih banyak terjaga di malam hari serta mengurangi makan-minum. Srintil diperintahkannya dengan sangat ngasrep pada hari kelahirannya. Perayaan Agustusan tahun 1964 itu dimulai dengan upacara pagi hari di lapangan kecamatan Dawuan. Pemandangan dikuasai oleh kain rentang dengan tulisan macam-macam. Ada yang direntang di antara pohon-pohon, tetapi lebih banyak yang ikut masuk ke lapangan yang padat manusia. Gelombang ribuan kepala memberi gambaran seperti pemandangan di ladang tembakau yang ditiup angin. Acungan seribu tangan yang diiringi pekik gempita hanya dapat diandaikan kepada petir yang terjadi di hutan jati meranggas Episode 27 Semua yang berpidato mengerahkan habis-habisan tenaga urat lehernya. Agitasi, propaganda, serta slogan kutukan membakar seluruh lapangan dalam kepalan ribuan tangan serta riuhnya bunyi tambur. Semua orang tegak dalam harga diri yang tertempa seketika oleh retorika para pembicara. Semua orang menggenggam semangat meluap yang setidaknya mampu mengalahkan siksaan yang datang dari sinar matahari yang mulai terik. Gadis-gadis remaja yang biasa malu bersuara keras atau bertingkah seperti laki-laki, larut dalam semangat massa yang meluap. Mereka tidak ketinggalan mengepal tangan dan berteriak. Dan puncak hura-hura itu meledak ketika sebuah patung kelaras jagung yang diberi kopiah serta kaca mata dibakar massa. "Gembong musuh rakyat telah jadi abu!" teriak seorang pemuda. Matanya merah berkaca-kaca karena letupan emosi dalam dirinya. Sakum mendukung anak pada pundaknya. Dia berdiri di bawah pohun sengon, menjadi titik ironi di tengah galau manusia. Baru sekali ini Sakum mengutuk dirinya yang buta. Baru sekali ini Sakum gagal menerjemahkan suara dan suasana yang terekam oleh sisa indrianya. Padahal Sakum sudah biasa melihat meriahnya pentas ronggeng dengan jiwa, bukan dengan matanya. Sakum juga mampu melihat kepanikan semua orang bila datang angin ribut. Atan kecemasan anak istrinya ketika petir menyambar. Dia juga mampu menangkap ceria wajah anak-anak bila gumpalan nasi di depan mereka lebih besar dari kepalan tangan. Tetapi Sakum tidak berputus asa. Melalui denyut nadi anak yang bertengger di pundaknya Sakum terus mencoba mengikuti dan mencari makna hiruk-pikuk yang sedang terjadi di sekelilingnya. Bila denyut nadi anaknya mencepat Sakum mengerahkan kemampuan indrianya yang tersisa. Terkadang juga Sakum menyadap saraf mata anaknya. "Apa yang kaulihat, Nak?" "Wah! Merah, merah, Pa. Bapa tidak melihat ya?" "Apa yang merah?" "Semua, banyak sekali. Orang-orang bertopi kain merah. Bendera-bendera merah. Tulisan-tulisan merah. Eh, ada juga yang hitam, hijau, dan kuning. Wah, bagus sekali, Pa." "Siapa yang berpidato?" "Tidak tahu." "Mari kita mendekat barisan kuda lumping." "Wah, panas, Pa. Tetapi tak mengapa, asalkan... " "Hah?" "Es, Pa. Haus." "Tak ada uang lagi, Nak. Habis." "Wah, jangan bohong. Tadi sebelum berangkat kulihat Srintil memberimu uang. Iya, kan? Kalau bukan es, air asem juga boleh. Haus, Pa." Sakum mengalah. Anaknya diturunkannya dari pundak. Begitu menginjak tanah, anak itu menyeret ayahnya ke arah pedagang minuman. Sakum juga minum. Setelah membayar dan menerima uang kembali, Sakum jongkok. Anaknya yang tangkas kembali bertengger di atas pundak. "Ayo, tunjukkan aku jalan ke dekat barisan kuda lumping." "Punten, punten," seru anak Sakum dari atas pundak ayahnya. Barisan orang yang padat menyisih membuka jalan. Hampir semua orang mengenal siapa laki-laki buta yang mendukung anaknya di pundak itu. Tetapi anak Sakum yang baru berusia enam tahun itu sudah pintar memanfaatkan kebutaan ayahnya. Sakum tidak digiringnya ke arah barisan kuda lumping melainkan ke arah pedagang balon di sudut lapangan. Meskipun tak mungkin baginya memiliki permainan yang mengagumkan itu, dia setidaknya berkesempatan melihatnya sepuas hati. "Asu buntung! Kaubawa ke mana aku ini?" tanya Sakum sengit. "Ke dekat barisan kuda lumping." "Mampus kamu! Ini bukan dekat barisan kuda lumping. Bau busuk ini pasti ulah tukang balon gas, bukan?" Anak itu tertawa lalu memutar kepala ayahnya. "Punten, punten." Upacara diakhiri dengan pawai. Gempita dan kepalan tinju menjalar ke segenap penjuru kota kecamatan itu. Dua-tiga anak sekolah yang jatuh pingsan karena sengatan matahari tidak mengurangi sedikit pun gelora massa. Menjelang tengah hari segala keramaian surut. Dawuan kembali sepi, bahkan pasarnya lebih sepi dari hari biasa. Bersama orang-orang Dukuh Paruk, Sakum pulang. Anaknya tidak lagi didukung di atas pundak. Kini anak itu menjadi tongkatnya. Dalam dunianya yang gelap Sakum masih mencoba memahami keramaian yang baru saja diikutinya. Semua orang tahu perayaan Agustusan tahun ini luar biasa ramai. Jauh lebih ramai daripada tahun-tahun sebelumnya. Bagi Sakum hura-hura hari ini tanpa makna betapapun keras dia berusaha menangkapnya. Dia sudah mendengar, bukan mengerti, bahwa perayaan hari ini demi mengagungkan hari kemerdekaan, bukan kemerdekaan itu sendiri. Sementara itu konsep tentang kemerdekaan baginya adalah bagian dari antah-berantah. Baginya hidup ini harus dijalani dengan pasrah, dengan atau tanpa apa yang sering dikatakan orang kemerdekaan. Mengapa Sakum tidak tahu bahwa teman-temannya sesama orang Dukuh Paruk tidak lebih beruntung meski mata mereka awas? Mereka juga tidak menangkap makna istimewa yang dibawa hari ini, sejarah hari ini. Mereka tidak mengerti makna pidato, tanda-tanda gambar partai, atau slogan-slogan yang telah dilihatnya memenuhi lapangan kecamatan Dawuan. Bukan hanya karena mereka sepenuhnya buta huruf. Lebih dari itu. Dalam tradisi hidup mereka ikatan kesetiaan dan kebersamaan nyaris tak pernah menerobos ke luar batas Dukuh Paruk. Politik dalam sisi pandang yang paling bersahaja tak pernah muncul di pedukuhan terpencil itu. Tatanan hidup mereka adalah tradisi yang berdasar pada ikatan darah keturunan. Kesetiaan mereka berpusat pada cungkup di puncak sebuah bukit kecil di tengah Dukuh Paruk, makam Ki Secamenggala. Dan kedaulatan Dukuh Paruk digembalakan oleh seorang kamitua. Suatu ketika datang seseorang ke Dukuh Paruk menawarkan gambar-gambar partai. Dikatakannya gambar itu adalah perlambangan rakyat tertindas Episode 28 Mula-mula Sakarya tertarik karena orang pendatang itu sering kali dan berulang-ulang menyebut kata "rakyat". Kata itu bagi Sakarya tidak bisa lain kecuali bermakna kaula. Siapa pun di Dukuh Paruk merasa dirinya kaula. Tetapi Sakarya kemudian bangkit menghentikan cakap orang pendatang itu ketika dia mulai berbicara tentang rakyat melarat korban kaum penindas yang jahat. "Siapakah yang sampean maksud dengan rakyat korban kaum penindas itu?" "Nah! Misalnya sampean sendiri bersama semua warga Dukuh Paruk ini. Darah kalian diisap habis sehingga hanya tertinggal seperti apa yang kelihatan sekarang; kemelaratan! Ditambah dengan kebodohan dan segala penyakit. Kalian mesti bangkit bersama kami." "Nanti dulu. Menurut sampean kami adalah rakyat yang tertindas. Apa sampean tidak keliru? Kami sama sekali tidak merasa tertindas, sungguh! Sejak zaman dulu kami hidup tentram di sini." "Itulah. Sampean tidak mengerti bagaimana cara mereka melakukan penindasan terhadap rakyat. Sejak zaman nenek moyang sampean, kaum penindas itu telah melakukan kejahatannya. Cara mereka telah menyejarah. Lihatlah akibat kejahatan mereka di sini. Semua orang kurang makan! Semua orang bodoh dan sakit. Anak-anak cacingan dan kudisan. Anak-anak kalian di sini sungguh-sungguh hidup tanpa harapan." "Yang sampean maksud dengan kaum penindas?" "Kaum imperialis, kapitalis, kolonialis, dan para kaki tangannya. Tak salah lagi!" "Wah, kami bingung, Mas. Kami tak pernah mengenal mereka. Cerita sampean kedengaran lucu. Pokoknya begini, Mas. Sejak dulu beginilah yang bernama Dukuh Paruk. Kami senang hidup di sini, karena itulah kepastian yang kami terima. Kami tak pernah percaya ada sesuatu yang lebih baik daripada kepastian itu. Dan kekeliruan besar bila sampean berharap akan mendengar keluhan kami. Boleh jadi benar kami bodoh, miskin, dan sakit. Tetapi itulah milik kami pribadi. Sampean tak usah pusinig memikirkannya. Lucu, kan? Kami sendiri merasa biasa-biasa saja. Kenapa orang lain mesti repot?" "Sampean yang lucu karena tidak tahu dan tidak mau tahu akan sejarah?" "Wah, sekarang sejarah. Apa pula itu, Mas" "Sejarah itu sesuatu yang amat perkasa. Kalian tidak bisa menolak apalagi melawannya. Dan sampean akan digilasnya bila tetap diam dalam ketololan. Tunggu saja!" "Yang paling perkasa itu yang murbeng dumadi, Mas. Yang telah menentukan kami hidup di Dukuh Paruk ini, yang telah memastikan hidup kami seperti ini." Jadi Dukuh Paruk masih tetap Dukuh Paruk meskipun pada tahun 1964 itu dunia di luarnya sedang berhura-hura. Pidato di mana-mana. Gambar-gambar simbol partai di mana-mana dan pawai di mana-mana. Dukuh Paruk tetap tenang ditunggui oleh cungkup di puncak sebuah bukit kecil di tengahnya. Atau sekedar Sakarya, kamitua pedukuhan kecil itu yang tak pernah lengah membaca sasmita alam. Dia merasakan datangnya hari-hari beringas. Hari-hari ketika orang-orang meninggalkan pekerjaan buat berhimpun di tanah lapang. Hari-hari ketika jalan penuh manusia mengepal tangan serta teriakan lantang. Semuanya mengingatkan Sakarya akan sebatang pohon kelapa yang ditiup angin. Bila angin bertiup dari utara pohon itu akan meliuk ke selatan. Bila angin reda pohon kelapa itu tidak langsung kembali tegak melainkan akan berayun lebih dulu ke utara. Bagi Sakarya hura-hura di luar Dukuh Paruk adalah angin kencang yang meniup kehidupan. Seperti pohon kelapa itu: sebelum kehidupan kembali tenang lebih dulu harus terjadi sesuatu. Tetapi sesuatu itu tak bisa diraba oleh daya pikir siapa pun di Dukuh Paruk, tidak juga Sakarya. Padahal sepanjang hidupnya yang tidak pernah berhenti dari mengikuti irama dan keberimbangan alam, Sakarya telah memperoleh cukup kearifan. Bahwa suatu keluarbiasaan harus dibayar dengan kerusakan keberimbangan. "Jangan tertawa terlalu terbahak-bahak, sebab nanti akan segera menyusul tangis sedih," demikian sering dikatakan Sakarya kepada anak-cucunya di Dukuh Paruk. Entahlah. Yang terjadi malam itu di Dukuh Paruk adalah kegembiraan yang luar biasa. Hampir semua warganya keluar mengiring Srintil yang hendak meronggeng pada malam perayaan Agustusan di Dawuan. Inilah penampilan pertama ronggeng Dukuh Paruk pada sebuah arena resmi; suatu hal baru yang membawa kebanggaan istimewa. Malam itu semangat kota kecil Dawuan berpusat di lapangan sepak bola dekat kantor kecamatan. Sebuah panggung yang lebar, setinggi satu meter didirikan orang pada salah satu sudutnya. Dawuan belum mengenal aliran listrik. Tetapi malam itu banyak sekali lampu neon di sekitar panggung. Suara generator yang bising, anehnya, mendatangkan kebanggaan orang. Rupanya semua orang melupakan suara bising karena toh dari sanalah tenaga bagi lampu-lampu neon yang mengagumkan itu. Bagi sebagian besar orang yang menyemut di sekitar lapangan adalah sesuatu yang luar biasa, ada cahaya terang-benderang tetapi tanpa minyak. Rombongan dari Dukuh Paruk disambut dengan sinar mata serta wajah-wajah berseri. Para penabuh dengan perangkat calungnya diterima panitia. Mereka ditempatkan di belakang panggung. Tetapi Srintil bersama Nyai Kartareja dipersilakan duduk bersama ibu-ibu pejabat kecamatan Dawuan. Srintil menemukan dirinya kembali utuh sebagai seorang ronggeng yang telah matang. Suasana panggung yang megah menghidupkan seluruh permukaan kulitnya. Dan cahaya matanya. Barangkali pada saat itu baru kali pertama indang ronggeng benar-benar merasuk sepenuhnya. Dari sosoknya terpancar wibawa dan pesona luar biasa. Dia duduk tenang, setenang kembang soka di depan cungkup makam Ki Secamenggala. Pandangan matanya adalah cahaya penuh harga diri, mantap, dan dalam ketenangan pandangan mata itu terpancar tenaga yang melumpuhkan. Srintil sesudah berusia delapan belas adalah Srintil yang telah mengalami perihnya upacara bukak-klambu, juga sudah merasakan getirnya ditampik laki-laki idaman. Pada usia semuda itu Srintil juga sudah menjelajahi dunia perhubungan dengan sekian puluh lelaki. Dan jauh sebelum itu tanah airnya, Dukuh Paruk, telah menempanya dalam kemiskinan yang mengakar. Sejarahnya pahit yang pasti layak membuatnya kusut, malu, dan tanpa harga diri. Apalagi saat itu Srintil duduk di antara kaum perempuan yang paling bermartabat di kecamatan Dawuan. Episode 29 Sorot neon pertama di Dawuan menjadi saksi bahwa yang terjadi pada diri Srintil adalah sesuatu yang khas Srintil. Latar sejarahnya yang melarat dan udik ibarat beribil. Tahi kambing itu meski busuk dan menjijikkan namun mampu menyuburkan daun-daun tembakau di tanah gersang, tidak tercabik-cabik oleh sejarahnya. Sebaliknya, Srintil bangkit membentuk dirinya sendiri dengan sejarah keterbelakangannya. Hasilnya mulai terpapar di bawah sorot lampu neon itu. Srintil menjadi pusat suasana, menjadi daya tarik suasana dan Srintil duduk menguasai suasana. "Itukah rupanya si Anak Dukuh Paruk itu?" bisik Ibu Camat kepada perempuan di sebelahnya. Ibu Wedana. "Ya, itulah dia." "Aku baru melihatnya dengan jelas sekarang." "Bagaimana? Cantik? Kenes?" Hati Ibu Camat risau. Tetapi perasaan itu tersembunyi di balik senyumnya yang tawar. Kejujurannya mengakui keunggulan ronggeng Dukuh Paruk itu. Lebih cantik daripada dirinya, bahkan seandainya Ibu Camat masih sebelia Srintil. Dengan gerakan yang amat licik mata Ibu Camat menoleh kepada deretan kursi para lelaki. Hatinya makin kacau ketika melihat kenyataan hampir semua mata laki-laki di sana terarah kepada Srintil. Tak terkecuali mata suaminya. Ibu Wedana tersenyum. Ikhlas senyumnya karena baginya sama saja; ronggeng cantik atau ronggeng bopeng takkan membahayakan kehidupan rumah tangganya. Karena suaminya sudah tua dan impoten. "Lihat, kondenya terlalu tinggi, kan?" "Memang," jawab Ibu Wedana tenang saja. "Tetapi itu sengaja. Nanti Srintil akan pamer tengkuk." "Kebayanya berantakan kukira. Potongannya acak-acakan." "Apa pun kebayanya takkan menjadi soal. Toh nanti akan dibukanya. Dan, lihat saja. Di balik kebaya itu masih terlihat bentuk pundaknya yang amat serasi. Apalagi nanti bila pundak itu tampil telanjang." Ibu Camat merengut. Entah dengan alasan apa dia minta diri dan berpindah ke sebelah Ibu Komandan Polisi. Sekali lagi Ibu Wedana tersenyum. Kali ini senyum kemenangan. "Siapa bilang mempunyai suami impoten sama sekali tidak beruntung?" Di sebelah Ibu Komandan Polisi, kasak-kusuk Ibu Camat berlanjut. "Meski cantik, tetapi kesan udiknya sangat kentara." "Ya, memang. Aku sendiri menjadi risi, jadi ingin tahu, siapa, laki-laki mana, yang menempatkan anak udik itu duduk bersama kami." "Mbakyu benar. Akan kuminta suamiku menyuruh orang..." "Suruh apa?" "Memindahkan anak Dukuh Paruk itu ke tempat lain." Ibu Camat hendak bangkit. Pada saat yang sama Srintil bangkit. Menoleh ke arah dua ibu yang kasak-kusuk, dengan senyum yang paling aneh. Senyum seorang rani dari atas singgasananya. Ibu Camat berhenti pada gerakan yang janggal. Ibu Komandan Polisi berpura-pura membuka tas tangannya. Tetapi dari tempatnya yang agak terpisah Ibu Wedana tertawa terkekeh. Perang dingin itu berlangsung setengah menit, pada saat mana mata Srintil memancarkan cahaya lembut namun mampu membungkam semangat perempuan-perempuan di sekelilingnya. Kejanggalan itu berakhir ketika Nyai Kartareja menarik Srintil agar duduk kembali. Dan Srintil duduk kembali. Tersenyum kembali dengan keanehan yang sama. Senyum gadis panggung yang selalu merasa setiap malam hiburan adalah miliknya yang paling sah. Mendung menyaput deretan kursi kaum perempuan. Wajah Ibu Camat merah padam. Rasanya, baru sekali ini dia dilangkahi oleh perempuan lain, dan justru oleh seorang yang di matanya tidak lebih dari sundal. Hatinya bergolak. Tetapi tenaga ajaib mana yang telah melumpuhkannya? Ibu Camat hanya bisa terpaku di kursinya. Terkalahkan oleh senyum dan sinar mata anak udik dari Dukuh Paruk. Senyum kecil serta kerlingan mata bisa membuat sakit jauh lebih hebat dari pukulan tangan: ungkapan ini sedang dirasakan kebenarannya oleh Ibu Camat. Kegelisahan Ibu Camat serta perempuan-perempuan lain tersisih karena acara hendak dimulai. Seperti ketika pagi hari upacara diawali dengan pidato serta teriakan para pengunjung yang gemuruh. Lebih seribu tangan mengepal di udara. Mereka begitu sengit mengganyang musuh. Musuh itu dilukiskan dalam kata-kata penuh retorika oleh pembicara secara amat pintar sehingga para pengunjung seakan melihat setan yang demikian jahat dan harus segera dilumpuhkan. Pengganyangan berlangsung lancar dan musuh tercabik-cabik, mati oleh semangat massa. Meski hanya berlangsung dalam kata-kata plus kepalan tinju, namun kelihatan memuaskan. Pembicara turun dalam iringan tepuk tangan yang panjang dan riuh. Menang! Acara hiburan dimulai. Seorang pengantar acara menaiki pentas. Laki-laki dengan mata burung hantu itu mengatakan penuh semangat bahwa revolusi saat ini menuntut pengabdian habis-habisan tak terkecuali dari para seniman. Dan meskipun kebanyakan pengunjung telah maklum laki-laki itu mengatakan, rombongan musik keroncong mewakili kekuatan politik ini, rombongan pencak silat mewakili itu, serta ronggeng Dukuh Paruk mewakili yang lain lagi. Ketiga-tiganya telah bersatu-padu, seia-sekata ikut mengganyang musuh melalui pengabdian seni. "Dan ronggeng Dukuh Paruk itu," ujarnya dengan tekanan kata yang istimewa, "mereka adalah seniman-seniman rakyat! Rakyat yang perkasa, rakyat yang demikian tangguh, schingga mereka masih tetap menyanyi dan menari meskipun telah berabad-abad hidup tertindas. Sebentar lagi Srintil dan kawan-kawannya akan tampil di pentas ini. Tetapi jangan salah. Apa pun yang disajikannya tidak bisa lain daripada sebuah makna tuntutan kebebasan! Bebas dari penindasan kaum imperialis, kapitalis, dan kolonialis bersama antek-antek mereka. Sekali lagi, bebas!" Dari salah satu sudut lapangan terdengar sorak-sorai yang riuh. Terasa sekali hura-hura itu diatur dengan komando. Terasa sekali ada usaha lebih menonjolkan peran rombongan ronggeng Dukuh Paruk di antara rombongan kesenian lain. Di tempat berkumpul di sisi panggung, Sakarya melirik rekannya Kartareja. Keduanya tidak paham akan ucapan-ucapan pengantar acara apalagi maknanya. Tetapi setidaknya kedua orang Dukuh Paruk itu merasakan ada kejanggalan. Sepanjang pengetahuaannya ronggeng tak memerlukan pengantar kata yang macam-macam sebelum mulai berpentas. Episode 30 "Aku khawatir, Kang," kata Sakarya. "Bagaimana?" "Jangan-jangan kita melakukan kesalahan. Pentas kita kali ini dilakukan menyimpang adat. Sampean mendengar ucapan-ucapan pengantar acara tadi?" "Ya," jawab Kartareja. "Tetapi bagaimana, ya. Kita di sini menjadi orang yang diatur." "Aku dilarang mereka membakar dupa, Kang. Juga syarat-syarat lainnya. Wah, hatiku sungguh tidak enak. Bisa terjadi apa-apa nanti." "Benar, Kang. Mereka tidak tahu bagaimana jerih kita membujuk Srintil agar mau kembali menari. Nah, sekarang Srinfil sudah mau, tetapi mereka kelihatan tidak menghargai tata cara pementasan ronggeng." "Aku mau pergi, Kang." "Pergi? Ke mana?" "Ke luar. Aku percayakan kepada sampean pengaturan atas anak-anak." Kartareja maklum. Rekannya harus berbuat sesuatu yang berhubungan dengan arwah Ki Secamenggala. Di tempat yang penuh manusia hal-hal semacam itu tak mungkin dilakukannya. Pergelaran musik keroncong sudah dimulai. Suasana yang tercipta oleh nada-nada klangenan membuat para pengunjung terpilah-pilah. Ketika seorang pemuda necis membawakan lagu Jenang Gula, banyak orang terkesima; hanyut terbawa ombak melankolik. Srintil menatap lurus ke arah pemuda yang berpakaian bersih dengan dasi kupu-kupu itu. Hatinya ikut bernyanyi. Tetapi dari sudut tertentu mulai terdengar kasak-kusuk. Kemudian sebuah suara mencuat entah dari mana. "Turun, turun! Kami tidak doyan ngak-ngik-ngok imperialis! Turun!" Si pemuda yang segera tanggap tidak menuruti ocehan dari sudut lapangan itu. Dia cukup pintar dengan cara mengganti lagunya. Para pemain diaturnya sejenak. Kemudian berkumandanglah Genjer Genjer, sebuah lagu daerah yang entah mengapa menguasai udara tanah air pada tahun 1964 itu. Semangat dan kegembiraan pengunjung terbakar kembali. Banyak orang bangkit dari tempat duduk agar bisa lebih leluasa bertepuk tangan atau bahkan ikut tarik suara. Suasana sungguh meriah membahana. Anehnya Srintil makin membeku di tempat duduknya. Bukan karena tidak terbawa suasana. Di dalam hatinya terjadi letupan kegembiraan yang hanya bisa dinikmati dalam diam. "Namanya Murdo, Tri Murdo, putra penilik sekolah di Dawuan ini," bisik Nyai Kartareja kepada Srintil. Hanya orang yang berbakat mucikari segera menangkap apa yang terjadi dalam hati Srintil. Dia jugalah perempuan yang paling banyak tahu data tentang para lelaki di daerahnya. "Sekolahnya di Yogya. Di mataku Murdo adalah seorang anak muda yang bagus. Entahlah di matamu." Srintil menepis tangan Nyai Kartareja, memberi isyarat agar perempuan tua itu tidak meneruskan kata-katanya. Srintil malu. Perubahan wajahnya begitu nyata sehingga Nyai Kartareja malah tertawa. Sebelum hiburan musik keroncong berakhir seorang laki-laki menemui Nyai Kartareja. Rombongan ronggeng dimintanya menyiapkan diri karena waktu baginya hampir tiba. Sebenarnya, sesudah musik keroncong berakhir, tibalah giliran pertunjukan pencak silat. Tetapi tanpa penjelasan apa pun rombongan itu tidak hadir. Nyai Kartareja membawa Srintil ke sebuah ruang tertutup di kantor kecamatan. Di sana Srintil bertukar pakaian. Tidak seperti beberapa tahun yang lalu, sekarang, tak ada yang kurang pas pada tubuh Srintil. Segala hiasan alami pada tubuhnya sedang berada pada puncak perkembangannya. Ketika kebaya dan kutang dilepas tampillah pesona sang Ratih. Lehernya yang segar menjadi perimbangan kedua pundak yang memiliki kesempurnaan bentuk. Kalung emas, cincin, serta tiga gelang berkilat dan mempertegas keremajaan kulitnya. Giwangnya besar. Cahaya berjatuhan dari mata faset intan bila Srintil menggerakkan kepala sedikit aja. Banyak orang menerobos masuk ingin melihat Srintil berdandan. Nyai Kartareja hanya mengusir ke luar mereka yang masih anak-anak. Bagi yang dewasa, istri dukun ronggeng itu hanya berpura-pura merasa keberatan. Tetapi sesungguhnya dia senang memperoleh kesempatan memamerkan kecantikan anak asuhannya. Srintil melihat dirinya dalam cermin kecil yang dipegangnya. "Ya. Itulah diriku yang sebenarnya, yang demikian seharusnya. Tetap tersenyum dan gembira. Aku seorang ronggeng dan ronggeng!" Ketika Srintil keluar diiringi Nyai Kartareja dirinya menjadi titik pusat pancaran ratusan pasang mata. Seorang laki-laki berjalan di depan menyibak kerumunan orang. Laki-laki ini langung membawa Srintil menuju panggung. Perangkat musik keroncong telah berganti dengan calung. Dan demi anu orang memberi kaca mata hitam kepada Sakum. Mula-mula Sakum menolak karena kebutaan adalah bagian hidup yang telah diterimanya tanpa rasa malu sedikit pun. Tetapi setelah dikatakan dia bertambah gagah dengan kaca mata itu Sakum menerimanya. Srintil menapaki tangga panggung dengan iringan tepuk tangan yang riuh. Dari sudut tertentu slogan politik. "Hidup kesenian rakyat!" Tetapi Srintil tenang seperti awan putih bergerak di akhir musim kemarau. Memang, sejenak dia tertegun oleh luas serta benderangnya panggung. Dia hanya terbiasa dengan arena beralaskan tikar pandan dan lampu pompa sebagai penerang. Kemudian segenap penonton menyaksikan bagaimana Srintil menempatkan dirinya secara mengesankan sebagai pemangku utama kewibawaan panggung. Dia berdiri memutar badan ke arah semua penonton. Bibirnya sedikit ditarik sehingga terjadi keindahan lekuk di kedua ujungnya. Matanya berkilat seperti kepik emas hinggap di atas daun. Angkuh tetapi teduh. Srintil sedang memberi hormat kepada penonton tanpa harus menekan harga dirinya. Kemudian hening. Semua orang melihat Srintil merendahkan badan, duduk di hadapan para penabuh. Rombongan dari Dukuh Paruk sedang menunaikan tata cara mereka sendiri, mengheningkan cipta sebelum pertunjukan dimulai. Dan tak seorang pun mengerti apa yang sedang bergolak di hati Srintil. Dia sadar betul dirinya sedang menjadi tumpuan pandangan lebih dari seribu pasang mata. Ada mata Ibu Camat, mata bapak ini, bapak itu, dan mata warga Dawuan. Namun Srintil menganggap tak ada beda antara sekian banyak mata itu. Baginya sama saja. Semuanya adalah mata Rasus. Di depan mata Rasus itu Srintil akan menunjukkan betapa dirinya mempunyai sekian banyak kelebihan. Sehingga meski sudah menjadi tentara Rasus sama sekali tidak berhak mengecilkan arti dirinya. "Kamu telah meninggalkan diriku dengan cara menyakitkan. Kamu takkan berbuat seperti itu bila kamu tidak ingin dirundung penyesalan yang mendalam. Lihat saja!" Episode 31 Tidak diperlukan pengetahuan yang mendalam untuk mengatakan bahwa pada dasarnya tarian ronggeng adalah tiruan kasar tari gambyong, sejenis tari pemanasan berahi di kalangan para ningrat. Dalam perkembangan selanjutnya tari ronggeng meniru juga tari serimpi, tari Bali, dan tari topeng. Bahkan juga tari Baladewa. Semuanya ditiru secara mentah, gaya jelata. Kadang tari-tari itu digabung tidak karuan sehingga dalam pentas orang bisa mengatakan lenggang-lenggok seorang ronggeng tidak lebih dai gerakan spontan, bermakna dangkal dan lebih ditekankan kepada kesan erotik. Dan siapa pun yang mengikuti perkembangan Srintil sejak awal tidak akan menemukan perubahan-perubahan dalam gaya tariannya meski dia hampir enam tahun menjadi ronggeng. Kecuali malam itu yang terbukti lain. Si buta Sakum justru yang pertama merasakannya. Sakum mendengar suara gesekan kaki Srintil di lantai panggung. Dirasakannya kibasan sampur dan didengarnya getar suara Srintil. Semuanya berubah. Srintil seakan menari dalam keadaan marah. Andaikan mata Sakum awas tentulah dia dapat melihat betapa Srintil mengangkat kedua lengannya lebih tinggi hingga tampak putih kulit ketiaknya. Goyang pundaknya lebih berani. Bila sedang pacak gulu mata Srintil tidak terarah kepada penonton seperti telah menjadi ciri khasnya. Mata Srintil menantang bintang-bintang. Senyum seorang ronggeng, apalagi bila dia sedang menari, tak pernah mempunyai makna lain kecuali ungunya bunga kecipir bagi kumbang atau merahnya kembang soka bagi kupu-kupu. Rayuan tanpa kata atau pemikat yant bertuah. Tetapi malam itu senyum Srintil tak mungkin diterjemahkan sebagai perayu atau pemikat. Tarikan kedua ujung bibirnya hanya menggambarkan hati penuh martabat. Kekenesan yang pongah meski menggemaskan. Apabila Srintil telah bertekad hendak menundukkan seribu mata Rasus maka dia terbukti berhasil melakukannya. Selama menari terbayang olehnya Rasus yang runduk tak berdaya dan penuh penyesalan, mengapa dia telah tega membuat Srintil sengsara. "Apalah arti seorang Rasus," demikian pikir Srintil sambil meratui panggung, "bila seribu mata terkesima padaku. Di sana ada camat, ada wedana, ada Tri Murdo, dan entah siapa lagi. Mereka terpaku di tempat masing-masing membiarkan hati mereka menjadi bulan-bulanan, membiarkan perasaan mereka menjadi permainanku." Srintil terus menari dalam semangat yang mengesankan. Gerakannya tetap penuh tenaga meskipun kulitnya mulai berkilat oleh keringat. Sampai babak kelima, saat yang biasa dia gunakan untuk beristirahat Srintil terus melenggang dan melenggok. Tentulah semua orang mengatakan semangat Srintil dipacu semata-mata oleh suasana panggung yang luar biasa menurut ukuran seorang ronggeng. Atau oleh kenyataan jumlah penonton yang meluap dan termasuk orang-orang terpenting di Dawuan di antara mereka. Tak seorang pun mengerti Srintil sedang melampiaskan kemurkaan di alam bawah sadarnya. Tak seorang pun tahu. Kecuali Sakum. Laki-laki buta itu sudah terbiasa memahami sesuatu dengan intuisinya. Sakum ingin menghentikan Srintil. Dengan sikunya dia menggamit Kartareja yang kebetulan duduk di sisinya. Kartareja cepat mengerti maksud Sakum, tetapi tidak berani mengambil keputusan. Maka Sakum yang bertindak. Sentuhan irama calungnya dibuat sumbang dengan cara menyimpangkan nada tiada tertentu. Itulah cara yang sudah disepakati bila para penabuh ingin berbicara dengan ronggeng. Namun demikian Srintil terus menari. Baru setelah tiga buah lagu berlalu Srintil patuh akan aba-aba yang diberikan Sakum. Lenyapnya suara calung menciptakan suasana yang mendadak janggal dan hampa. Kekosongan udara kemudian diisi oleh bisik-bisik dari kiri-kanan yang terus mengembang menjadi dengung merata di seputar lapangan. Orang-orang mendapat kesempatan melepas ketegangan setelah sekian lama berdiam diri memampat kesan yang mendalam. Sesaat kemudian terdengar suara keras. "Terus, terus! Hidup Srintil. Hidup seniman rakyat." "Sampean harus beristirahat, Jenganten. Jangan terlalu memaksakan diri. Tidak baik," kata Sakuni. Srintil duduk bersimpuh, menutup mukanya dengan ujung sampur. Layaknya dia sedang melap keringat. Tetapi hingga beberapa saat lamanya Srintil tetap dalam keadaan demikian. Dari samping terlihat pipi Srintil yang berubah pucat. Napasnya tersengal-sengal. Nyai Kartareja yang segera menangkap suasana genting cepat naik ke panggung. "Kenapa, Jenganten?" "Pusing, Nyai. Pusing! Oh, hk. Napasku sesak. Dadaku sesak!" Nyai Kartareja merangkul Srintil. Dia langsung mengerti masalahnya genting karena Srintil tidak lagi menguasai berat badan sendiri. Dan terkapar di lantai panggung. Pekik Nyai Kartareja mengawali kekusutan di sana. Dalam sekejap arena sudah penuh orang. Kebanyakan hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Namun setidaknya seorang di antara mereka mengerti apa yang harus dilakukannya setelah menyadari Srintil dalam keadaan pingsan. Segala yang mengikat tubuh Srintil dikendurkannya. Kemudian dia bersiap membuat napas buatan. Namun sebelum Tri Murdo melakukannya Srintil telah siuman. Napasnya megap-megap seperti orang yang habis lama tenggelam. Sejenak dia kelihatan bingung. Matanya bergulir ke kiri dan ke kanan, Kemudian dia cepat bangkit ketika menyadari seorang berdasi kupu-kupu berdiri melangkahi tubuhnya. Wajahnya merah ketika beradu pandang dengan Tri Murdo. Kekalutan masih berlangsung hingga beberapa lamanya meskipun Srintil sudah dituntun orang turun dari panggung. Tak kurang suatu apa. Orang-orang tidak percaya bahwa tak ada yang kurang beres pada tubuh ronggeng itu. Tetapi Srintil bersikeras bahwa dirinya tidak memerlukan pertolongan apa pun kecuali sedikit waktu buat membenahi kembali pakaiannya lalu siap lagi naik panggung. Hanya seorang yang tahu persis apa yang telah terjadi. Marsusi dalam pakaian penyamaran berdiri di balik bayang-bayang sebatang pohon. Tangan kanannya menggenggam sebuah botol kecil sebesar kelingking. Bila mulut botol itu ditutup dengan ibu jarinya maka terjadi heboh di panggung. Srintil tak bisa bernapas. Itu sudah sekali dibuktikannya. Dan sekali heboh belumlah cukup buat membalas kesumatnya terhadap ronggeng Dukuh Paruk itu. Dengan sabar Marsusi menanti kesempatan berikutnya Episode 32 Seperempat jam kemudian Srintil kembali menjadi fokus hidup yang mendaulat panggung. Dia menari seperti mengapung di udara; lincah dan bebas lepas. Kadang seperti burung beranjangan, berdiri di atas satu titik meski sayap dan paruhnya terus bergetar. Kadang seperti bangau yang melayang meniti arus angin. Suaranya yang timbul tenggelam dalam pengeras suara bahkan memberikan kesan lebih hidup, seperti sendaren layang-layang yang meliuk-liuk di angkasa. Perasaan segenap penonton ikut mengapung bersama irama tarian Srintil. Mereka mengikuti setiap gerak ratu panggung itu dengan mata, dengan hati, dan dengan denyut jantung mereka. Ibu Camat dan Ibu Komandan Polisi dengan kebencian mereka. Ibu Wedana malah ceria karena melihat suaminya berjingkrak-jingkrak penuh gairah, persis seperti lelaki perkasa laiknya. Para penonton demikian terpesona sehingga mereka bingung ketika melihat tiba-tiba Srintil berhenti, berdiri tak bergerak. Kedua lengannya yang merentang tinggi terpancang kaku. Mulutnya yang terbuka tetap dalam keadaan demikian hingga beberapa saat lamanya. Calung serentak berhenti. Kartareja melompat ke depan, menahan tubuh Srintil yang roboh ke belakang. Gempar lagi. Banyak orang berlompatan ke atas panggung. Juga Pak Camat. Tetapi istrinya menahannya. Tri Murdo yang sejak tadi menonton di deretan kursi paling depan hanya dalam beberapa detik sudah menangani Srintil. "Apa kataku. Mestinya Srintil jangan menari lagi," katanya. Sementara petugas keamanan mengusir penonton yang berlompatan ke atas panggung. Tri Murdo berdua Nyai Kartareja berusaha menyadarkan Srintil. Kutang ketat yang membalut tubuh Srintil dari dada sampai ke pinggulnya dibuka. Wajah Srintil biru, paru-parunya berhenti. Tetapi Tri Murdo yakin jantungnya masih berdenyut. Dia berdiri mengangkang tepat di atas perut Srintil menggerak-gerakkan kedua tangan ronggeng itu, membuat napas buatan. Tidak lama, karena kemudian Srintil tiba-tiba membusungkan dada menarik napas dalam-dalam. Megap-megap, mulutnya terbuka seperti ikan mujair. Dan terbelalak karena setagen dan kutangnya sudah terbuka. Di atas perutnya berdiri laki-laki muda berpakaian putih berdasi kupu-kupu. Srintil cepat duduk. Tri Murdo melangkah ke samping. Orang-orang henclak mengangkat tubuh ronggeng itu. Tetapi Srintil menolak. Nyai Kartareja merangkul dan membimbing Srintil turun dari panggung. Setelah keadaan sedikit reda pengatur acara mengumumkan bahwa pertunjukan kesenian malam itu usai. Meskipun keadaan sedikit kalut tetapi laki-laki itu menutup acaranya dengan teriakan mengguntur. Penonton menyambutnya dengan teriakan bersama. Dan acungan seribu tangan mengepal. Penonton bubar dengan berbagai kesan pada diri mereka masing-masing. Namun kebanyakan dari mereka tidak menduga macam-macam. Yang terjadi atas diri Srintil adalah sebuah permainan; suatu hal yang tidak terlalu aneh bagi masyarakat Dawuan. Hanya sedikit orang menduga Srintil terkena ayan atau penyakit lainnya. Apabila Marsusi menghendaki nama Srintol ternoda oleh peristiwa di atas panggung ini maka dia keliru besar. Boleh jadi Marsusi merasa puas. Juga Ibu Camat atau Ibu Komandan Polisi. Tetapi ratusan lagi lainnya justru merasa bertambah simpati terhadap ronggeng Dukuh Paruk itu. Marsusi telah menyakiti burung perkutut milik umum. Beruntunglah Marsusi karena tak seorang pun tahu akan ulahnya. Kecuali Kartareja. Sejenak setelah Srintil sadar dia menyelinap di antara kerumunan pengunjung. Kartareja sudah menduga adanya tangan jail dan ingin segera tahu milik siapakah tangan itu. Tidak gampang mencari satu orang di antara ratusan pengunjung. Namun Kartareja sudah mengetahui cara yang paling gampang. Orang yang dicarinya pasti memiliki ekspresi wajah sang berbeda dan gerak-gerik yang tidak sama dengan semua pengunjung lainnya. Dan Kartareja melihat seorang yang bergegas meninggalkan arena. Pakaiannya hitam dengan ikat kepala wulung. Dikejarnya laki-laki yang kelihatan tegap itu. "Tunggu sebentar, Mas," panggilnya. Laki-laki itu menoleh. Mata Kartareja membulat untuk lebih memahami wajah laki-laki itu. Mula-mula Kartareja ragu. "Oh, sampean? Ah, mestinya sampean menonton bersama Pak Camat. Tak pantas di sini, bukan?" "Yah, terkadang orang ingin menyendiri." Jawab Marsusi tenang. Kartareja tersenyum. Marsusi tersenyum. Dalam kebisuan mereka telah terjadi komunikasi yang intensif. Tetapi kejanggalan tidak bisa dihindari. Marsusi menawarkan rokok yang kemudian diterima oleh Kartareja, dan langsung menyulutnya. "Pentasmu kali ini sedikit terganggu," ujar Marsusi. "Yah, saya maklum. Saya mengerti perasaan sampean. Yang penting, sekarang perkara utang-piutang sudah tunai." "Hm, ya." "Ya." "Dan itu... " "Apa?" "Asuhan sampean!" "Srintil?" Marsusi tidak menjawab. Hanya senyumnya yang mengembang dan segera terbaca oleh Kartareja. "Ah, itu persoalan mudah. Apalagi bagi sampean. Apabila sampean masih mau, masalahnya tinggal bagaimana sampean bisa bersabar." "Aku memang masih penasaran. Oh, tidak. Maksudku, ronggengmu memang membuat gemas!" "He-he." "He-he-he." Dan Marsusi membanting hancur botol jimatnya. Tunai sudah. Tak ada lagi siapa mempermalukan siapa. Kartareja dan Marsusi berpisah dengan senyum. Keduanya tahu betul arti senyum mereka masing-masing. Jam satu tengah malam rombongan dari Dukuh Paruk belum meninggalkan arena. Mereka menikmati kopi panas yang disediakan panitia. Srintil sudah melepaskan pakaian ronggengnya, duduk dikelilingi beberapa orang laki-laki yang merasa beruntung bisa berdekatan dengan ratu panggung. Episode 33 Mata Srintil mencari laki-laki yang berdasi kupu-kupu. Tri Murdo masih ada tetapi sudah siap berangkat dengan rombongan orkes keroncongnya. Ketika minta diri Tri Murdo bersikap biasa, sangat biasa. Srintil menelan ludah. Bapak Wedana bangkit. Dari mulutnya terdengar tembang pucung, pujian bagi para ronggeng. Sambil melangkah tangannya bertepuk berirama. Sengkang ceplik, cunduk jungkat sarwi wungu Pupur lelamatan Nganggo rimong plangi kuning Candanira kaya sekar dhedhompolan Bergiwang rupa bunga tanjung, bermahkota sisir serba ungu. Bedaknya tipis rona, dengan selendang pelangi kuning. Baunya adalah harum serumpun bunga. Ibu Wedana bertepuk tangan memberi semangat bagi suaminya. Orang-orang ikut bertepuk dan bertembang melagukan pucung yang setua Dukuh Paruk itu. Srintil tertawa dan tertawa. Keayuannya muncul pada sinar matanya, pada cerah kulitnya, dan pada kesegaran mulutnya. Srintil menoleh kepada Ibu Wedana ketika Bapak Wedana mencubit pipinya. Ibu Wedana malah bertambah gembira. "Siapa mengira suamiku laki-laki tanpa daya?" Malam itu Srintil hampir tidak pulang ke Dukuh Paruk. Bapak dan Ibu Wedana memintanya dengan sangat menginap di Dawuan. Sebaliknya, Kartareja amat berkeberatan. "Maafkan kami, Bapak. Kami orang-orang Dukuh Paruk tidak bisa berbuat sesuatu yang melanggar ketetapan yang kami anut. Ini malam Ahad Pahing: tidak boleh tidak, kami semua harus tidur di rumah kami masing-masing di Dukuh Paruk." Sebuah obor besar kelihatan dari jauh melintasi pematang panjang yang menuju Dukuh Paruk. Nyala apinya meninggalkan ekor asap hitam yang meliuk di udara. Orang-orang Dukuh Paruk sedang berjalan menuju tanah airnya. Hampir tak ada yang berbicara. Sepi, kecuali suara calung dalam pikulan. Kaki-kaki mereka basah oleh embun rerumputan. Sinar obor membuat penerangan bagi sebuah pentas tersendiri. Ada burung cabak berebut serangga di angkasa. Ada belalang terbang menabrak nyala api. Dan Sakum berteriak karena kakinya menginjak katak kecil hingga perut binatang itu meledak. Di hadapan mereka Dukuh Paruk kelihatan remang seperti seekor kerbau besar sedang lelap. Di atasnya lintang waluku. Di atasnya, terkadang, membersit sinar terang bintang beralih. Dan suara burung hantu dari atas pekuburan Dukuh Paruk menggema, seakan menyambut para warga yang sedang pulang di puncak malam. Kuda hitam itu sudah berbusa mulutnya. Suara kuk-kuk terdengar setiap kali binatang jantan itu melangkahkan kaki: suara kantung buah zakarnya yang tergesek-gesek kulit paha. Lebih dari tiga puluh kilometer telah ditempuhnya, menarik andong dengan kusir dan seorang penumpang. Sentika, satu-satunya penumpang di atas andong itu adalah laki-laki usia enam puluhan. Subur badannya, berwajah bulat dan tenang. Bajunya hitam. Celananya yang longgar menutup lutut juga berwarna hitam. Ikat kepalanya melilit rapi. Dengan bibir merah karena makan sirih lengkaplah penampilan Sentika sebagai laki-laki sisa masa lalu, dan hidup bertani di daerah pegunungan. "Kudamu sudah letih rupanya," kata Sentika kepada Sartam, kusir. "Itu, di depan ada warung. Kita mengaso dulu." "Bukan hanya kudaku yang minta islirahat, Pak." "Lha iya. Kamu juga lapar. Mulutku asam. Makan sirih sambil berayun-ayun di andongmu terasa kurang nyaman." Sartam menghentikan andongnya di bawah lindungan pohon johar. Kudanya meringkik. Di sana ada andong lain, kudanya betina. Sementara Sartam memberi makan kudanya dengan rumput bercampur dedak yang dibawanya dari rumah. Sentika berjalan gontai ke warung. Dipesannya dua gelas kopi. Ketika Sartam datang menggabungkan diri Sentika sudah menggulung daun sirih dengan bumbu-bumbunya; kapur, gambir, dan biji pinang kering. Gerahamnya bekerja. "Dawuan masih jauh?" tanya Sentika kepada perempuan pemilik warung. "Oh, sampean hendak pergi ke sana? Jauh, masih jauh. Kukira tengah hari nanti sampean baru sampai ke sana." "Dari Dawuan aku mau terus ke Dukuh Paruk. Sampean mengerti arahnya?" "Aku belum pernah pergi ke Dukuh Paruk. Tetapi sudah sering mendengarnya. Pedukuhan itu terkenal ronggengnya bukan? Sampean mau mengundang ronggeng?" "Lha iya. Kira-kira begitulah." "Sampean dari mana?" "Alaswangkal." "Alaswangkal? Dan sampean naik andong dari sana?" "Lha iya. Aku orang kuno, tidak biasa naik bus. Tidak pernah." "Kalau begitu andong itu milik sampean sendiri?" "Aku menyewanya. Ini dia pemiliknya," jawab Sentika sambil menoleh kepada Sartam. Yang dilirik tersenyum karena teringat besarnya sewa andong yang bakal diterimanya. Ah, tetapi Sartam mengerti siapa Sentika. Kebun singkongnya hampir seluas tanah pegunungan di Alaswangkal. Dua-tiga pabrik tapioka tergantung kepada singkong hasil perkebunannya. Untuk itu Sartam tak usah ragu memilih makanan terbaik yang disajikan di warung itu. Toh Sentika yang akan membayarnya. Setelah perut kenyang Sartam kembali ke andongnya, duduk sambil merokok. Rokok itu terus mengepul di mulutnya meskipun Sartam tertidur karena lelah. Dan tersentak bangun ketika Sentika menepuk pundaknya. "Lha iya. Dasar ular koros kamu! Bila perut penuh, mata mengantuk. Ayo berangkat!" Perempuan warung itu benar; menjelang tengah hari Sentika dan andongnya sampai ke Dawuan. Setelah bertanya kepada seseorang di pinggir jalan dia meneruskan perjalanan. Andong itu berhenti di sudut pematang panjang yang menuju Dukuh Paruk. Sartam mendapat waktu istirahat panjang karena harus tinggal bersama andongnya di pinggir jalan sementara Sentika berjalan seorang diri ke Dukuh Paruk. Episode 34 Laki-laki itu berjalan mantap meskipun matahari terik berada tepat di atas kepalanya. Perjalanan selama setengah hari pun tidak memberikan kesan lelah kepadanya. Sentika sudah terbiasa berjalan jauh. Turunan dan tanjakan di Alaswangkal melatih kakinya sejak masa kanak-kanak. Di tepi Dukuh Paruk seorang anak kecil memberi tahu arah rumah Srintil yang sejak peristiwa Marsusi tinggal bersama kakeknya, Sakarya. Nyai Sakarya yang pertama menemuinya. Kemudian menyusul suaminya. "Namaku Sentika dari Alaswangkal. Betulkah di sini rumah ronggeng Srintil?" "Ya, benar. Sampean tidak keliru." jawab Sakarya. "Lha iya. Dari jauh aku datang kemari karena aku mempunyai kepentingan." "Tentulah soal menanggap ronggeng, bukan?" "Lha iya. Apalagi kalau bukan itu. Tetapi masih ada lainnya..." "Nanti dulu." Sakarya menyuruh istrinya pergi memanggil Kartareja. Sementara itu Srintil muncul sambil membopong Goder. Mata Sentika menatapnya lama. Bibir Sentika bergerak-gerak tanpa mengeluarkan kata. Matanya terus menatap hingga Srintil tertunduk malu. Kalau benar ini Srintil, oh, benar kata orang. Cantik. Tetapi mengapa ada bayi di tangannya? "Nah, inilah cucuku, Srintil. Dan bayi itu tentu saja bukan anaknya. Anak tetangga." "Ah, memang tidik salah." "Tidak salah?" "Lha iya. Aku tidak salah telah datang kemari." "Ya, ya. Lalu kapan sampean punya kepentingan?" Nah, ini Kartareja, kamitua ronggeng di sini," kata Sakarya sambil mengenalkan rekannya. "Aku menyediakan dua pilihan. Kalan tidak Kemis Manis, pilihlah Ahad Pon mendatang." "Kebetulan dua-duanya kosong." kata Kartareja sambil menarik kursi. "Tetapi jangan Ahad Pon. Jangan. Pakailah hari Kemis Manis." "Lha iya. Itu terserah sampean berdua." "Berapa malam?" Sentika terdiam. "Eh, Srintil, buatkan minuman. Bapak ini datang dari jauh." "Berapa malam?" ulang Sakarya. Tetapi Sentika tidak segera memberi jawaban. Malah laki-laki dari Alaswangkal itu mengeluarkan kotak sirihnya. "Sebetulnya begini," kata Sentika akhirnya. "Aku memerlukan Srintil bukan hanya untuk meronggeng." Diam. "Lalu?" tanya Sakarya dan Kartareja hampir bersamaan. "Baiklah. Tetapi aku akan memulai dengan sebuah cerita." "Lho, silakan." "Anakku berjumlah empat belas orang, tetapi hanya dua yang laki-laki. Itu pun seorang di antaranya meninggal ketika masih kecil. Jadi tinggal si Waras seorang, anak laki-lakiku. Semata wayang. Si Waras kini sudah tujuh belas tahun." "Ya, ya." "Aku terlanjur mengucap kaul: bila si Waras memang waras sampai dewasa, aku akan mementaskan ronggeng terbaik baginya." "Oh ya, ya." "Dan, aku akan mengundang baginya seorang gowok yang cantik." Sakarya dan Kartareja saling berpandangan. "Sampean berdua jangan khawatir. Aku menyediakan upah yang tidak bakal mengecewakan. Asal gowok itu memang cantik seperti Srintil itu." "Bukan itu masalahnya. Kami memang pernah mendengar tentang pergowokan. Tetapi belum jelas karena di sini tidak berlaku adat seperti itu." "Lha iya. Aku mengerti. Di kampungku pun gowok mulai ditinggalkan orang. Dan kalau bukan kaul aku takkan melakukannya. Sampean mengerti bukan?" "Ya, ya. Tetapi tolong terangkan." Srintil duduk di samping neneknya, ikut mendengarkan penjelasan Sentika. Orang Alaswangkal ini tidak biasa menerangkan sesuatu lebih dari beberapa kalimat. Kata-katanya tidak lancar. Namun demikian para pendengarnya bisa mengerti. Bahwa gowok adalah seorang peremputan yang disewa oleh seorang ayah bagi anak lelakinya yang sudah menginjak dewasa. Dan menjelang kawin. Seorang gowok akan memberi pelajaran kepada anak laki-laki itu banyak hal perikehidupan berumah tangga. Dari keperluan dapur sampai bagaimana memperlakukan seorang istri secara bak misalnya, bagaimana mengajak istri pergi kondangan dan sebagainya. Selama menjadi gowok dia tinggal hanya berdua dengan anak laki-laki tersebut dengan dapur yang terpisah. Masa pergowokan biasanya berlangsung hanya beberapa hari, paling lama satu minggu. Satu hal yang tidak perlu diterangkan tetapi harus diketahui oleh semua orang adalah hal yang menyangkut tugas inti seorang gowok. Yaitu mempersiapkan seorang perjaka agar tidak mendapat malu pada malam pengantin baru. Menyangkut gowok ini persoalan rumit akan muncul bila si anak laki-laki tidak mau berpisah lagi dari gowok-nya. Padahal secara pasti dia sudah mempunyai calon istri pilihan orang tua. Gowok selalu berdiri di atas angin karena biasanya dia janda atau perempuan penjaja diri. Memang ada suami yang merelakan istrinya menjadi gowok, namun yang demikian ini amat jarang terjadi. "Jadi sesudah meronggeng nanti, Srintil kuminta tinggal beberapa hari lamanya menemani anakku, Waras. Soal upah, aku ulangi, sampean tak perlu khawatir." Sakarya dan Kartareja kembali bertukar pandang. Tetapi Srintil tertawa terpingkal-pingkal. "Lucu, ya, Nek, lucu!" "Lucu? Baiklah. Tetapi kamu, Wong Ayu, bersedia menjadi gowok bagi anakku, bukan?" kata Sentika sambil menatap jenaka kepada Srintil. "Wah, bagaimana ya?" gelak Srintil pecah lagi. "Bagaimana, Nyai Kartareja?" "Terserah sampean sajalah. Tetapi bagiku, bagaimana upahnya." "Tetapi aku belum pernah menjadi gowok." "Maka sampean akan mendapat pengalaman," sela Sentika. Sementara itu tangan laki-laki Alaswangkal itu merogoh sakunya. "Lha iya. Ini uang untuk panjer meronggeng. Dan ini buat panjer menjadi gowok. Ambil semua, tetapi nyatakan dulu kesanggupan sampean." Episode 35 Sekiranya orang-orang Dukuh Paruk itu mengerti siapa Sentika sebenarnya mereka tidak usah terkejut. Uang yang diletakkan di atas meja tertumpuk setebal jari. Cincin emas di dekatnya berbentuk iris penjalin setebal drenges, bunga sirih. Srintil sendiri terperangah. Disadarinya atau tidak, mulutnya bergumam, "Jadi anak Bapak sudah disunat?" "Disunat oleh seorang lelaki dukun sunat, sudah. Lha iya. Tetapi disunat oleh sampean, belum! Lha iya." Semuanya tertawa. Kecuali Srintil yang hanya tersipu. Di dalam hatinya muncul keraguan. Sanggup meronggeng sekaligus menjadi gowok, atau tidak. Soal meronggeng tidak jadi masalah, tetapi jadi gowok? Srintil sudah bersumpah dalam hati tidak akan melayani laki-laki yang memburunya. Laki-laki yang menganggap tak ada sisa nilai lagi setelah terjadi transaksi jual-beli, di mana Srintil sama sekali tak berperan dalam penentuan. Marsusi misalnya. Srintil ingin memiliki hak memilih dan ikut menentukan dalam setiap urusan yang menyangkut dirinya. Memiliki dirinya. Atau Srintil akan meminjamkan dirinya bila hal itu menjadi kepentingannya, bukan kepentingan orang lain semata. Siapa pun di Dukuh Paruk tahu pikiran demikian menyimpang dari kebiasaan seorang ronggeng. Srintil juga. Tetapi pada usia delapan belas tahun itu Srintil tahu bahwa penyimpangan demikian harus dilakukan bila dia ingin mempunyai andil dalam dirinya sendiri. "Lha iya. Kok semuanya diam. Aku menunggu jawaban kalian, jawabanmu, Jenganten," ujar Sentika. Dan meludah merah. "Kalian tahu aku harus cepat pulang agar tidak kemalaman di tengah jalan, Alaswangkal jauh, lho! Dan andongku sudah lama menunggu di Dawuan." Semua mata memandang ke arah Srintil. Ini juga penyimpangan. Biasanya Kartareja atau Sakarya berani mengambil keputusan tanpa melihat roman muka Srintil lebih dulu. Tetapi kini bahkan wibawa Srintil mampu mencegah siapa saja yang ingin berkata sugestif. Tiba-tiba mata Srintil memancarkan cahaya kuasa. Wajahnya melukiskan citra keangkuhan. "Aku akan datang ke Alaswangkal pada hari Kemis Pahing untuk meronggeng. Lihat saja nanti apakah aku juga bersedia menjadi gowok bagi anak Bapak. Hanya itu kesanggupanku." Selesai berkara demikian Srintil dengan wajah beku, bangkit hendak meninggalkan ruangan. Goder yang merengek dalam embanan diciuminya puas-puas. Sentika cepat-cepat mcnyemburkan remah sirih dari mulutnya ke tanah. "Nanti dulu, Wong Ayu! Lha iya. Aku kan orang tua. Masakan aku tidak mengerti perasaanmu, kemauanmu. Duduklah sebentar. Aku belum selesai." Oleh cara pendekatan Sentika hati Srintil meleleh. Dia menurut, duduk kembali di samping neneknya. "Coba dengarkan, Jenganten. Aku sudah senang sampean bersedia meronggeng di rumahku. Soal menjadi gowok, aku setuju; bagaimana nanti saja bila sampean sudah berada di Alaswangkal. Lha iya. Maka ambillah uang ini. Dan pakai juga cincin ini. Aku sungguh tidak rugi memberikan cincin ini kepada sampean. Tak peduli apakah sampean mau atau tidak mau menjadi gowok. Lha iya. He-he-he." Suasana yang kemudian berkembang adalah bukti kecakapan Sentika: orang-orang hampir tidak mungkin berkata "tidak". Srintil pasif saja ketika Sentika datang mendekat dan memegang telapak tangannya. Uang dan cincin itu sekejap saja sudah berada dalam telapak tangan ronggeng itu. Sentika sendiri yang meletakkannya di sana. Dan mengatupkannya sekalian dengan remasan. "Nah, gampang, kan? Lha iya!" Sentika meninggalkan Dukuh Paruk dengan hati yang entah mengapa, puas. Padahal tujuannya pergi ke pedukuhan itu tidak sepenuhnya berhasil. Dia masih harus mencari seorang perempuan sebagai cadangan bilamana Srintil benar-benar tidak bersedia menjadi gowok. Boleh jadi Sentika bukan laki-laki kekecualian, yang menganggap kembang dari Dukuh Paruk demikian mengesankan sehingga orang merasa lebih suka menuruti kehendaknya daripada marah atau kecewa terhadapnya. Matahari membuat bayang-bayang sepanjang setengah badan. Sentika mempercepat jalannya. Dalam perhitungannya dia akan sampai ke rumah setelah malam jatuh. Tak mengapa, pikirnya. Aku telah menemukan seorang ronggeng yang belum pernah kulihat sepanjang hidup; kecantikannya. Kemis Pahing nanti dia akan menari di rumahku. Kini dia telah menggenggam uangku dan cincinku. Selama seminggu menunggu kedatangan Kemis Pahing tak ada sesuatu yang berkesan tercatat di Dukuh Paruk. Atau, katakanlah, Srintil menjadi lebih ketat mendekap Goder karena Tampi bunting lagi. Sementara Dukuh Paruk yang tua kelihatan makin renta oleh udara yang lebih dingin. Kemarau datang lagi ke Dukuh Paruk buat kesekian juta kali. Dan Dukuh Paruk selalu menyambutnya dengan ramah. Kepiting membuat lubang lebih dalam di tepi pematang agar dirinya masih bisa mendapat air tanah. Siput mengunci diri dalam rumah kapurnya, pintunya dilak dengan lendir beku agar tidak setitik uap air pun bisa keluar. Siput dan binatang-binatang lunak sejenisnya akan beristirahat panjang hingga musim penghujan mendatang. Burung-burung air pergi meninggalkan Dukuh Paruk. Tak seekor bluwak pun masih kelihatan di sana. Trinil dan hahayaman sudah lebih dulu lenyap menuju rawa-rawa di muara Sungai Serayu dan Citandui. Kerajaan mereka yang kini menjadi lumpur kering dikuasai oleh puyuh dan branjangan. Burung-burung ini membuat sarang dari rumput kering atau sisa batang padi yang telah renyah termakan terik matahari. Puyuh akan memperdengarkan suaranya yang samar dan berat. Samar, sehingga bagi telinga yang tidak terbiasa takkan bisa membedakan mana suara puyuh dan mana suara desau angin. Sementara puyuh mengeluarkan suaranya dari balik penyamarannya di antara rerumputan kering, maka branjangan beriang-gembira sambil kejer di angkasa. Kelincahannya menantang terik matahari. Kicaunya adalah gabungan suara hampir semua jenis burung. Kadang dia berkicau seperti kutilang, kadang seperti jalak, podang, bahkan cucakrawa. Boleh jadi hanya suara burung gagak yang tidak berhasil ditiru oleh branjangan. Di tanah Dukuh Paruk semua pepohonan mulai mengurangi kerimbunan daun. Beringin di puncak pekuburan melepaskan ribuan daun kuning bila angin berembus. Daun pisang dan keladi muda tumbuh lebih sempit. Rumpun-rumpun bambu meranggas. Alam telah mengajar mereka bahwa untuk mempertahankan hidup mereka harus hemat air selama kemarau. Yang agak menyendiri adalah pohon mangga dan bungur. Keduanya malah mulai berbunga ketika kemarau menjelang. Episode 36 Ketika Dukuh Paruk mulai meranggas itulah suatu pagi Srintil berangkat ke Alaswangkal. Dari Dawuan mereka naik bus tua yang hanya datang ke kota kecamatan itu. Perangkat calung serta gendang tertumpuk di atap kendaraan itu. Para penumpang yang semula terkantuk atau pusing oleh bau asap motor mendadak jadi bersemangat ketika melihat Srintil beserta rombongan naik. Kebanyakan penumpang sudah tahu siapa Srintil. Mulut mereka mulai usil. Ada yang bangkit dari tempat duduk agar dapat lebih jelas melihat Srintil: masih cantikkah dia atau bahkan menjadi lebih cantik lagi. Mereka hanya sekedar ingin melihat karena mereka sadar menggunakan jasa Srintil dalam arti apa pun juga memerlukan banyak uang. Mestilah celoteh cabul itu bisa berkepanjangan apabila Srintil melayaninya. Nyatanya Srintil tidak memberi tanggapan apa pun. Melihat mereka yang bermulut usil pun tidak. Diam dan diam. Apabila Srintil harus menoleh maka hal itu dilakukan demi Nyai Kartareja yang duduk di sampingnya. Ini pun berlangsung dalam gerakan yang bermartabat. Sesuatu telah muncul ke permukaan dalam hubungan antara Srintil dan Nyai Kartareja. Selama enam tahun Srintil menjadi anak asuhan yang patuh sepenuhnya kepada Nyai Kartareja. Kini mulai kelihatan Nyai Kartareja surut ke belakang oleh martabat yang secara pasti mulai dimiliki oleh Srintil. Dua jam dalam kendaraan, kemudian rombongan dari Dukuh Paruk turun di daerah sepi berhutan jati. Seorang laki-laki tua bercawat lancingan tergopoh-gopoh menjumpai Kartareja. "Saya Mertanakim," katanya. "Saya utusan Pak Sentika untuk menjemput sampean semua." "Ah, ya. Terima kasih." jawab Kartareja. "Apakah ada tenaga buat mengangkut bawaan kami?" "Lha, orang-orang ini! Sampean semua tinggal berjalan bersama saya." "Jauh?" "Paling-paling dua jam perjalanan." jawab Mertanakim tanpa perubahan emosi pada wajahnya. Para pembawa barang berjalan di depan. Lama-kelamaan mereka jauh meninggalkan rombongan. Jalan itu sempit, naik-turun dan berlapis batu cadas yang besar dan kasar. Selama perjalanan rombongan tak putus-putusnya berpapasan dengan orang-orang yang mengangkut singkong. Yang laki-laki memikul dan yang perempuan menggendong. Semua mereka adalah orang-orang upahan Pak Sentika, kata Mertanakim. Mereka mengangkuti singkong dari Alaswangkal sampai ke pangkalan di tepi jalan besar. Dari sana singkong akan dibawa ke pabrik tapioka dengan pedati atau truk. Hingga setengah jam perjalanan rombongan belum melihat satu pun rumah penduduk. Jalan yang mereka lalui masih berpagar ladang singkong dan hutan jati. Beberapa kali Srintil minta dituntun karena harus meliwati titian pohon nyiur sebatang. Di suatu tikungan, di bawah sebatang pohon angsana yang besar, Srintil melihat sebuah warung. Meski jauh dari pemukiman penduduk warung kecil itu kelihatan laris. Para pelanggan adalah pemikul-pemikul singkong. Yang dijual di sana tidak lebih dari air asam yang dimaniskan dengan gula merah serta tape singkong. Lagi-lagi singkong. Srintil menghabiskan dua gelas air asam. Keringat terbit di sekujur tubuhnya. Dua orang laki-laki berlomba memberikan tempat duduknya kepada Srintil. "Iya, kalian bangkit semua. Ini tamu-tamu dari Dukuh Paruk," ujar Mertanakim mengusir para pemikul yang semula duduk tenang. Lima laki-laki, semuanya bercawat lancingan, bangkit bersama. Mereka menyingkir lalu bergerombol di dekat pikulan singkong masing-masing. Tetapi mata mereka tetap tertinggal di warung; pada diri Srintil yang sedang memijit-mijit betisnya. Mereka adalah laki-laki gunung dalam arti yang sebenar-benarnya. Di mata mereka Srintil adalah perempuan paling cantik yang pernah mereka lihat. Dan keramaian yang sudah sekian lama mereka nantikan akan terlaksana nanti malam; pentas ronggeng di rumah Sentika. Kegembiraan yang terpendam muncul dalam garis-garis harapan pada wajah mereka. "Apa kira-kira masih jauh lagi, Kang Kartareja?" kata Sakum yang merasa paling sengsara bila melangkahkan kaki pada jalan yang belum dikenalnya. "Memang masih jauh," kata Mertanakim. "Tetapi sampean tak perlu berkecil hati. Majikan kami sudah mempersiapkan sambutan yang istimewa bagi sampean. Semua." Perjalanan diteruskan dan matahari mulai terik. Tetapi udara bertiup sejuk. Nyamannya udara gunung. Mereka berjalan beriringan, Mertanakim menjadi kepala barisan. Bila perjalanan melintasi punggung bukit terpaparlah pemandangan luas ke bawah. Lereng-lereng yang hijau oleh tanaman singkong atau sama sekali merah bila ubi kayu itu telah dicabuti. Jauh di sana hutan jati yang sunyi. Dan di sana-sini kelihatan pohon wangkal yang tegar. Jalan setapak kelihatan mengular melingkar bukit dan hilang-tampak oleh lebatnya pepohonan. Kelengangan suasana pegunungan hanya digoda oleh kicau burung kacer yang bersembunyi dalam kerimbunan perdu di lereng jurang. Satu-dua rumah mulai kelihatan. Beratap ilalang yang kelabu. Kandang-kandang kambing yang terpisah. Atapnya tertutup tanaman rambat, waluh, atau labu. Anak-anak lelaki dan perempuan keluar. Semuanya telanjang. Laki-laki dewasa juga keluar. Semuanya menyandang parang. Dan kelihatan sekali mereka bangga dengan parangnya. Ada juga anak laki-laki, meski masih telanjang tetapi menyandang parang di pinggang. Mereka, baik yang dewasa maupun yang anak-anak, hanya melihat dan membisu. Toh wajah mereka menampilkan kesan kegembiraan. Nanti malam akan ada pertunjukan luar biasa di rumah Sentika. Pentas ronggeng dari Dukuh Paruk. Hampir tengah hari ketika rombongan dari Dukuh Paruk memasuki kampung Alaswangkal. Pemukiman penduduk berupa kelompok-kelompok rumah yang terdiri atas paling banyak lima gubuk ilalang. Setiap kelompok terpisah oleh tegalan yang luas. Srintil mulai dihinggapi perasaan kecil hati. Jauh dari Dukuh Paruk, akankah dia berpentas dalam rumah ilalang yang kecil dan kusam itu? Tetapi perasaan Srintil berubah cepat ketika Mertanakim mengacungkan tangan ke depan. "Kita hampir sampai. Itulah rumah Pak Sentika, majikan kami, majikan semua orang di sini." Episode 37 Rumah yang ditunjuk oleh Mertanakim belum jelas kelihatan. Namun dari jauh sudah tampak pekarangan yang berpagar pohon puring. Di halamannya tumbuh pohon-pohon sawo yang rindang. Ada juga pohon kemuning. Halamannya berlantai batu kerikil yang rata dan teratur rapi. Makin dekat ke sana sosok keseluruhan rumah itu makin nyata. Pintu masuk ke halaman berupa gapura tembok. Memang tidak bagus buatannya tetapi cukup memberi kesan wibawa. Bangunan rumah terdiri atas tiga bubungan bergaya tingasan, beratap genting dengan hiasan ukiran seng. Dindingnya kayu jati yang mengkilap oleh pernis baru. Pekarangannya amat luas dengan rumah-rumah yang lebih sederbana di kiri dan kanan bangunan utama. Dalam rumah-rumah tambahan ini terlihat tumpukan karung-karung gaplek; dagangan utama lainnya milik Sentika. Ketika langkah Srintil sampai di bawah pohon sawo di tengah halaman hatinya berbisik; inilah rumah yang sebenar-benarnya rumah. Rumah yang memberi kesan selaras dengan selera alam, rumah yang tidak menjadi tuan bagi pepohonan dan bebatuan di sekitarnya. Bahkan Srintil melihat dua ekor burung layang-layang keluar masuk ke beranda. Pada dahan yang bercabang, dalam kerimbunan pohon sawo, dilihatnya keluthuk, kandang lebah madu yang terbuat dari batang kelapa dibelah. Pada ujung-ujung pelepah kelapa di samping rumah bergantungan sarang burung manyar. Keluarga unggas yang cerewet. Namun suara riuh mereka tidak menjadi nada sumbang. Suara burung-burung di alam bebas; suara yang hanya patuh kepada aba-aba alam. Sentika muncul di pintu depan bersama istrinya. Wajahnya kelihatan demikian hidup, apalagi dengan geraham yang tidak berhenti mengunyah sirih. Mata Nyai Sentika terpaku pada Srintil yang meski tampak lelah namun daya tariknya tak sedikit pun berkurang. "Saudara-saudaraku dari Dukuh Paruk! Mari, mari. Kami sudah lama menunggu. Dan kami sudah khawatir; jangan-jangan kalian tidak suka datang ke gubuk kami yang terpencil ini." "Wah, kasihan, Jenganten yang cantik ini," ujar Nyai Sentika sambil menyalami Srintil. "Maafkan kami yang telah memaksa sampean berjalan demikian jauh. Aduh, anakku wong ayu, mari masuk." Tujuh orang dari Dukuh Paruk, tak seorang pun bisa menyambut keramahan suami-istri Sentika dengan kata-kata. Kehangatan tuan rumah malah membungkam mulut Kartareja dan teman-temannya. Mereka hanya tersenyum dan tertawa. Dalam senyum mereka tergambar rasa segan, atau rendah diri, setelah melihat kenyataan Sentika sungguh seorang yang kaya. Sentika seperti raja kecil di kampung pegunungan itu. Ketika memasuki rumah Sentika orang-orang Dukuh Paruk berjalan sedikit membungkuk. Kecuali Srintil. Sikapnya sangat biasa. Dia memang seperti yang lain: mengakui bahwa Sentika memiliki kelebihan tertentu. Tetapi Srintil merasa tidak harus menekuk tulang punggung di hadapan laki-laki yang serba dituakan di Alaswangkal itu. Kartareja duduk berhadapan dengan Sentika di meja utama yang berbentuk bundar. Istrinya ditemani Nyai Sentika duduk di atas balai-balai besar di pinggir ruangan. Sakum dan tiga penabuh lainnya mengelilingi meja di sebelah kiri. Srintil tidak mau duduk. Dengan penampilan yang penuh martabat Srintil langsung meminta kamar buat beristirahat. Kartareja kelihatan tidak menyukai tindakan Srintil. Bagi Kartareja bertamu berarti siap menjadi barang. Soal pengaturan menjadi hak tuan rumah. "Eh, lha iya. Anakku, kami sudah menyediakan tempat bagimu. Nyai, bawalah anakmu ini ke sana." Mertanakim tidak bohong. Sentika memang telah menyiapkan sambutan yang hampir berlebihan bagi rombongan ronggeng Dukuh Paruk. Kopi segera keluar bersama dodol, kue lapis, dan ketan. Rokok dibagikan sebungkus tiap orang. Buahnya, pisang ambon dan salak. Bahkan juga kelapa muda. Dan karena hari memang sudah siang maka waktu makan pun tiba. Sekali lagi orang-orang Dukuh Paruk itu merasa terlalu dimanjakan. Nasi dari padi gogo dengan lodeh rebung dan gulai ayam. Sambal terasi dengan cabai merah. Selesai makan siang hanya tinggal Sentika dan Kartareja yang masih duduk di beranda. Sakum dan tiga rekannya boleh memilih sendiri tempat beristirahat. Ada beberapa hal yang harus dibicarakan antara tuan rumah dengan kepala rombongan ronggeng. "Aku akan menyelenggarakan tayub, Kang," kata Sentika mengawaii bicaranya. "Bagaimana pendapat sampean?" "Ah, ya. Sebetulnya ronggeng tak bisa dipisahkan dengan tayuban. Malah tanpa tayuban sebenarnya pentas ronggeng kehilangan daya tariknya. Tetapi beberapa tahun terakhir ini kami dilarang mengadakan acara tayuban. Larangan resmi, Kang." "Tetapi aku sudah bertekad melaksanakannya. Lha iya. Aku jamin tak ada sesuatu kesulitan yang akan sampean hadapi. Lagi pula, Alaswangkal ini sangat jauh dari perkampungan lain. Lurah di sini bisa saya atur. Dan tayuban itu khusus bagi si Waras, anakku yang lelaki satu-satunya itu. Lha iya. Bagaimana, Kang?" "Kalau begitu sampean sudah bisa menebak jawaban saya." "Dan aku sudah mendapat satu peti minuman keras dari tauke-ku di kota." "Wah, bisa semringah permainan nanti malam." "He-he-he, lha iya. Tetapi masih ada satu lagi, Kang. Dan ini yang terpenting; apakah Srintil sudah bersedia menjadi gowok? Aku akan sangat kecewa bila Srintil datang kemari hanya buat meronggeng." Kartareja tersenyum dengan nada kecewa. "Sampean harus memaafkan aku, Kang. Soalnya meskipun sudah sampai kemari, tetapi aku tidak bisa memberi kepastian. Aku persilakan sampean berbicara langsung dengan Srintil. Siapa tahu." "Siapa tahu?" "Ya, Kang. Siapa tahu Srintil mengubah pikirannya setelah sampai di Alaswangkal ini. Siapa tahu malah Srintil sendiri yang ingin menjadi gowok setelah melihat anak laki-laki sampean." Sentika tidak berkata lebih lanjut. Pikirannya buntu. Apabila Srintil menolak menjadi gowok, memang, Sentika sudah menyiapkan seorang perempuan lain. Tetapi perempuan itu dalam segala hal bukan tandingan Srintil. Boleh dikatakan perempuan itu tidak akan memberikan gengsi. Episode 38 Sementara itu di kamarnya Srintil sama sekali tidak beristiraliat. Sejak masuk ke kamar itu pikiran pertama yang muncul di kepala adalah bagaimana dia bisa mengintip anak perjaka tuan rumah. Bagi Srintil, ini perlu sebelum dia memutuskan menerima atau menolak menjadi gowok. Apabila anak Sentika itu rakus dan semena-mena seperti Marsusi, atau bermata keropos seperti Sakum, Srintil pasti akan menolaknya. Masalahnya siapa tahu Waras mirip laki-laki berdasi kupu-kupu itu: Tri Murdo. Atau bila benar kata Sentika bahwa anaknya baru berusia tujuh belas. Yang ini mengesankan. Bila menjalani peran sebagai gowok adalah yang baru bagi Srintil maka melayani laki-laki yang berusia lebih muda adalah hal baru lainnya. Dua hal baru sekaligus. Bagaimana juga Srintil merasa ditantang. Tetapi sampai bosan mengintip lewat jendela Srintil belum juga melihat seseorang yang dipanggil dengan nama Waras. Tadi ketika pergi ke sumur Srintil memperhatikan setiap laki-laki muda yang pantas sebagai anak Sentika. Tidak ada. Yang kelihatan adalah laki-laki pekerja, perempuan-perempuan pekerja, serta perempuan-perempuan bergiwang dan berkalung besar. Yang terakhir ini tentulah anak-anak Sentika sendiri. Toh penantian itu berakhir juga. Nyai Kartareja buru-buru masuk ke kamar Srintil dan mengajaknya lebih dekat ke jendela. "Aku sudah melihatnya," katanya. "Mana dia?" "Sebenar lagi Waras akan terlihat dari jendela ini." "Nyai yakin?" "Tentu. Aku sedang berada di belakang rumah bersama beberapa perempuan ketika seorang anak muda datang dari arah hutan jati. Orang-orang memberi tahu aku bahwa dialah Waras, anak majikan yang sedang dikauli." "Bagaimana dia?" "Lihat sendiri nanti. Aku malah belum melihatnya dengan jelas. Nah, itu. Itu!" Di sana, kira-kira dua puluh meter dari jendela, Srintil melihat seorang anak muda datang diiringi seorang anak kecil. Kesan pertama langsung membuyarkan angan-angan Srintil. Waras bertubuh tipis, jangkung. Dan kelihatan lebih jangkung dengan pakaiannya yang terdiri atas kaus singlet dan celana setinggi lutut. Rambumya dipotong model polka, membuat leher dan kepalanya lebih memanjang ke atas. Pundaknya kurus dan sempit. Tangannya mirip sepasang seruling, kuning pucat dan tanpa otot. Dan rupanya sepasang kaki itu hanya tumbuh memanjang dan memanjang, tidak pernah bertambah besar. Makin dekat, Srintil makin jelas melihat. Bila benar Waras berusia tujuh belas maka wajahnya jauh lebih muda. Belum jelas gambar kelelakiannya. Dan yang hampir tak bisa dimengerti oleh Srintil adalah sesuatu yang kelihatan amat disayang oleh perjaka Alaswangkal ini. Seekor anak burung podang. Di Dukuh Paruk, Srintil biasa melihat anak burung dipelihara oleh manusia. Tetapi manusia kecil sepuluh tahunan, bukan perjaka jangkung seperti Waras. Ketika melihat bagaimana Waras menyuapi burungnya dengan seekor belalang, Srintil lalu berbalik. Diam sesaat sambil menatap Nyai Kartareja. Bibirnya bergerak-gerak dan menyusul ledakan tawanya. "Eh, jangan keras-keras, Jenganten!" Srintil terus tertawa sambil membenamkan wajahnya ke pangkuan Nyai Kartareja. Istri dukun ronggeng ini terpaksa menekan kepala Srintil agar suara tawanya tidak menerobos ke luar jendela. Akhirnya Srintil bangkit. Sambil mengusap matanya dia berkata lirih. "Nyai, sekarang ajari aku bagaimana menjadi gowok. Ajari aku!" "Eh, Jenganten sudah mau menjadi gowok? Tetapi aku tak bisa mengajari sampean. Aku sendiri tak pernah menjadi gowok." "Kira-kira saja." "Nanti dulu, Jengaten. Mengapa baru sekarang sampean menyatakan kesediaan menjadi gowok?" Sekarang bukan hanya Srintil yang tertawa melainkan Nyai Kartareja. Mata mereka basah karena tawa yang berlebihan. Entah mengapa mereka lupa sedang berada di rumah orang. Nyai Kartareja masih berusaha memperpanjang suasana lucu itu dengan berkata, "Dulu ketika sampean menjalani malam bukak-klambu, sampean terkena ruda paksa. Kini tiba saat bagi sampean membuat perhitungan terhadap kaum lelaki!" Senja di Alaswangkal terasa datang lebih cepat. Perbukitan di sebelah barat membuat sinar matahari redup sebelum waktunya. Suara ratusan burung manyar bertambah riuh sebelum surut perlahan-lahan, kemudian senyap. Ayam yang berpuluh ekor jumlahnya mencari tempat tidur masing-masing di atas pepohonan serta bubungan gubuk tempat menyimpan kayu bakar. Kadang terjadi ketibutan di antara mereka karena perebutan tempat yang nyaman. Dengung lebah madu tak terdengar lagi. Ada seekor gagak berteriak-teriak karena diserbu sepasang burung keket. Kemudian lengang. Langit yang menghitam mulai berhiaskan kelap-kelip bintang. Tidak seperti di Dukuh Paruk, langit senja di Alaswangkal penuh dengan kalong yang terbang dalam satu arah menuju daerah perburuan. Mereka akan menyerbu pohon beringin atau pohon salam yang sedang berbuah. Atau yang pasti: kalong-kalong itu akan mencuri nira dari tabung-tabung bambu yang dipasang oleh para penyadap kelapa. Rumah Sentika terang benderang oleh tiga buah lampu pompa. Berandanya yang luas dan berlantai ubin batu telah disiapkan sebagai arena ronggeng. Meja-meja ditata di bagian tepi. Bagian tengah kira-kira dua puluh meter persegi dibiarkan kosong. Tikar pandan yang halus digelar di sana. Penonton yang pertama datang adalah kaum perempuan bersama anak-anak mereka. Sentika sudah sering menggelar pentas ronggeng. Bahkan bisa dikatakan setiap punya hajat orang paling kaya di Alaswangkal itu nanggap ronggeng. Tetapi baru sekali inilah ronggeng yang datang bernama Srintil dari Dukuh Paruk; sebuah nama yang ketenarannya jauh menembus batas wilayah Dawuan. Episode 39 Hari makin gelap dan makin banyak sinar obor dari gerumbul-gerumbul di Alaswangkal yang bergerak menujur rumah Sentika. Mereka datang membawa hati yang meriah. Yang masih anak-anak akan terpuaskan rasa ingin tahunya. Yang laki-laki dengan berahi atau nostalgia mereka. Yang perempuan dengan kebanggaan aneh; mereka akan puas melihat seorang perempuan, Srintil, menunjukkan kekuatan fitrahnya terhadap bangsa laki-laki. Bagi perempuan-perempuan kampung hanya dalam tontonan ronggenglah mereka bisa menyaksikan kaum laki-laki dipermainkan oleh lawan jenisnya. Bukan sebaliknya seperti yang mereka alami sehari-hari. Halaman rumah Sentika sudah dipenuhi penonton. Pandangan ke dalam beranda tidak terhalang apa pun karena dinding depan sudah disingkirkan. Di tengah halaman, pada titik di mana langit tidak terhalang dedaunan, ada pedupaan yang mengepul. Dekat pedupaan tertancap gayung. Meski kemarau jelas sudah datang tetapi Kartareja tidak berani mengambil risiko. Maka dia selalu berupaya mencegah turunnya hujan. Sangat berbeda dengan kcramaian di luar adalah sebuah sudut di dalam rumah Sentika. Di sana Srintil dipertemukan dengan Waras. Sentika yang mempertemukan keduanya setelah mendengar kesediaan Srintil menjadi gowok. Pada mulanya pertemuan itu disaksikan juga oleh hampir semua keluarga besar Sentika. Srintil menerima keramahan yang begitu tulus. Seakan dia sudah benar-benar menjadi anggota keluarga itu. Kemudian tanpa canggung Srintil meminta agar dia di tinggal hanya berdua dengan Waras. Tak seorang pun tersinggung oleh permintaan Srintil itu. Malah sebaliknya. Sentika dan anak-anaknya boleh berbesar hati karena melihat pertanda Srintil ingin lebih akrah dengan Waras. Sudut yang sengaja dipisahkan itu lengang. "Aku akan menyebutmu Kakang, meski aku yang lebih tua," kata Srintil mengawali pembicaraannya. Waras yang kelihatan bingung semenjak ditinggal sendiri kelihatan bertambah bimbang. Tetapi kemudian Waras tersenyum. Senyum seorang anak. Srintil juga tersenyum. "Nah, jadi kau tidak berkeberatan kupanggil Kang, bukan?" "Kok begitu, ya?" "Memang harus begitu." "Lalu aku harus menyebut apa kepadamu?" "Srintil. Namaku Srintil. Itu saja." "Ya. Gampang sekali." "Memang gampang. Dan, Kang, kau senang bertayub, kan?" "Nonton tayuban, begitu?" "Bukan. Kau menari bersamaku." "Aku tidak bisa menari. Tetapi Ayah pandai. Nah, menarilah bersama ayahku. Aku yang menonton. Hore... " "Ah, bukan begitu. Kakang yang harus menari. Gampang sekali, Kang." "Yang bisa menari itu ayahku. Kok aku yang harus menari. Bagaimana?" "Begini, Kang. Kalau kau mau menari, nanti ada upah buatmu." "Upah?" "Ya. Aka akan memberimu upah; nanti, sehabis pertunjukan, kau akan kutemani." "Kautemani? Aku sudah punya teman. Banyak sekali. Mereka membantu mencari belalang untuk makan burungku." "Ah, itu kan teman kecil-kecil. Maksudku, nanti kalau Kakang tidur, aku akan menemanimu." "Kalau begitu di mana Emak tidur? Dipan itu tidak muat untuk tidur bertiga. Eh, tetapi kita bisa menggelar tikar di lantai. Kita tidur bertiga. Aku di tengah. Emak dan kamu di pinggir. Nah, hebat, kan?" Srintil tidak tertawa meski hatinya tergelitik bukan main. Ada malapetaka tertentu yang telah menghimpit hidup Waras. Boleh jadi malapetaka itu berlangsung sejak lama. Srintil dapat melihat dan mcrasakan tapak kaki bencana itu pada postur tubuh dan perilaku Waras. Dia tidak mungkin tertawa. Bahkan dia menelan ludah karena iba. Dipegangnya tangan Waras yang kurus seperti buluh. Rasanya Sruitil sedang memegang tangan seorang anak kecil: lembut tanpa otot. "Tidak, Kang. Nanti malam kita hanya akan tidur berdua. Aku dan Kakang. Aku akan bernyanyi rengeng-rengeng agar tidurmu pulas. Emakmu tidak bisa bernyanyi, bukan?" "Tetapi Emak bisa mengelus-elus." "Aku juga bisa." "Emak bisa mengipas-ipas." "Aku juga bisa. Pintar." "Kamu. Anu, kamu juga mau menemani bila malam hari aku ingin kencing di belakang?" "Ya, tentu." "Bila sebelum tidur aku ingin bermain-main, bagaimana?" "Wah, itu bagus." "Hore! Kalau begitu kamu sangat baik. Aku suka padamu." Waras bangkit memeluk Srintil, mendekapnya dan menciuminya. Sruitil pasrah saja. Atau geli. Tak ada rangsangan berahi. Tetapi dari tempatnya yang terlindung suami-istri Sentika memperhatikan ulah anaknya dengan harapan melambung. Mata keduanya berkaca-kaca karena rasa haru. Apa yang selama ini mereka harapkan sudah terjadi. Waras menciumi perempuan. Waras mendekap seorang ronggeng: sesuatu yang bisa dikatakan sebagai pertanda bahwa Waras mempunyai minat terhadap lawan jenis. Memang baru merupakan pertanda, belum mengenai langsung keadaan Waras yang sebenarnya. Namun bagi Sentika dan istrinya hal itu untuk sementara sudah cukup. Kegembiraan Nyai Sentika meluap. Dipanggilnya anak-anak yang semuanya sudah menjadi istri orang. "He, kemari kamu! Riwed, Darkem, Blokeng, Trombol! Lihat itu adik kalian. Lihat, Waras sedang menciumi ronggeng!" Jam delapan malam Sakum dan teman-temannya siap menghadapi alat musik masing-masing. Oleh pelayanan luar biasa yang diberikan oleh tuan rumah seluruh anggota rombongan ronggeng kelihatan penuh semangat. Srintil sedang berdandan, ditemani oleh Nyai Kartareja. Anak-anak Sentika memperhatikan si Ronggeng dengan penuh kekaguman. Di luar penonton mulai riuh. Teriakan mulai terdengar agar mereka yang di depan mengambil posisi jongkok atau duduk. Anak kecil dan kaum perempuan berdesakan. Episode 40 Sentika tampil ke bagian tengah beranda yang kosong. Kepada para penonton Sentika menyatakan hajatnya. Mereka diminta menjadi saksi bahwa pada malam itu, dengan tontonan ronggeng, maka kaul Sentika sudah tunai. Kaul demi anak lelaki satu-satunya yang kini duduk di kursi dengan wajah gembira dan saku baju menggembung penuh uang. Waras kelihatan sangat ceria, keceriaan sehari-hari yang diperlihatkan oleh Waras bila dia sedang bermain-main dengan anak burung kepodangnya. Kegembiraan penonton tercetus ketika tangan-tangan terlatih mulai menggarap irama calung dalam lagu Sekar Gadung. Sakum yang kelihatan berada dalam kondisi terbaiknya langsung menjadi titik perhatian semua penonton. Matanya yang keropos, tangannya yang cekatan dan senggakannya yang kocak dan konyol. Penonton bertepuk riuh. Sebungkus rokok terbang ke arah para penabuh datang dari arah kepadatan orang. Bungkus pertama disusul oleh yang lain dan beberapa di antaranya melayang dari gerombolan penonton perempuan. Namun semua orang diam ketika Srintil muncul penonton berdesakan kemudian tenang penuh penantian. Di sana Srintil berdiri anggun. Pribadi dan sosoknya yang sedang berada dalam puncak kemekaran segera menyita perhatian semua orang. Buat sementara saat lamanya Srintil tetap berdiri di tempatnya. Kedua sudut bibirnya sedikit tertarik ke dalam, matanya memancarkan cahaya bening embun pagi. Keseluruhan wajahnya adalah citra wibawa dan pesona yang muncul bersamaan. Dalam waktu yang sekejap itu Srintil telah berhasil membuktikan kepada khalayak bahwa yang empunya malam pertunjukan bukan Sentika, bukan pula Waras anaknya, melainkan Srintil pribadi tanpa seorang pun bisa menggugatnya. Kemudian Srintil melangkah maju dan duduk dengan anggun di hadapan para penabuh yang sejak tadi terus mengalunkan Sekar Gadung. Srintil mengangkat muka, seakan sedang meyakinkan kepada penonton akan kecantikan wajahnya. Lalu suaranya yang bening masuk, mengalir, dan menjadi irama calung. Sedetik kemudian pecah tepuk tangan ratusan penonton di halaman rumah Sentika. Kegembiraan yang mencekam jiwa semua orang pun mulai. Ketika memutuskan menerima menjadi gowok bagi Waras maka timbul kesadaran baru di hati Srintil. Bahwa dirinya adalah perempuan dalam falsafah yang amat dalam. Perempuan yang harus mampu berperan banyak di hadapan seorang laki-laki muda yang nyaris tersingkir dari identitas kelelakiannya, seorang perjaka yang tumbuh dalam malapetaka kejiwaan. Kesadaran yang tulus dari naluri seorang ronggeng sejati. Dan kesadaran itu muncul amat besar sebagai warna suatu gerak tari yang hanya bisa dibaca oleh jiwa yang peka terhadap gelombang batin. Ada ratusan pasang mata menonton Srintil meronggeng. Orang-orang terpenting desa Alaswangkal ada di sekitar arena, tak terkecuali lurahnya. Tetapi Srintil merasa sedang menari di hadapan satu orang: seorang anak muda yang mengharuskan Srintil merasa sebagai ibunya, kadang adiknya, dan kadang teman sepermainannya. Suatu masa warna suara Stintil begitu lembut dan dalam penampilan wajah teduh sebagai gambaran seorang ibu yang sedang mendekap dan mengelus anaknya. Kadang suara Srintil penuh semangat, geraknya cekatan, seperti seorang ibu yang sedang mengajari anaknya berjalan. Dan kadang Srintil melirik dan tersenyum kepada Waras, gerakannya menantang seakan Srintil sedang menggugah naluri kelelakian perjaka Alaswangkal itu. Dalam keterbelakangannya Waras bisa merasakan sentuhan yang membangkitkan semangat. Dari tempat duduknya di tepi arena kelihatan wajah Waras berseri-seri. Matanya bercahaya. Tetapi ketika Stintil menari dan mendekat sambil mencondongkan wajah, Waras tidak berbuat sesuatu yang sangat diharapkan oleh penonton, terutama ayah dan ibunya. Waras tidak mencium Srintil melainkan hanya meletakkan kedua telapak tangan masing-masing di pipi kiri dan kanan ronggeng itu. Toh adegan yang kurang memuaskan itu tak luput dari kepekaan naluri Sakum yang buta. Tepat ketika tangan Waras menempel di pipi Srintil mulut Sakum meruncing: "ciusssss". Dan penonton pun bersorak-sorai. Waras bertepuk tangan berjingkrak seperti anak kambing selesai menguras tetek induknya. Babak demi babak terus berlanjut. Alaswangkal yang biasa sepi tersembunyi di belakang hutan jati dan ladang singkong jadi semarak oleh irama calung. Dan sorak-sorai warganya yang malam ini berkumpul di halaman rumah Sentika menonton Srintil berjoget. Tuan rumah sudah menyuruh orang-orangnya mengeluarkan guci-guci berisi ciu. Setcngah jam kemudian mulai terdengar suara-suara yang tidak terkendali. Beberapa peminum mulai mabuk. Lurah Alaswangkal kelihatan gelisah karena syarafnya mulai dikacau oleh ciu. Kemudian laki-laki yang sudah kempot pipi itu bangkit, terhuyung-huyung melangkah ke tengah arena. Dengan mengangkangkan kaki dan membuka kedua tangannya lebar-lebar lurah Alaswungkal mulai bertandak, mengajak Srintil bertayub. Dari mulutnya terdengar tembang yang kacau. Tetapi wajahnya merah terbakar oleh berahi dan minuman keras. Mula-mula Srintil mengira kedatangan lurah Alaswangkal akan membuat Waras kecewa. Ternyata dugaannya jauh meleset. Waras malah bertepuk tangan memberi semangat kepada lurahnya. Dia berteriak-teriak kegirangan ketika melihat Pak Lurah memasukkan tangan ke dada Srintil buat menaruh uang dan beraksi di sana. Dan pada akhirnya Waras bangkit. Dengan genggaman tangan penuh uang Waras meniru lurahnya. Pada saat yang tak pernah luput mulut Sakum meruncing; "cesssss". Kemeriahan di rumah Sentika usai sesudah ayam jantan berkokok. Selama tujuh jam Srintil berjoget dan bertembang. Selama itu Srintil melayani sekian banyak laki-laki yang membawanya bertayub dan sekian banyak laki-laki baru puas bila Srintil duduk di atas pangkuannya. Dua-tiga kali Srintil harus masuk ke kamar buat memperbaiki busananya terutama di bagian dada. Sebanyak itu pula dia harus kembali mengoles bedak di pipi karena pada bagian yang jernih itu paling sering bersentuhan dengan kulit lelaki. Ketika sinar matahari mulai menyentuh punggung-punggung bukit di Alaswangkal dan mengusir halimun dari sana, Srintil masih lelap di kamarnya di rumah Sentika. Sementara rumah saudagar singkong itu sudah ramai oleh pembantu laki-laki dan perempuan yang banyak jumlahnya. Anak-anak Sentika masih di sana menikmati suasana baru karena di rumah orang tua mereka tinggal seorang ronggeng. Bukan sembarang tinggal. Mulai hari ini Srimil menjadi gowok. Bagaimana sikap Waras terhadap gowoknya itulah yang menjadi daya tarik saudara-saudaranya. Episode 41 Waras bangun seperti biasa, tepat ketika anak burung piaraannya mulai mencecet. Tetapi kali ini Waras tidak berminat melayani anak burung podang itu. Turun dari tempat tidur Waras mencari emaknya yang sudah sibuk mengatur urusan dapur. "Di mana dia, Mak?" "Dia siapa?" "Yang tadi malam menari. Yang tadi malam kumasuki uang ke dadanya. Di mana dia? Dia tidak pulang, kan?" Nyai Sentika menjatuhkan pundaknya. Ada rasa lega menyapu hatinya. Lega. Perempuan itu yakin anak lelaki satu-satunya itu benar-benar lelaki. Waras memang waras, buktinya dia menanyakan Srintil. Mata Nyai Sentika berkaca-kaca. "Dia masih tidur, Nak. Kau senang pada Srintil, Nak?" "Senang. Dia cantik ya, Mak?" "Kau mengerti orang cantik?" "Ya. Karena matanya tidak seperti matamu. Kulitnya halus dan mulutnya merah seperti mulut anak burung podang. Jadi dia cantik ya, Mak?" "Ya." "Aku akan membangunkannya. Akan kuajak dia bermain-main." "Eh, jangan. Tunggu sampai dia bangun." Waras kelihatan kecewa. Merengut dia. "Lebih baik kau pergi mandi sekarang. Srintil tidak akan mau bermain dengan siapa pun yang belum mandi dan berpakaian rapi." "Begitu, Mak?" "Memang begitu. Nah, ayolah ke sumur." Waras berlari melompat-lompat. Orang-orang mengikutinya dengan pandangan mata dan senyum. Ada kelucuan yang tragis. Dan hanya Nyai Sentika yang menyimpan harapan besar di balik senyumnya yang samar dan tertahan. Jam delapan pagi ketika Srintil membuka mata didapatinya seorang perempuan duduk tenang di dekatnya. Nyai Sentika. Tanpa kikuk sedikit pun Srintil bangkit lalu membenahi pakaiannya yang poranda. Rambutnya yang terurai, disanggul sekenanya. Segala gerak-gerik itu berada langsung di bawah tatapan mata Nyai Sentika yang tak kunjung puas mengagumi kesegaran tubuh ronggeng Dukuh Paruk itu. "Ah, sudah bangun, Jenganten?" "Ya, Nyai. Sudah siang?" "Belum begitu. Jam delapan kira-kira. Ah, ya. Nyai Kartareja bersama rombongannya sudah berangkat pulang. Semuanya sudah beres." Srintil hanya tersenyum ringan. Nyai Sentika tersenyum puas. Ada masalah yang hendak disampaikan oleh Nyai Sentika kepada Srintil. Bahwa dia dan suaminya hendak segera meninggalkan rumah. Sentika sungguh-sungguh pergi ke kota untuk beherapa hari lamanya. Nyai Sentika hendak menyingkir, bersembunyi di salah satu rumah tetangga. Dan semua anak-anak Sentika siang ini akan pulang ke rumah masing-masing. "Seharusnya kami menyediakan sebuah rumah khusus untuk sampean dan Waras. Tetapi rasanya lebih baik kami mengalah buat sementara demi anakku si Waras. Untuk tidur pilihlah kamar mana yang kalian suka, selain kamar pribadi kami tentu saja. Dan dengan ini saya serahkan anak saya kepada sampean. Ah, dia memang demikian keadaannya. Sesungguhnya saya merasa malu. Tetapi, sudahlah. Pokoknya saya percayakan kepada sampean." "Nah! Dia sudah bangun!" ujar Waras yang tiba-tiba muncul di pintu kamar. Bajunya baru dan sakunya penuh uang. Sepasang kaki yang panjang dan lurus muncul di bawah celana hitam sepanjang lutut. "Apa katanya, Mak? Dia mau bermain-main bersamaku, bukan?" "Tentu saja, Kang," jawab Srintil mendahului Nyai Sentika. "Nanti kita bermain-main sepuas hati. Tetapi sekarang aku mau mandi dulu. Kakang menunggu di sini." "Jangan lama-lama." "Ya." "Nanti kamu berdandan seperti tadi malam." "Ya." Tetapi Waras tidak mau menunggu. Dia mengikuti Srintil ke sumur dengan langkah-langkah gembira. Sumur itu berada di lembah di belakang rumah Sentika. Waras sendiri yang menimba dan mengisi jolang. Bak mandi yang terbuat dari kayu itu segera luber. "Nah, mandilah. Saya di sini." "Kakang di situ?" "Ya." "Jangan. Kakang pergi dulu." "Tidak. Soalnya saya juga selalu di sini bila emak mandi." "Begitu?" "Ya. He! Tadi malam aku menaruh uang di dadamu. Coba lihat, masih ada?" "Sudah saya simpan, Kang. Sekarang tidak lagi di sini." "Betul? Nah, tapi aku ingin lihat." "Jangan, Kang, jangan." "Kamu sudah berkata, kita berteman. Kamu mau menipu, ya." "Tentu saja tidak, Kang." "Lalu mengapa aku tak boleh melihat dadamu?" Srintil hampir gagal menahan tawanya. Sambil berjongkok menghadap Waras dibukalah pinjungnya. Dadanya terbuka penuh. "Nah, tak ada uang, bukan?" "Ya. Aku percaya sekarang. Tetapi tetek emakku gepeng, mengapa punyamu tidak?" Sekali ini Srintil tidak bisa menemukan jawaban. Maka diciduknya air dengan tangannya lalu dicipratkannya ke arah Waras. Perjaka Alaswangkal itu berteriak girang. Tak ada pengertian lain baginya kecuali bahwa permainan yang menyenangkan sudah dimulai. Waras kembali menimba air untuk langsung menyiram tubuh Srintil. Permainan berubah menjadi hiruk-pikuk. Dan di tempat-tempat yang tersembunyi beberapa pasang mata mengawasi segalanya. Ada yang tersenyum karena merasa geli. Tetapi kebanyakan orang tersenyum karena rasa kasihan. Episode 42 Hari ini rumah Sentika menjadi belantara dalam dongeng. Sepasang anak binatang bermain, bersuka-ria dalam keceriaan yang hanya bisa dimiliki oleh anak rusa atau anak kucing. Srintil yang mengambil semua prakarsa. Mula-mula dia mengajak Waras bermain penganten-pengantenan. Srintil berdandan. Cantiknya bukan main-main. Waras diberi blangkon ayahnya. Mereka duduk bersanding. "Dalam dongeng, Kakang adalah suamiku. Aku istrimu," kata Srintil, "Nah, karena aku sudah menjadi istrimu, maka aku minta uang buat berbelanja." Dan seterusnya. Kali lain Srintil meminta Waras membelah kayu bakar buat memasak. Waras bekerja di samping rumah dengan semangat yang tidak bisa dikatakan sebagai main-main. Keringatnya membasahi badan. Telapak tangannya lecet oleh gagang kapak. Tetapi hasilnya hanya berupa serpihan-serpihan kayu dalam jumlah yang memalukan. Sementara itu Srintil keluar ke belakang rumah membawa bakul kecil. Dipetiknya pucuk singkong dan daun kecipir. Siapa mengira perempuan yang kelihatan tahu betul tentang urusan dapur itu adalah seorang ronggeng. Semua orang dusun tahu seni memetik sayur-mayur dan seni membawa bakul. Srintil melakukan kedua-duanya dengan jitu, kewes, dan pantes. Keluwesan seorang istri sejati yang hanya mungkin tampil karena Srintil menghayati sepenuhnya peran sebagai gowok. Atau lebih dari itu. Kesadarannya untuk mewakili dunia perempuan menumbuhkan rasa tanggung jawab ketika menghadapi seseorang yang mempunyai masalah kelelakian. Tanggungjawab itu secara naluri berlanjut menjadi kesadaran yang muncul dalam citra yang sempurna. Lihat, betapa luwes gaya Srintil memetik daun singkong muda. Pohon itu hampir tak tergerak. Betapa cantik gaya Srintil membawa bakul. Keterpaduan antara keluwesan bentuk tangan dan liku-liku pinggul. Amat pas dan menawan, lentur dan indah. Hampir tengah hari permainan masak-masakan sudah selesai. Srintil memanggil Waras yang masih giat membelah kayu di samping rumah. Nasi dengan lauk tempe goreng, sambal, dan lalaban sudah ditata di meja makan. Srintil tidak lupa menyediakan sejumput tembakau yang diambilnya dari lemari. Waras masuk. Wajahnya mengkilat oleh keringat. Tangannya kotor. Srintil mengambil air dari tempayan dengan gayung. Waras dimintanya mencuci tangan. "Habis penganten-pengantenan lalu masak-masakan. Nanti apa lagi?" tanya Waras. Mulutnya penuh nasi. Srintil berpikir sejenak. Suara anak burung podang mencecet di kurungan. "Nanti tinggal bermain tidur-tiduran. Kakang lelah karena habis bekerja membelah kayu. Aku pun lelah karena bekerja di dapur. Jadi kita tinggal tidur. Senang ya, Kang?" "Ya. Tetapi nanti dulu. Aku harus mencari belalang buat burungku." "Jangan, Kang. Kakang jangan ke mana-mana. Aku sudah ingin tidur. Aku ingin tidur bersamamu." Waras hanya sejenak mengangkat wajah. Kemudian kembali menyuap nasi. "Jadi kamu suka bermain tidur-tiduran? Itu kesukaanmu, ya?" Srintil menjawab dengan tarikan ujung bibir yang dipadu dengan pandangan mata redup. Suatu pancaran sugesti yang terarah langsung kepada sisi paling primitif pada diri seorang lelaki. Pancaran yang selayaknya bisa menggetarkan syaraf, mengusik jantung agar berdenyut lebih kuat dan lebih cepat. Apalagi yang mengirimkan rangsangan itu adalah Srintil; duta dunia perempuan yang secara naluriah sadar betul akan fungsi keberadaannya. Tetapi Waras hanya tertegun sesaat. Karena setidaknya secara samar dia bisa membaca. Bahwa senyum Srintil tidak sama dengan senyum emaknya. Bahwa pandangan mata Srintil terasakan aneh; terasa menggoyang halus naluri dasar yang selama ini tak pernah disadari oleh Waras. Dalam keterbatasannya Waras melihat ada sesuatu pada sinar mata Srintil. "Aku pernah menangkap burung perkutut di malam hari," kata Waras tiba-tiba. "Pakai obor." "Burung?" "Kamu belum pernah melihat burung perkutut tidur? Burung itu tidur berdua-dua, berdempetan." "Mungkin begitu." "Siang hari kadang-kadang mereka bergendongan. Kawin. Aku sering melihatnya. Temanku pernah menangkap sepasang burung jalak yang kawin dan nguwil dari atas pohon dan jatuh ke tanah. Jadi burung-burung suka kawin, ya?" "Mungkin begitu." "Kambing juga suka kawin. Ayam juga suka kawin. Nah, kamu pernah melihat monyet kawin?" "Belum pernah." "Wah, hebat. Aku senang sekali melihatnya." Waras terus bercerita tentang kekawinan binatang-binatang yang pernah dilihatnya. Lancar, tanpa emosi apa pun. Srintil mendengarkannya dengan penuh minat, dengan penuh penantian. Bahwa pada gilirannya Waras akan bercerita juga tentang kekawinan yang lain. Tetapi cerita demikian tak kunjung keluar dari mulut anak perjaka Sentika itu. Waras merasa bercerita tentang aspek kehidupan yang baginya tak mungkin terjadi pada manusia, tentang dunia yang hampa dari keberadaannya. Tetapi Srintil berhasil membawa Waras masuk ke kamar, mengajaknya bermain tidur-tiduran. Konsep tentang tidur bagi Waras terlalu sederhana. Yakin merebahkan diri di samping emak, miring-meringkuk. Tangan kanan bersembunyi di pangkal ketiak emak dan tangan kiri bermain kain kutangnya. Atau memijit-mijit puting teteknya. Dan demikian jugalah yang dilakukannya terhadap Srintil. Mula-mula Srintil merasa yang biasa terjadi, terjadilah. Dia menunggu dalam kesadaran seorang ronggeng yang sebenarnya, dengan kerelaan yang hampir mutlak, tanpa sedikit pun menyelipkan kepentingan pribadi di sana. Tetapi penantian itu tawar bahkan kosong. Waras hanya berhenti pada bermain kain kutangnya sambil merengek pelan seperti bayi. Makin lama geraknya makin lemah. Matanya tertutup kemudian terdengar dengkurnya yang teratur dan panjang. Waras lelap dalam mimpi seorang bocah. Episode 43 Srintil bangkit. Gerakannya lembut agar Waras tidak terjaga. Kemudian dipandanginya perjaka itu. Srintil merasa yakin ada sesuatu yang harus dikutuk; sesuatu yang telah membuat Waras tinggal antara ada dan tiada dalam dunianya. Bahkan Srintil takkan mau mengerti meskipun sesuatu ini misalnya bernama kersane sing akarya jagat, kehendak Sang Mahasutradara. Karena dalam kesadarannya sebagai ronggeng Srintil merasa menjadi malam yang harus berpasangan dengan siang. Atau sejuknya air yang harus menjadi penawar panasnya api. Srintil adalah keperempuanan. Maka dia merasa amat dirugikan ketika menghadapi tiadanya kelelakian. Segala sesuatu di dunia ini ada berpasang-pasangan, demikian pengetahuan dasar Srintil. Pengetahuan yang telah mengakar menjadi keyakinan yang sulit tergeser. Maka selama yakin dirinya perempuan, dia yakin pula bahwa Waras adalah laki-laki dengan kelelakiannya. Menjadi gowok ialah menjadi seniman pemangku naluri kelelakian. Dan menemukannya kembali bila kelelakian itu hilang. Srintil tidak lupa untuk itulah dia didatangkan ke Alaswangkal. Tetapi lebih dari itu, tanpa mendapat sebutan gowok pun Srintil akan melakukannya dengan kesadaran milik pribadi yang tak bisa diperbandingkan dengan perempuan mana pun, tidak juga dengan Nyai Sentika, perempuan yang telah melahirkan Waras. Maka malam hari ketika riuh burung manyar yang bersarang pada pohon nyiur telah lama sepi. Dan kegaduhannya digantikan oleh kalong-kalong yang berebut buah salam. Dan di sana bulan menyembul di atas punggung bukit, permainan tidur-tiduran diulang. Srintil berperan lebih berani; menggiring dan menuntun hingga sampai ke titik yang tak mungkin berlanjut. Yakni ketika Srintil meminta Waras memperagakan pengetahuannya tentang sepasang monyet dengan diri mereka berdua sebagai pelaku. Waras kelihatan demikian bingung kemudian menampik. "Itu kan monyet. Kita tak boleh melakukannya. Saru. Kata emak, itu saru dan sembrono. Ora ilok. Dan aku tidak pernah melihat orang berbuat seperti monyet itu. Apa kamu pernah melihatnya?" Dengan pertimbangan yang dalam Srintil menjawab dengan anggukan kepala. Waras terpesona. Dipandangnya Srintil dengan tatapan mata penuh rasa heran, sungguh-sungguh heran. Melalui anggukan kepala itu sesungguhnya Srintil sedang melakukan upaya kali terakhir. Penjajagan. Tetapi yang terbaca dari wajah Waras adalah sikap memustahilkan hubungan ragawi antara dua manusia lelaki dan perempuan, apa pun namanya. Srintil harus mendan ludah berkali-kaii karena harus meyakini keadaan Waras: dia benar-benar hilang dari dunia kelelakian dan Srintil pasti tak sanggup lagi menemukannya kembali. Srintil menyerah dalam kekecewaan yang amat sangat. Bukan karena tak terpenuhinya kebutuhan pribadi, melainkan karena kenyataan bahwa pada suatu ketika keperempuanannya sama sekali tidak berarti, hal mana belum pernah sekali pun terbayangkan. Malam itu Srintil hanya menyediakan diri sebagai perbandingan oleh Waras. Teteknya penuh, tidak gepeng seperti tetek Nyai Sentika. Pipinya kencang, lengannya padat, dan tubuhnya lebih hangat. Mulutnya seperti bayi, harum. Malam itu Waras tidur lebih awal dan lebih lelap. Tidak sekali pun dia bertanya mengapa mereka hanya tinggal berdua dalam rumah yang besar itu. Dia lupa akan emaknya dengan siapa selama ini dia bergantung. Tiga malam berikutnya adalah pengulangan malam yang pertama. Tetapi Srintil merasa ada sesuatu di luar kamarnya. Dia mencium bau sirih. Dalam kelengangan yang hampir sempuma itu Srintil juga mendengar suara tarikan napas di luar kamar. Dan Srintil sadar, sesuatu harus diperbuatnya. Maka kakinya membuat gerakan-gerakan teratur sehingga menimbulkan suara tertentu. Kemudian dipijitnya hidung Waras yang sedang lelap. Waras melenguh dan Srintil mengeluh secara profesional. Andaikata Srintil tahu bahwa dua orang yang berada di luar kamar saling berpegangan dengan kepuasan hati yang luar biasa. Andaikan Srintil tahu bahwa kemudian Nyai Sentika dan suaminya berjingkat pergi dengan keyakinan penuh bahwa Waras adalah lelaki yang tidak kurang secuil pun. Dan andaikan Srintil mengerti bahwa gerakan-gerakan kakinya telah membuat orang-orang tua semacam Sentika dan istrinya terkenang akan semangat masa muda, lalu mereka mencari tempat yang baik buat bernostalgia. Pada hari keempat semuanya selesai. Pagi-pagi sekali Srintil minta diri kepada suami-istri Sentika. Waras tidak tahu karena dia belum bangun. Terjadilah perpisahan yang penuh emosi. Nyai Sentika, bahkan juga anak-anaknya yang perempuan menangis. Srintil ikut menangis. Nyai Sentika memeluk dan mengelus Srintil dengan rasa sayang melebihi rasa terhadap anak kandungnya. Bersama kabut tipis yang mulai lenyap oleh cahaya matahari Srintil berjalan menuruni bukit, meninggalkan Alaswangkal. Di belakangnya berjalan Mertanakim yang disuruh majikannya mengawal Srintil sampai ke Dukuh Paruk. Sebuah sapu tangan dalam genggaman Srintil penuh uang. Tetapi hanya Srintil pribadi yang tahu bahwa uang yang banyak itu tidak bisa mengusir rasa perih dalam hatinya. Perih karena sesungguhnya Srintil pulang membawa kegagalan yang tidak kepalang. Waras tidak mungkin dilupakannya sepanjang masa; simpati bagi seorang manusia dalam kemalangan abadi. Atau, haruskah Srintil tahu bahwa Waras menangis sejadi-jadinya, melolong, dan berguling-guling ketika dia tahu bahwa Srintil telah meninggalkannya, kembali ke dunia yang kecil terpencil; Dukuh Paruk? Tidak seorang pun di Dukuh Paruk mempunyai kalender. Bila pun ada tak seorang pun di sana bisa membaca bahwa waktu telah berjalan sampai pada tahun 1964. Dukuh Paruk tetap tegak dan makin gagah dengan ronggeng cantik berusia delapan belas tahun. Dukuh Paruk meraih masa ketenaran yang belum pernah terjadi sebelumnya. Bila rombongan ronggeng Dukuh Paruk naik pentas bukan lagi puluhan melainkan ratusan orang yang berkerumun menontonnya. Boleh jadi musik calung dengan tembang Banyumasan adalah hal yang sudah terlalu biasa bagi mereka. Tetapi tentang diri Srintil masalahnya menjadi terlalu istimewa. Dia adalah kesegaran dan gairah hidup. Memandangnya, bahkan hanya sekedar mengenangnya, menjadikan orang sejenak terlepas dari perkara keseharian, suatu hal yang diakui atau tidak menjadi kebutuhan setiap orang. Dan bagi tiap lelaki Srintil adalah angan-angan, kupu yang melambung dan membuat banyak lelaki ingin menangkapnya. Episode 44 Tidak sedikit rumah tangga yang kisruh karena suami benar-benar berusaha memiliki Srintil dan mengambilnya sebagai istri. Banyak anak muda yang memaksa menjual tanah karena ingin tampil pantas dan berkelayakan menggandeng Srintil. Dan semuanya tidak peduli apakah Srintil sungguh-sungguh cantik atau hanya kelihatan cantik berkat susuk yang tersembunyi di balik alis, bibir, atau pinggulnya. Tetapi di Dukuh Paruk sungguh tidak ada masalah kerumahtanggaan. Tak ada seorang istri pun yang merasa rugi oleh kecantikan Srintil. Boleh jadi karena semua orang di sana masih terikat dalam pertalian darah. Atau karena terikat dalam tatanan nilai yang tersendiri. Sudah biasa di sana seorang istri yang sedang hamil tua atau baru melahirkan menyuruh suaminya meminta jasa kepada Srintil. Nasihat dukun bayi kepada para suami juga bernada sama. "Awas, jangan dulu menjamah istrimu sebelum seratus hari. Mintalah kepada Srintil bila tak bisa menahan diri." Atas kesadaran primordial biasanya Srintil rela memberikan jasa. Namun dalam perkembangannya tak ada lelaki Dukuh Paruk yang memiliki cukup keberanian untuk mendekati Srintil. Bukan hanya karena Srintil sudah demikian kaya menurut ukuran Dukuh Paruk. Atau karena penampilan lahirnya yang sudah jauh berbeda dengan rata-rata orang di pedukuhan itu. Tetapi terutama karena kepribadian Srintil yang bermartabat. Srintil tidak sama dengan ronggeng-ronggeng sebelumnya yang menjadikan uang satu-satunya nilai tukar. Semua orang sudah mencatat bahwa Srintil hanya akan melayani laki-laki yang dia sukai. Atau catatan lain yang istimewa; Srintil senang menerima lelaki yang beristri cantik. Entahlah. Dan apabila laki-laki itu termasuk ke dalam jenisnya yang tidak suka berpetualang maka Srintil yang mengambil prakarsa. Srintil mulai menggodanya. Pada tahun 1964 itu Dukuh Paruk tetap cabul, sakit, dan bodoh. Perubahan kecil hanya menyangkut Srintil, Sakarya, dan Kartareja. Rumah mereka berkapur bahkan berjendela kaca. Kartareja bisa mempunyai lampu pompa. Demikian juga Sakarya. Selebihnya adalah Dukuh Paruk yang sudah dikenal orang dari generasi ke generasi. Bahkan pada tahun-tahun itu Dukuh Paruk semakin kusam. Pedukuhan yang kecil itu mustahil menghindar dari keruntuhan sistem ekonomi yang sudah lama menggejala secara umum di seluruh negeri. Atau bila Dukuh Paruk tidak mampu mengerti tentang keadaan ekonomi nasional maka setidaknya dia merasa bahwa alamlah yang menguji mereka. Pelepah pisang dan nyiur runduk, dedaunan luruh dan rumpun-rumpun bambu meranggas. Sawah amat luas yang mengelilingi Dukuh Paruk kering dan gersang. Semuanya terjadi karena kemarau yang menjerang lama melebihi biasanya. Sekali turun hujan maka sawah menghijau oleh tanaman padi. Orang Dukuh Paruk ikut berharap dapat panen, buruh menuai padi. Tetapi berbagai hama datang lebih dulu. Tikus atau walang sangit. Bahkan celeng yang entah datang dari mana ikut merusak harapan orang-orang Dukuh Paruk. Hanya karena pedukuhan itu bernama Dukuh Paruk maka penghuninya mampu memperlambat datangnya busung lapar. Orang-orang di sana pintar mengolah iles-iles, ubi gadung, atau keladi-keladi gatal seperti senthe urang dan lompong bandung. Bahan-bahan itu diolah dengan cara-cara khusus sehingga mereka tidak mabuk oleh racun iles-iles atau ubi gadung. Lidah mereka tidak menjadi kelu oleh gatalnya keladi-keladi liar. Anehnya orang-orang Dukuh Paruk enggan ikut mengganyang daging tikus. Padahal pada masa itu soal makan daging tikus ramai dipropagandakan orang. Tidak jarang para penganjur berdemonstrasi memakan sate daging tikus di tengah rapat-rapat umum. Ketika kesulitan pangan menimpa kebanyakan orang maka pentas ronggeng jarang terdengar. Bagaimana juga orang mengutamakan nasi daripada ronggeng dan calung. Kadang Srintil tetap tinggal di rumah hingga berbulan lamanya, menunggu masa panen yang baik tiba. Menunggu saat orang yang hendak mengawinkan atau menyunatkan anak memiliki cukup uang buat biaya berhajat. Pada saat seperti itu Srintil harus melewati masa yang membosankan. Tetapi pada tahun 1964 itu, ketika paceklik merajalela di mana-mana, ronggeng Dukuh Paruk malah sering naik pentas. Bukan di tempat-tempat orang berhajat melainkan di tengah rapat umum baik siang atau malam hari. Karena sering berada di tengah rapat itu maka rombongan ronggeng Dukuh Paruk mengenal Pak Bakar; orang yang selalu berpidato berapi-api. Pak Bakar dari Dawuan yang amat pandai berbicara, sudah beruban tetapi semangatnya luar biasa. Di mata Srintil, Bakar adalah secrang ayah yang sangat layak. Ramah, dan kelihatannya paham akan banyak hal termasuk perasaan pribadi Srintil. Kebapakannya tidak hanya dibuktikan dengan bayaran tinggi yang selalu diberikannya kepada Srintil tetapi juga dengan sikapnya yang dingin terhadap tujuan-tujuan erotik. Bakar juga memberikan hadiah kepada Srintil beserta rombongannya berupa seperangkat alat pengeras suara; perkakas elektronik pertama yang masuk dan sangat dibanggakan oleh orang Dukuh Paruk. Dukuh Paruk yang bersahaja serta-merta menerima Bakar sebagai orang bijak yang bisa memimpin dan melindunginya. Bila datang ke sana ahli pidato itu mendapat penghormatan sebagai seorang kamitua laiknya. Kata-katanya dituruti, pengaturannya dijalankan. Satu-satunya jalan yang menjadi pintu masuk ke Dukuh Paruk kini berhias lambang partai. Orang-orang merasa bangga karena itulah pengaturan Bakar. Di depan rumah Kartareja juga dipasang sebuah papan. Tak ada orang Dukuh Paruk yang bisa membaca tulisan dalam papan itu. Namun setidaknya mereka tahu tulisan di sana bersangkutan dengan kesenian renggeng. Kartareja sebagai ketua rombongan ronggeng Dukuh Paruk harus memasang papan itu di depan rumahnya. Itu pun pengaturan Bakar. Semua patuh, kecuali Sakarya. Dan suatu ketika Sakarya mempertanyakan hal itu kepada Kartareja. "Sampean masih ingat ketika kita pentas pada malam Agustusan setahun yang lalu?" "Ya, tentu. Mengapa" "Waktu itu kita disebut sebagai kelompok seniman rakyat. Padahal kita tidak pernah mengumumkan nama apa pun. Kemudian ada satu kejadian, aku dilarang membakar kemenyan dan memasang sesaji. Yang menyebut kita seniman rakyat dan melarangku memasang sesaji dialah orangnya. Pak Bakar. Saya tahu pasti. Kini orang itu malah sering datang kemari. Bagaimana, ya?" "Menurut sampean bagaimana, Kang?" Episode 45 "Itulah. Yang jelas hal semacam ini baru sekarang kita alami. Sejak dulu ronggeng ya ronggeng. Tidak harus pakai nama atau papan nama. Dukuh Paruk sejak dulu ya Dukuh Paruk. Tanpa gambar partai di mulut jalan itu pun pedukuhan kita ini bernama Dukuh Paruk. Nah, Kartareja. Bagaimana ini?" Kartareja diam. "Dan ini," sambung Sakarya. "Bagaimana kalau kita selalu dilarang memasang sesaji! Ini pelanggaran adat yang bukan main. Kartareja, aku amat takut menerima akibatnya." Kartareja masih diam. Tetapi dia mempunyai perasaan yang sama dengan kakek Srintil itu. "Aku mengerti, Kang. Sayang, semuanya ini kok ya menyangkut Pak Bakar. Dia telah berbuat baik terhadap kita. Kita terlanjur menerima kebaikan-kebaikannya. Atau, mungkinkah kita memutuskan hubungan dengan dia. Bila demikian, Kakang tahu caranya?" Giliran Sakarya yang diam. Kedua-duanya diam. Memutuskan hubungan adalah perkara yang hampir tak dikenal di Dukuh Paruk. Kalaupun harus terjadi maka harus ada alasannya yang nyata, pertengkaran misalnya. Sedangkan Bakar tidak membawa pertengkaran. Dia hanya mencegah Sakarya membakar dupa dan memasang sesaji sesaat pentas ronggeng hendak mulai. Dan itu pun selalu terjadi di luar Dukuh Paruk. Sebaliknya, Bakar datang ke pedukuhan itu membawa sikap kebapakan, memberikan perangkat pengeras suara, bahkan yang terakhir Bakar memberi pakaian lengkap bagi para penabuh calung. Srintil mendapat kain dan perlengkapan lainnya. Sampurnya kain pelangi berwarna merah jingga. "Ah, begini saja, Kang," kata Kartareja. "Bagaimana?" "Perkara papan nama dan gambar-gambar itu tak usah kita pikirkan benar. Karena aku melihat di mana-mana di luar Dukuh Paruk sama keadaannya. Kukira kini sedang zamannya. Kalau zaman sedang menghendaki demikian, bukankah kita tinggal patuh?" "Memang, siapa pula yang bisa menampik kersaning zaman. Tetapi perkara sesaji menyangkut semua orang Dukuh Paruk dan leluhurnya, Ki Secamenggala. Zaman apa pun tidak boleh mengubah tata cara ini. Aku bilang tidak boleh!" "Itu pun ada pemecahannya, Kang. Begini. Kalau kita hendak berangkat pentas, sesaji kita laksanakan dulu di sini. Atau bahkan di makam Eyang Secamenggala. Kukira ini sama saja." Sesungguhnya Sakarya tidak puas dengan jawaban Kartareja. Menjadi pemangku trah Dukuh Paruk baginya bukanlah perkara gampangan. Dan nuraninya tetap, tidak rela bila Dukuh Paruk berubah. Dia tetap ingin melihat Dukuh Paruk seperti aslinya. Terutama tentang sikap seluruh warganya terhadap arwah moyang mereka, Eyang Secamenggala. Namun Sakarya merasa telah terlampau tua buat berpikir yang berat-berat. Dia sadar betul dirinya sudah mencapai usia di mana banyak keinginan harus tetap tinggal menjadi keinginan. Tiada tenaga lagi buat melaksanakannya menjadi kenyataan. Akhirnya dia menerima kata-kata Kartareja. Atau karena ternyata kemudian Bakar memang berhenti pada titik yang bersahaja. Di luar Dukuh Paruk, Bakar berpropaganda macam-macam, yang pasti sulit dimengerti oleh orang Dukuh Paruk. Misalnya tentang perjuangan kaum tertindas untuk mendapatkan kembali hak-haknya. Perjuangan dan hak adalah hal yang boleh seribu kali diterangkan di Dukuh Paruk, dan orang di sana akan tetap bingung memikirkannya. Dukuh Paruk yang percaya bahwa hidup ini mestilah demikian adanya dan merupakan sebuah pakem yang sudah kering tinta, maka tak perlu ada perjuangan. Dan hak hanya kelihatan samar di bawah sikap yang nrimo pandum. Tidak. Bakar tidak bicara macam-macam di Dukuh Paruk. Dia hanya ingin Srintil dan rombongannya menjadi alat penarik massa, sekaligus mendaulatnya. Tujuan itu sudah berhasil dicapai dengan modal tak seberapa: pengeras suara, pakaian-pakaian, serta sikap kebapakan. Juga slogan-slogan yang telah diubah menjadi syair untuk mengganti lirik tembang tradisional. Jadilah rombongan ronggeng Dukuh Paruk bagian yang pasti rapat-rapat propaganda yang diselengarakan oleh Bakar beserta orang-orangnya. Rapat selalu berlangsung hingar-bingar. Pengunjung bukan main banyak. Mereka datang demi Bakar atau demi Srintil. Yang demikian ini tidak penting bagi Bakar. Pokoknya massa yang amat banyak telah berkumpul dan dia berkesempatan mengolah emosi mereka. Hanya emosi, karena seorang dengan kepala penuh teori seperti Bakar pasti tahu bahwa lebih dari itu, tentang kesadaran ideologi misalnya, sulit dimengerti oleh orang-orang dusun. Orang-orang bersahaja itu kebanyakan tidak memiliki sarana batin buat memahami konsep ideologi apa pun. Kalaulah mau dibuat catatan tentang ideologi dasar orang-orang dusun maka di sana ada keyakinan mesianistik. Bahwa mereka dalam penantian akan datangnya Ratu Adil. Dari sisi inilah Bakar paling sering muncul. Secara tidak langsung kelompoknya ingin diakui sebagai pengejawantahan Ratu Adil yang akan memberi keadilan, misalnya dengan janji pembagian tanah yang sama rata sama rasa. Catatan membuktikan bahwa dengan cara ini Bakar berhasil. Adalah Srintil yang tidak tahu apakah dalam hidup ini diperlukan rapat-rapat, pidato, dan pawai-pawai. Atau segala kegiatan hura-hura, itu. Dan Srintil yang tidak mengerti tujuan rapat-rapat yang belakangan selalu diikutinya dan dia mengisi acara kesenian. Srintil yang menjadi unsur paling penting bagi Dukuh Paruk adalah anak kandung keluguan alam dan kehidupan. Dia yang hidup atas dasar kepercayaan menjalani alur cetak biru yang sudah ditentukan baginya, cetak biru seorang ronggeng. Alur itu sudah ditempuhnya dengan kerelaan sempurna. Menjadi ronggeng yang diterimanya sebagai tugas hidup, ialah menjadi pemangku naluri primitif, nalun berahi yang membebaskan diri dari norma dan etika yang menyusul kemudian. Itulah dunianya, kesadarannya. Dalam kesadaran itu Srintil merasa pasti ada sesuatu yang hilang ketika dia berpentas pada rapat-rapat propaganda itu. Srintil takkan pernah mampu berkata demikian. Namun nalurinya secara pasti merasakan adanya pendangkalan makna keberadaannya. Ronggeng adalah keperempuanan yang menari, menyanyi, serta kerelaan melayani kelelakian. Dia pastilah bersifat mandiri dan mendasar. Tetapi selama mengikuti Bakar, untuk apa dan siapa dia meronggeng sungguh menjadi pertanyaan yang sulit dijawabnya. Episode 46 Meski dalam wawasan yang sederhana Srintil merasa pentas ronggeng dalam rapat-rapat itu sekedar pelengkap. Memang meriah, tetapi lain. Gempita tetapi kering makna. Apalagi dengan lirik tembang yang sudah banyak diubah. Penonton selalu dalam keberingasan yang tidak bisa dimengerti dan karenanya Srintil kadang merasa ngeri. Bahkan Sakum yang buta dua belah mata ikut mewarnai perubahan yang dirasakan Srintil. Penabuh calung itu kehilangan dirinya; kekocakan spontan yang selalu tepat ketika ronggeng menggoyang pinggulnya. Sakum, dengan kepekaan dan kehalusan perasaannya mampu menangkap keringnya pentas ronggeng yang digelar bersama rapat-rapat propaganda itu. Acap kali Srintil merenung mengapa segala perasaan itu baru datang setelah kebaikan-kebaikan Bakar bertumpuk menjadi utang budi yang sulit dihindari. Pernah sekali dicobanya menolak naik panggung yang diselenggarakan oleh Bakar. Tetapi ketika utusan Bakar datang menjemputnya mulut Srintil terkunci. Kata tidak yang sudah lama dipersiapkannya tidak kunjung terucap. Akhirnya pada tahun 1964 menjelang tahun berikutnya Dukuh Paruk dan ronggengnya berbaur dalam satu pengertian dengan kelompok Bakar. Srintil mendapat julukan baru yang cepat menjadi tenar: Ronggeng Rakyat. Sebutan ronggeng Dukuh Paruk kian tersingkir. Tetapi makin jarang terdengar nama Dukuh Paruk, Srintil makin merindukannya. Dukuh Paruk yang meskipun tanpa pengeras suara atau lambang-lambang partai dan tetap melarat dan cabul, tetapi lugu dan sejati. Lirik tembangnya tidak usah diganti dengan slogan-slogan. Tak perlu hingar-bingar dan hura-hura rapat. Kerinduan Srintil akan dunianya memuncak setelah mendapat pengalaman baru bersama Bakar; pengalaman baru yang menggoncangkan jiwanya. Suatu ketika sehabis rapat di mana Srintil mengisi acara kesenian, ratusan penonton mabuk. Mereka kesurupan, kemudian mereka beramai-ramai merojeng padi. Mereka membabat padi menguning di sawah-sawah entah milik siapa. Malam yang amat rusuh karena kemudian datang para pemilik sawah untuk mempertahankan padi mereka. Polisi datang tetapi tujuh orang terlanjur tercampak berlumur darah. Kegaduhan pertama disusul oleh yang kedua, sebulan kemudian, dan yang ketiga pada bulan berikutnya lagi. Dalam kerusuhan yang terakhir keadaannya demikian genting karena terjadi siang hari dan melibatkan ratusan orang dari pihak perojeng dan para pemilik sawah. Perang pacul dan sabit hanya gagal karena polisi tidak terlambat datang. Namun kengerian yang terjadi membuat Srintil mengambil kata putus. Sakarya mendukungnya. Cucu dan kakek itu mendatangi rumah Bakar di Dawuan dengan keluhan yang telah meningkat menjadi tuntutan. "Pak Bakar," kata Sakarya penuh kekesalan. "Kami orang-orang Dukuh Paruk tidak ingin dilibatkan dengan kerusuhan-kerusuhan itu. Bila demikian terus keadaannya samalah artinya sampean menjerumuskan kami. Orang Dukuh Paruk tidak menyukai kekerasan. Pak Bakar, buat selanjutnya kami tak mau ikut rapat-rapat itu." "Ya, Pak," sela Srintil. "Akhirnya orang pasti menghubungkan kami dengan kerusuhan di sawah-sawah itu." "Ah, kalian orang-orang Dukuh Paruk," kata Bakar masih dengan sikap kebapakannya. "Kalian tak perlu terpengaruh oleh perasaan cengeng semacam itu. Yang sedang terjadi adalah sebuah aksi massa, sebuah gerakan kaum miskin yang sekian lama mengalami ketidakadilan. Mereka berkeringat mengerjakan sawah para pemilik tanah. Tetapi mereka tak pernah ikut memetik hasilnya kecuali sekedar untuk hidup, bahkan kurang dan itu. Kini saatnya mereka menuntut hak." "Dengan cara kekerasan semacam itu?" "Dengan cara apa pun." "Jadi sampean menyetujui gerakan para perojeng itu?" "Aku tak bisa mencegah sebuah aksi massa yang sedang berjuang menuntut hak." "Maka jadilah! Cukup sekian. Kami takkan mencampuri urusan sampean. Tetapi jangan sekali-kali sampean urusi bagian kami orang-orang Dukuh Paruk. Kami tidak ingin terlibat dalam kerusuhan apa pun." "Nanti dulu, Kang Sakarya," ujar Bakar sambil tersenyum. "Aku yakin betul, apa yang terjadi di sawah-sawah itu seharusnya tidak asing bagi semua orang Dukuh Paruk. Nah, apa kalian mengira aku tidak tahu siapa dan bagaimana kelakuan nenek moyang kalian?" Sakarya terperanjat. Kata-kata Bakar tak diduganya sama sekali. Kata-kata itu mengandung penghinaan, menyangkut moyang Dukuh Paruk yang amat dikeramatkan oleh sekalian keturunannya. Ki Secamenggala yang semasa hidupnya menjadi bromocorah, pemimpin rampok yang tidak hanya sekali-dua membunuh korbannya. Tetapi bagaimana jua Ki Secamenggala adalah laki-laki dari siapa darah semua orang Dukuh Paruk berasal. "Oh, Pak Bakar. Sampean telah menyinggung perasaan kami. Tetapi sesungguhnya sampean tidak mengerti sepenuhnya siapa Ki Secamenggala, moyang kami. Sampean lupa bahwa moyang kami tidak mati dalam peristiwa perampokan atau kerusuhan lainnya. Dia mati dengan tenang di tempat sepi di Dukuh Paruk dalam masa tua yang penuh penyesalan. Aku sendirilah kini pemangku wasiat-wasiat yang diucapkannya menjelang akhir hayat. Kami dilarang keras berbuat sesuatu yang merugikan orang lain, apalagi dengan kekerasan." "Begitu?" "Jadi sejak saat ini ronggeng Dukuh Paruk kularang mengikuti rapat-rapat." "Ya, Pak. Aku tak mau lagi menari bila sesudah itu terjadi keributan," ujar Srintil. Bakar termenung sejenak. Mengangguk-angguk, kemudian wajahnya kembali tenang. "Baiklah. Kukira kalian memang perlu istirahat." "Dan sampean hendaknya mengambil kembali lambang partai dan papan nama itu dari Dukuh Paruk." "Ah, tidak sejauh itu. Biarkan papan itu terpasang di sana. Aku takkan mengambilnya. Siapa pun tidak boleh menyingkirkannya. Siapa yang berbuat begitu pasti akan menghadapi kemarahan pemuda-pemudaku. Nah, kalian tidak ingin melihat kerusuhan, bukan?" Episode 47 Srintil bersama kakeknya pulang dengan hati lega. Keduanya merasa telah keluar dari keterikatan yang semula sulit dihindarkan. Sakarya berharap akan kembali melihat Dukuh Paruk mapan seperti semula. Pada ujung usianya Sakarya tidak ingin melihat pusakanya berubah. Memang di sana masih ada lambang partai serta simbol sebuah lembaga kesenian. Namun hal itu bisa diterima oleh Sakarya sebagai nilai tukar seperangkat pengeras suara yang diberikan oleh Bakar kepada orang-orang Dukuh Paruk. Goder yang kini dua tahun dan sudah pintar berjalan bisa lebih lama menikmati keibuan Srintil. Siapa mengira bahwa antara keduanya hanya dihubungkan oleh naluri dasar seorang perempuan dan kebersihan hati seorang bayi. Tubuh Goder yang selalu telanjang gemuk seperti terong. Subur seperti kecambah. Bersama Srintil Goder memperoleh banyak hal yang tidak pernah diterima oleh bayi-bayi Dukuh Paruk lainnya. Dia mempunyai semua mainan yang bisa dibeli di pasar Dawuan. Kadang Srintil bahkan berbuat hal yang berlebihan, misalnya membeli beberapa ekor kambing atas nama Goder, memotong ayam atas nama Goder. Dan sebidang sawah yang dibeli Srintil tahun lalu kini tercatat atas nama Goder. Orang mengatakan Srintil demikian memanjakan Goder karena dia khawatir anak itu akan diambil kembali oleh emaknya, Tampi. Boleh jadi. Namun Srintil sendiri merasa kebaikannya terhadap Goder belum senilai dengan kebahagiaan yang dia rasakan karena bisa memeluk anak itu setiap hari. Goder adalah harapan masa depan bila nasib kebanyakan ronggeng terjadi pula atas dirinya: hidup sendiri di hari tua karena peranakan rusak. Beberapa hari lamanya calung ronggeng Dukuh Paruk tetap tersimpan di tempatnya. Dukuh Paruk terasing dari kebisingan rapat-rapat dan pawai-pawai politik yang panasnya menjerang desa-desa di sekitarnya. Dengan mengambil sikap tidak mau tahu dan membisu orang-orang di sana yakin telah memelihara pedukuhan dalam wataknya yang asli. Namun ketenangan Dukuh Paruk tidak berlangsung lama. Suatu hari Sakarya menangis keras karena mendapati cungkup makam Ki Secamenggala poranda dirobohkan orang. Dukuh Paruk terluka parah tepat pada sisinya yang paling peka. Dalam sekejap semua warga naik ke pekuburan di puncak bukit itu. Anak-anak dituntun emaknya. Sakum yang buta terlunta-lunta mengikuti langkah anaknya. Semuanya dengan kesedihan dan kemarahan yang tidak kepalang. Dua orang perempuan tua menangis, sungguh-sungguh menangis. "Ini pasti ulah Bakar. Asu buntung dia. Bajingan!" umpat Sakarya dengan suara parau. "Monyet munyuk itu jengkel karena kita tidak mau lagi bekerja sama dengan mereka. Asu buntung!" "Kita tidak bisa menerima semua ini!" teriak Kartareja. "Oh, Eyang. Semoga yang merusak makammu ini mampus termakan pathek dan bubul. Atau raja singa sekalian!" "He, Darkim! Cabut dan bakar lambang partai di mulut jalan itu. Cabut juga papan nama di depan rumah Kartareja." Seorang muda yang disebut Darkim lari menuruni bukit pekuburan Dukuh Paruk, siap menjalankan perintah Sakarya. Tetapi seorang laki-laki lain menghentikannya. Yang terakhir ini muncul dari balik semak membawa sebuah caping bambu bercat hijau, bertuliskan sesuatu yang tak seorang pun bisa membunyikannya. "Caping ini kutemukan di balik semak. Kita tak pernah mempunyai barang seperti demikian. Ini pasti milik bajingan-bajingan yang telah merusak cungkup makam. Suasana menjadi hening tetapi tetap tegang. Semua mata memandang caping hijau itu. Dan meski mereka tak bisa membaca tetapi mereka telah mengerti sesuatu. Caping hijau. Orang-orang Bakar tak pernah memakai caping seperti itu. Sakarya menjatuhkan pundak dan mendesah. Sambil menggendong kedua tangan orang tertua di Dukuh Paruk berjalan berkeliling menatap reruntuhan cungkup makam. "Pulanglah, anak-anak. Ambillah perkakas kalian. Kita perbaiki cungkup Eyang Secamenggala sekarang juga." Berita tentang perusakan makam Ki Secamenggala cepat tersebar ke mana-mana, tanpa seorang Dukuh Paruk pun menceritakan hal yang merampas kehormatan mereka itu keluar. Dan para perusak yang memakai caping hijau. Pada tahun 1965 itu siapa pun tahu kelompok petani mana yang suka berpawai atau berkumpul dalam rapat dengan tutup kepala seperti itu. Belum pernah sekali pun Dukuh Paruk merasa terhina demikian dalam. Dia muram dan diam menahan murka. Semua warga memusatkan kebersamaan rasa, siap membayar kembali dengan tunai penghinaan yang telah mereka terima. Dan balas dendam itu hanya tertunda karena orang-orang Dukuh Paruk belum menemukan nama para penghina itu. Polisi yang mendapat laporan kejadian di Dukuh Paruk hanya menambah kekecewaan orang di sana. Sampai lima hari lamanya polisi belum bisa memberi keterangan siapa sebenarnya para pelaku. Bahkan polisi membuat Sakarya lebih jengkel dengan melarang keras orang Dukuh Paruk mengambil tindakan sendiri dalam masalah makam Ki Secamenggala itu. Akhirnya orang Dukuh Paruk menemukan jalan buat melampiaskan murka. Bukan dengan jalan mengayun parang atau meninju kepala orang-orang bercaping hijau, melainkan dengan cara menerima ajakan Bakar untuk meramaikan kembali rapat-rapat propaganda. Srintil kembali menari dengan semangat luar biasa. Dia tidak peduli lagi apakah menari demi keramaian rapat sesuai dengan roh sejati seorang ronggeng. Dengan tarian yang lebih berani dan menantang Srintil merasa sedang membalas serangan orang-orang bercaping hijau atas nama Dukuh Paruk, atas nama arwah Ki Secamenggala yang makamnya baru saja dirusak orang. Sakum menemukan kembali cirinya: membakar setiap pentas dengan seruan-seruan yang jitu dan cabul. Bahkan Sakum ikut berteriak lantang ketika dalam pidatonya Bakar mengucapkan kata-kata serangan terhadap kaum bercaping hijau. Murka tidak kepalang yang mengusik Dukuh Paruk membuat ronggengnya tidak kehabisan semangat. Pada akhir bulan September 1965 it Srintil sudah dua minggu manggung terus-menerus di arena pasar malam di lapangan kota Dawuan atas nama kelompok Bakar. Dua minggu yang jor-joran, sarat dengan pemberontakan budaya. Tayub yang secara resmi dilarang pemerintah, pada pasar malam bulan September 1965 itu digalakkan kembali dengan semena-mena. Siapa saja boleh naik panggung rakyat buat berjoget atau menciumi Srintil sepuas hati. Cuma-cuma Episode 48 Sampailah hari pertama bulan Oktober. Hari pertama yang disusul hari-hari berikutnya, suatu masa yang tidak bisa dimengerti oleh siapa pun di Dukuh Paruk. Tiba-tiba mereka merasakan kehidupan menjadi gagu dan limbung. Pasar malam bubar tanpa pengumuman apa pun. Dawuan, terutama pasarnya yang biasa ramai kian hari kian sepi. Orang-orang kelihatan lebih banyak diam dan menunggu. Kebingungan yang melanda Dukuh Paruk sedikit demi sedikit mencair. Dimulai dengan selentingan berita bahwa di Jakarta, sebuah negeri antah berantah bagi orang Dukuh Paruk, telah terjadi pembunuhan-pembunuhan. Pelaku pembunuhan adalah orang-orang semacam Bakar. Korbannya adalah pejabat-pejabat negara. Tetapi pada mulanya Dukuh Paruk menampik berita ini. "Itu kan baru kata orang," kata Sakarya. "Siapa pun yang membawa kabar itu pasti tidak menyaksikannya sendiri." Kemudian suatu malam muncul Bakar bersama tiga temannya di Dukuh Paruk. Sakarya dan Kartareja yang ingin bertanya tentang banyak hal hanya mendapat jawaban singkat. Dan Bakar kelihatan sudah kehilangan ketenangannya. "Pokoknya tidak ada apa-apa. Kalian mesti tetap tenang." "Sampean sendiri kelihatan gugup," kata Sakarya. "Terus-teranglah. Apa yang sebenarnya sedang terjadi?" "Di Jakarta para tentara sedang saling bunuh." "Perang?" "Ya." "Akan sampai ke sini?" "Bisa jadi." "Kami harus bagaimana?" "Tenang, kataku. Kalian tidak tahu apa-apa. Dan satu hal; kami akan berada di sini dua-tiga hari. Tetapi kalian harus tutup mulut. Jangan banyak bicara bila tidak ingin ada pelor nyasar." Bakar lenyap setelah tiga hari berada di rumah Sakarya. Selama itu dia bersama teman-temannya hanya keluar bila berhajat. Itu pun dilakukannya malam hari. Berita tentang Bakar sampai ke Dukuh Paruk seminggu kemudian. Rumahnya habis dimangsa api. Juga beberapa rumah lain milik orang-orangnya. Polisi atau tentara menahan mereka. "Aku makin tidak mengerti, Kang," kata Kartareja kepada Sakarya suatu malam. "Kabar di luar makin mengerikan. Terus terang aku khawatir Dukuh Paruk akan tetap dihubungkan dengan Bakar. Bila demikian halnya, bagaimana, Kang?" Pertanyaan itu mengambang sekian lama tanpa jawaban. Beberapa orang yang menanti Sakarya membuka mulut akhirnya mengerti bahwa kamitua Dukuh Paruk itu pun dalam keadaan bimbang. Hanya karena sadar sebagai seorang sesepuh maka Sakarya bertutur. Suaranya bergetar dalam tengorokan. "Inilah yang dulu saya katakan, dalam hidup segala hal mestilah dilakukan pada batas kewajaran. Karena keselamatan berada di tengah antara dua hal yang saling berlawanan. Jadi keselamatan adalah jalan tengah, atau kewajaran atau keberimbangan. Yang kita saksikan akhir-akhir ini adalah kehidupan sang serba tidak wajar, melampaui batas. Dan kehidupan takkan kembali berimbang sebelum dia mengalami akibat ketidakwajaran itu. E, anakku, cucuku, kita sendiri telah ikut-ikutan lupa." Semua pendengar menundukkan kepala. Sakarya telah berbicara dalam bahasa dan wawasan Dukuh Paruk sehingga tak ada makna yang luput dari pernahaman anak-cucunya. Keheningan terus mengembang. Suara burung celepuk bersahutan mendaulat udara Dukuh Paruk. Orang di sana sudah terbiasa niendengar suara unggas itu. Tetapi kali ini mereka merasakan adanya pesan halus dari alam pekuburan Dukuh Paruk; pesan yang tidak mudah dipahami dan yang hanya membuat orang-orang merasa kecil tak berdaya. "Jadi kita harus bagaimana, Kek?" kata Srintil memecah keheningan. "Kita hanya tinggal pasrah, eling, dan waspada. Aku minta kalian yang muda-muda berjaga-jaga, meronda pedukuhan kita setiap malam. Yang tua-tua bersiap, Jumat Kliwon mendatang kita akan membersihkan makam Eyang Secamenggala. Kita akan slametan. Mara bahaya yang mungkin menimpa kehidupan harus kita tumbal." Awal kemarau tahun 1966. Malam yang sangat dingin menyertakan kecemasan yang meluas. Annjng-anjing liar yang beringas karena terangsang bau darah. Atau mayat-mayat yang tidak diurus secara layak. Angin tenggara membawa bau bunga bangkai. Dini hari di langit timur muncul tanda keperkasaan alam. Lintang kemukus menggaris langit dengan ujungnya yang runcing kemilau. Suara malam ialah bunyi langkah sepatu yang berat. Dan letupan bedil sekali-sekali. Orang Dukuh Paruk belum sempat menyelenggarakan selamatan. Suatu malam puluhan orang datang mengendap-endap mengepung rapat pemukiman terpencil itu. Kedatangan mereka diketahui oleh anak-anak muda yang meronda. Dukuh Paruk bangun buat mempertahankan diri. Semua laki-laki mengambil kentongan, memukulnya serentak hingga terjadi suasana genting tak terperikan. Semua perempuan ikut memukuli benda apa saja. Semua anak menjerit ketakutan. Para pengepung lari mengundurkan diri. Keesokan hari semua orang Dukuh Paruk berkumpul di rumah Sakarya. Wajah mereka adalah wajah-wajah lugu yang menyimpan ketakutan luar biasa. Sakarya menangis. Di hadapannya berhimpun seluruh darah daging Ki Secamenggala yang datang mencari perlindungan. Mereka hanya bisa disamakan anak-anak ayam yang lari berlindung ke bawah sayap induknya dari sambaran burung elang. Perempuan-perempuan mengusap air mata. Anak-anak bergayut di lengan emak dengan pertanyaan besar muncul dari mata mereka yang masih bening. Semua laki-laki membisu. "Aku akan pergi ke kantor polisi!" kata Srintil tiba-tiba. "Aku akan bertanya kepada mereka apa kesalahan kita." "Ya. Aku setuju." ujar Kartareja. "Kami hanya meronggeng. Kita sama sekali tidak merojeng padi siapa pun. Srintil, aku akan menyertaimu ke kantor polisi." "Jangan, cucuku. Kamu harus tetap di sini bersamaku. Kamu jangan ke mana-mana," tangis Nyai Sakarya. "Kita yakin tidak bersalah. Kita harus mencari pengayoman. Polisi harus memberi pengayoman kepada kita; kaula yang tidak bersalah." Kata-kata Kartareja menimbulkan sedikit harapan dan percaya diri. Hanya Nyai Sakarya yang mempertahankan Srintil agar jangan pergi ke kantor polisi. Tetapi nenek itu mengalah karena Srintil bersikeras. "Aku mengenal mereka, Nek. Juga komandannya," kata Srintil. Episode 49 Ketika Srintil dan Kartareja berangkat semua mata mengikutinya. Harapan terakhir sudah dilayangkan. Dukuh Paruk menanti dengan berbagai pertanyaan tetap mengusik hati. Seorang kusir andong melihat Srintil bersama Kartareja berjalan di ujung pematang hampir mencapai jalan besar. Tetapi kusir itu tidak menghentikan kendaraannya, tidak pula menawarkan jasa seperti biasa. Orang-orang yang pulang dari pasar Dawuan tidak menyapa ketika berpapasan dengan ronggeng Dukuh Paruk itu. Mereka berjalan menunduk menghindari pandangan mata Srintil. Pasar Dawuan telah kehilangan kehangatan bagi ronggeng yang dulu sangat dipuja. Para pedagang di sana memandang dingin kepada Srintil yang lewat di hadapan mereka, langsung menuju kantor polisi. Sampai di depan kantor yaing dituju Kartareja berhenti termangu. Jelas sekali keraguannya. Tetapi Srintil terus melangkah. "Ayolah, Kek. Orang tak bersalah tidak perlu merasa takut." Di kantor itu ternyata bukan hanya polisi, melainkan tentara juga ada di sana. Mereka segera mengenal siapa yang sedang melangkah memasuki halaman. Mereka saling pandang karena pada saat genting seperti itu dua orang yang dikenal sering tampil bersama Bakar muncul di kantor polisi. Namun Komandan Polisi dan seorang tentara menyilakan Srintil dan Kartareja masuk. Yang lain berdiri dengan sikap kaku. "Kami datang kemari hendak bertanya, Pak," kata Srintil dengan keberanian yang masih tersisa. "Tadi malam beberapa orang datang mengepung rumah-rumah kami. Tentulah mereka bermaksud buruk. Maka kami ingin minta perlindungan karena kami merasa tidak berbuat salah apa pun. Apabila kami dikatakan salah maka tolong, Pak. Katakan apakah kesalahan kami." Pak Komandan gelisah. Tangannya bergerak tak menentu. Matanya tak berani menatap Srintil. Padahal benar dia telah mengenal ronggeng Dukuh Paruk itu. Bahkan kemudian dia bangkit masuk ke kamar lain diikuti oleh seorang tentara. Kedua laki-laki berpistol itu berbicara dengan suara kecil. "Mereka malah datang sendiri. Bagaimana ini?" "Betul nama-nama mereka tercantum dalam daftar?" "Ini, lihat," kata Komandan Polisi sambil membuka catatan yang mulai kumal. "Saya kira ini kebetulan. Setidaknya menghemat pekerjaan." "Jadi begitu?" "Begitu saja." Komandan keluar lagi. Wajahnya keras. Resmi. Pandangannya lurus ke depan, ke halaman kantor. "Tentang orang yang mengepung Dukuh Paruk akan kami selidiki. Tetapi di luar masalah itu ada hal penting yang akan kami sampaikan buat kalian berdua. Bahwa Saudara Kartareja dan Saudara Srintil termasuk orang-orang yang harus kami tahan. Ini perintah atasan. Dan kami hanya melaksanakan tugas." Srintil mendengar seluruh ucapan Komandan. Kata-kata itu menjadi masukan yang ternyata amat sulit dijabarkan menjadi pengertian dan kesadaran. Ketika pengertian itu baru muncul samar jiwanya menampik dengan keras. Seluruh proses yang terjadi pada diri Srintil memerlukan tenaga ekstra. Jantung berdenyut lebih cepat dan darah terpusat pada otak dan pusat-pusat syaraf. Wajah Srintil pucat tidak kebagian darah. Tangan dan kakinya berkeringat dingin. Dan Srintil tergagap dalam upaya menggapai dirinya kembali. "Tahan? Kami ditahan?" Srintil mencoba tersenymn sebagai usaha terakhir menolak kenyataan. Tetapi senyum itu berhenti pada gerak bibir seperti orang hendak menangis. Lama sekali wajahnya berubah menjadi topeng dengan garis-garis muka penuh ironi. Topeng itu tidak hilang ketika dua orang berseragam membawanya ke ruang tahanan di belakang kantor. Srintil berjalan tanpa citra kemanusiaan. Tanpa citra akal budi, tanpa roh. Srintil menjadi sosok yang bergerak seperti orang-orangan dihembus angin. Hingga siang hari warga Dukuh Paruk menanti Srintil dan Kartareja pulang. Mereka bergerombol-gerombol di dalam dan di luar rumah Sakarya. Tak seorang pun pergi bekerja. Sementara di langit burung dadali terbang berputar-putar mencari mangsa. Induk ayam berkotek-kotek menghimpun semua anak di bawah lindungan sayapnya. Dukuh Paruk hampir senyap. Anak-anak pun kehilangan gairah bermain karena melihat orang tua mereka berwajah murung. Hanya terdengar suara kambing-kambing mengembik. Sejak pagi ternak-ternak itu tidak dibukakan kandang. Dan anak-anak yang menangis karena emak mereka tidak menyalakan api di tungku. Matahari sudah masuk ke belahan langit barat. Dua orang yang ditunggu belum juga datang. Wajah-wajah itu makin gelap. Makin sering terdengar suara mendesah. Dalam keheningan yang amat mencekam itu tiba-tiba terdengar seorang anak berteriak. Ada orang datang. Beberapa orang lelaki menghambur ke luar halaman. Di hati mereka terbit harapan. Tetapi harapan itu hanya sedetik tinggal, kemudian lenyap, dan berubah menjadi ketakutan. Yang datang bukan Srintil bukan pula Kartareja, melainkan lima orang berseragam. Sepatu berat dan bedil di tangan mereka lebih dari cukup buat melenyapkan darah dari wajah semua orang Dukuh Paruk, menghapus semua sisa keberanian dan rasa percaya diri. Dukuh Paruk mewakilkan dirinya kepada Sakarya. Kakek renta ini sejenak memejamkan mata, menghadap ke dalam diri sendiri buat membaca pesan yang dibawa oleh kilasan Sang Waktu. Ya, dia harus sumarah kepada kersaning zaman. Zaman yang telah nyata menampakkan diri sebagai lima laras bedil dan lima wajah membaja di hadapannya. Hidup adalah berperan menjadi wayang atas sebuah cerita yang sudah dipastikan dalam pakem. Keyakinan demikian tidak sedetik pun pernah lepas dari Sakarya. Membela diri dari nasib buruk ketika zaman sudah mengulurkan tangannya adalah sia-sia. Bukan hanya karena Sakarya telah kehilangan keberanian. Tetapi karena dia percaya bahwa keperkasaan zaman mustahil tertandingi oleh kekuatan seorang manusia. Kedalaman jiwa Sakarya memungkinkannya mampu bersikap diam dalam arti yang sebenarnya. Wajahnya kembali hidup dan polos, siap menerima apa pun dan perlakuan apa pun. Diam yang pada saat-saat tertentu harus diambil sebagai sikap paling santun manakala ketidakberdayaan manusia harus diperlihatkan. Siang itu Dukuh Paruk yang bodoh dan melarat tidak berbuat apa-apa ketika Sakarya, Nyai Kartareja, Sakum, dan dua orang lainnya dibawa oleh para petugas keamanan. Mereka digabungkan dengan Srintil dan Kartareja dalam tahanan. Hanya air mata dan tangis perempuan. Dan ketakutan menghantu yang membuat Dukuh Paruk makin kuyu dan lusuh. Dukuh Paruk tanpa Srintil, Sakarya, dan Kartareja adalah Dukuh Paruk tanpa ronggeng. Dia tidak punya martabat apa-apa. Episode 50 Dan nasib sebenarnya yang harus dipikul oleh Dukuh Paruk baru terjadi dua hari kemudian. Dini hari ketika langit timur berhias kejayaan lintang kemukus, Dukuh Paruk menyala, menyala. Api menggunung membakar Dukuh Paruk. Atap seng rumah Kartareja membubung ke langit bersama asap tebal yang menjulang seperti pohon raksasa. Rumah Sakum yang compang-camping hanya bertahan beberapa menit sebelum jadi abu dalam kobaran yang gemuruh. Jerit tangis dan lolongan manusia disambut dengan ledakan-ledakan bambu terbakar. Kepanikan luar biasa di tengah ketidakberdayaan mempertahankan diri. Seorang perempuan berlari sengit sambil mengepit bayinya dalam ketiak dan berteriak-teriak mencari anak-anaknya yang lain. Ada laki-laki tua berdiri memeluk batang pinang hanya beberapa langkah dari onggokan api yang mulai membesar. Demikian kuat pelukan itu sehingga diperlukan rudapaksa buat melepaskannya. Ketika terlepas ternyata laki-laki itu sudah kejer. Pemandangan yang sangat kocar-kacir sedikit mereda manakala semua perempuan telah berhasil menemukan anak mereka masing-masing. Kaum lelaki teringat kentongan. Mereka memukulnya serentak dengan semangat menggila. Gemuruh yang membahana membuat orang-orang di sekitar Dukuh Paruk keluar rumah. Mereka menyaksikan api unggun menjulang di tengah-tengah sawah. Mereka juga mendengar lengkingan-lengkingan suatu puak yang sedang melihat dunia mereka punah tepat di depan mata. Para petugas yang kemudian datang hanya menemukan beberapa gubuk yang tidak ikut terbakar. Dan bangkai lima ekor kambing yang mati terpanggang karena pemiliknya tak sempat membuka pintu kandang. Orang-orang resmi itu tidak bisa tinggal lama di tengah bangkai Dukuh Paruk. Mereka harus menghadapi sekian puluh pasang mata yang menggugat pertanggungjawaban atas nama kemanusiaan. Tetapi mereka tidak bisa memberikan apa-apa. Banyak cerita yang dilontarkan orang tentang kepunahan Dukuh Paruk. Ada yang mengatakan Dukuh Paruk telah menerima bagiannya yang sah. Sang Mahasutradara memiliki selera dalam menggelar permainannya berupa alam semesta ini, tetapi Dukuh Paruk, sadar atau tidak telah mengabaikannya. Pendapat lain mengatakan, itulah hukum dialektika pergolakan politik yang acap kali berupa ironi sejarah dan ironi kemanusiaan. Musnahnya Dukuh Paruk hanya salah satu bukti yang kecil. Ada lagi yang berpendapat peristiwa yang dialami oleh Dukuh Paruk tidak berlatar perkara yang canggih melainkan sederhana saja. Di sana hanya ada perkara balas dendam para petani yang marah karena padi mereka dirojeng beberapa musim berturut-turut. Mereka tahu yang merojeng adalah orang-orang Bakar yang semuanya telah ditahan. Maka Dukuh Paruk terkena getah, setidaknya karena ronggengnya sering muncul bersama Bakar dalam rapat-rapat propaganda. Pendapat ini sekaligus menyepelekan kemungkinan terlibatnya sentimen keagamaan. Juga sentimen politik karena Dukuh Paruk sepanjang sejarahnya tidak bisa memahami politik serta ideologi politik apa pun. Masih ada satu pendapat yang amat bersahaja. Bahwa yang telah terjadi di Dukuh Paruk tak lebih daripada banyolan sejarah yang hanya disebabkan oleh sebuah caping bambil bercat hijau. Apabila Dukuh Paruk tidak kelewat bebal seharusnya mereka tahu bahwa Bakar-lah orangnya yang merobohkan makam Ki Secamenggala. Dengan hanya meninggalkan sebuah caping hijau Dukuh Paruk terkecoh. Kemarahannya tertuju kepada kelompok lain dan ronggengnya kembali bergabung dengan Bakar demi membayar kesumat terhadap kaum caping hijau. Segalanya bisa terjadi jauh berbeda bila ronggeng Dukuh Paruk ketika itu tetap meninggalkan kelompok Bakar. Ketika rerumputan mulai tumbuh di tanah reruntuhan Dukuh Paruk, banyak orang bertanya tentang seseorang yang telah sekian lama berperan dalam satu sisi kehidupan. Srintil; di mana dia dan bagaimana. Bahwa pergolakan hidup Srintil yang sebenarnya baru dimulai sejak hari pertama dia masuk tahanan, ada dalam sebuah catatan. Catatan itu diawali dengan kisah seorang ronggeng cantik berusia dua puluh tahun. Dia dipenjarakan secara fisik dan dikurung secara psikis dalam tembok sejarah yang muncul sebagai keserakahan nafsiyah serta petualangan. Diperlukan kondisi-kondisi tertentu agar orang bisa membuka catatan lengkap itu. Kondisi-kondisi itu bisa jadi berupa waktu yang mampu mencairkan segala emosi. Atau kedewasaan sikap dan kejujuran agar orang memiliki keberanian mengakui kebenaran sejarah. Maka pada suatu ketika orang dapat membuka catatan tentang Srintil. Atau catatan itu bakal lenyap selama-lamanya menjadi bagian rahasia kehidupan Dukuh Paruk. Tamat Edit & Convert : zheraf.net http://www.zheraf.net